Risman Umar (2008) mengartikan patologi birokrasi sebagai kelainan perilaku atau penyakit dalam birokrasi yang melanggar nilai etis, peraturan, undang-undang, dan norma yang berlaku. Dalam pandangan Siagian (1994), pentingnya pemahaman terhadap patologi birokrasi adalah agar semua bagian pemerintahan dapat menghadapi berbagai tantangan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun teknologi, dengan mengetahui jenis-jenis penyakit birokrasi yang mungkin terjadi. Siagian (1994) juga memberikan sejumlah contoh penyakit birokrasi yang umum dijumpai.Â
Gejala penyakit dalam sistem birokrasi pemerintahan Indonesia telah lama merusak struktur dan budaya organisasional, termasuk di organisasi publik Provinsi Lampung. Patologi birokrasi merupakan hal yang rumit karena terkait erat dengan berbagai aspek organisasi, termasuk struktur dan budaya yang tak terlepas dari norma sosial masyarakat. Pemahaman terhadap budaya organisasi menjadi kunci untuk mengendalikan perilaku anggota birokrasi pemerintah.
Meskipun bentukbentuk patologi dan faktor penyebabnya dapat diidentifikasi, menemukan solusi untuk mengatasi masalah tersebut bukanlah tugas yang mudah. Indonesia, sebagai contoh, telah lama melakukan reformasi birokrasi, namun hingga saat ini, sistem pelayanan publik Provinsi Lampung masih kesulitan mengatasi berbagai tantangan dalam birokrasi yang dihadapinya.Â
Patologi yang timbul dalam administrasi pelaksanaan pelayanan mencerminkan bagaimana pelaksanaan kebijakan harus berlangsung secara efektif dengan mempertimbangkan semua aspek administratif. Ini melibatkan penekanan pada pentingnya fungsi pelayanan kepada masyarakat dalam suatu kebijakan.Â
Konsep dan prinsip-prinsip administrasi secara rinci menguraikan kemungkinan hasil dari tindakan administratif, termasuk di dalamnya gambaran tentang bagaimana patologi administratif dapat menjadi pendorong buruknya pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, konsep dan pengetahuan administratif mendeskripsikan dengan cermat bagaimana kemungkinan terjadinya masalah dalam pelaksanaan tindakan administratif, yang pada gilirannya dapat merugikan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.Â
Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip dasar dari proses implementasi kebijakan. Dalam konteks ini, kebijakan yang telah dirancang dengan baik harus berhasil melalui tahapan implementasi yang efisien untuk mencapai kesuksesan yang diinginkan. Ada banyak contoh kasus buruknya pelayanan publik di Provinsi Lampung. Patologi dalam pelayanan publik yang terjadi di Provinsi Lampung antara lain:Â
1. Pungutan liar yang terjadi di Dinas Dukcapil Lampung Utara yang melibatkan tujuh pegawai negeri. Tujuh Pegawai Dukcapil yang menjadi tersangka melakukan pungli dengan cara meminta uang berkisar Rp10.000- Rp30.000 kepada warga yang ingin mencetak KTP. Yang semestinya tanpa pungutan biaya.Â
2. Kasus pungli SIM yang melibatkan tiga oknum anggota di Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan satu warga sipil di Bandar Lampung. Tiga oknum anggota tersebut melakukan pemungutan liar atas pembuatan surat izin mengemudi di kepolisian resor Bandar Lampung.Â
3. Pungutan liar atas penebusan kebutuhan pokok Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Bandar Lampung. Para pelaku pemungutan liar melancar aksinya dengan dalih keperluan administrasi. Sehingga, penerima BPNT diminta menyetorkan dana yang bervariasi, mulai dua puluh ribu rupiah hingga lima puluh ribu rupiah. Selain untuk administrasi, dana tersebut juga dikatakan sebagai biaya transportasi dan penebusan.Â
Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi kerap kali tidak memenuhi harapan masyarakat karena adanya permasalahan internal di dalam birokrasi tersebut. Akibatnya, kualitas pelayanan menjadi kurang baik. Situasi serupa juga terjadi di Birokrasi Provinsi Lampung, yang merupakan bagian dari birokrasi pelayanan publik di bidang pertahanan, dan tidak terlepas dari gejala patologi birokrasi.Â
Berdasarkan penelitian dan observasi penulis, beberapa bentuk patologi birokrasi di Provinsi Lampung dapat diidentifikasi sebagai berikut.Â
A. Pelaksanaan dan komunikasi antar organisasi, terutama dalam konteks implementasi kebijakan, perlu ditekankan karena hubungan dan koordinasi antar organisasi memegang peran penting, dengan struktur dan prosedur yang harus diikuti sesuai peraturan yang berlaku.Â
B. Sifat dan pelaku implementasi. Kesiapan untuk memberikan pelayanan harus difokuskan pada keberhasilan agenda kebijakan, sehingga implementasi program mencapai tujuan dengan efektif.Â
C. Faktor ekonomi, sosial, dan politik akan memengaruhi setiap tahap implementasi kebijakan. Meskipun penerapan pemutihan pajak tidak terlalu dipengaruhi, komitmen terhadap pelayanan masyarakat harus menjadi prioritas.
D. Sikap pelaksana dalam kebijakan pemutihan pajak kendaraan di Provinsi Lampung sangat berpengaruh pada kesuksesan implementasinya.Â
E. Pengawasan yang kurang dapat mempengaruhi pelaksanaan birokrasi publik, memberikan ruang terbuka bagi penyimpangan oleh petugas administrasi.Â
F. Kualitas sumber daya ASN masih menjadi tantangan serius dalam organisasi publik, menuntut perhatian pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya ASN.
 G. Peralihan dari pelayanan konvensional membutuhkan komitmen yang kuat. Meskipun beberapa daerah telah berhasil mengoptimalkan pelayanan online, penyesuaian dengan kondisi geografis, sosial, dan budaya masyarakat penerima perlu diperhatikan.Â
Berdasarkan hasil studi dari berbagai lembaga, dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan di Indonesia masih rendah, meskipun tuntutan akan kualitas dan kuantitas layanan publik semakin meningkat. Meskipun pengguna layanan sudah membayar, kebutuhan akan kualitas dan kuantitas yang diinginkan belum terpenuhi. Untuk mengatasi kesenjangan dalam layanan publik, diperlukan transparansi dan akuntabilitas, serta regulator yang mampu mengalokasikan sumber daya dengan seimbang.Â
Selain itu, perlu diperhatikan kepentingan pihak nonpengguna layanan publik, terutama dalam konteks lingkungan strategis. Hingga saat ini, pelayanan publik masih memiliki beberapa kelemahan, seperti kurang responsif, kurang informatif, sulit diakses, kurang koordinasi, dan birokrasi yang memperlambat proses perizinan. Selain itu, pelayanan publik juga kurang responsif terhadap keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat, serta terkadang bersifat tidak efisien.Â
REFERENSI: Saputra, P. R., Aspriani, O., & Saputra, M. A. (2022). PATOLOGI MANAJEMEN PELAYANAN SEKTOR PUBLIK DALAM PROGRAM PEMUTIHAN SURAT KENDARAAN BERMOTOR DI PROVINSI LAMPUNG (Studi Pada SAMSAT Lampung Tengah). Jurnal Ilmu Administrasi Negara (JUAN), 10(1), 1-8.Â
Mirnawati, M. (2020). PATOLOGI PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN DALAM BIROKRASI PELAYANAN KARTU TANDA PENDUDUK ELEKTRONIK (KTP-el) DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, 16(2), 21-26.Â
Prasetia, I. M. Y. (2022). PATOLOGI MANAJEMEN PELAYANAN SEKTOR PUBLIK DALAM PROGRAM ADMINISTRASI PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI. Widyanata, 19(2), 102-109.Â
Ida, Y. W., Raga, Y., Wadu, J., & Ratoebandjoe, P. (2020). Identifikasi Patologi Birokrasi Dalam Pelayanan Publik Di Kantor Pertanahan Kabupaten Belu. Jurnal Administrasi Publik, 16(1), 15-31.
https://lampungpro.co/post/12595/kasus-pungli-bpnt-di-bandar-lampungombudsman-jadi-atensi-kami
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H