Mohon tunggu...
Lyfe

Haruskah MPA Diselingi dengan “Perpeloncoan”?

24 Agustus 2015   14:01 Diperbarui: 24 Agustus 2015   14:06 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MPA merupakan singkatan dari Masa Pengenalan Akademik. Sebelumnya, orang-orang menyebut sebagai OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Hal tersebut dilakukan ketika seorang siswa memasuki lingkungan sekolah yang baru. Banyak sekali hal-hal yang dilakukan selama kegiatan MPA. Terlebih saat ini sudah memasuki masa MPA bagi para mahasiswa baru di beberapa universitas di Indonesia.

            Kegiatan selama MPA bertujuan untuk mengenalkan lingkungan sekolah yang baru kepada para siswa. Namun, pada kenyataannya kegiatan MPA ini sering sekali menjadi ajang “perpeloncoan” dari para senior ke juniornya. Banyak berita kekerasan yang terjadi selama MPA, bisa berupa kekerasan fisik ataupun kekerasan psikis. Mengapa hal ini terus terjadi di Indonesia?

            Menurut pendapat saya, perpeloncoan yang selama ini terjadi dalam MPA merupakan hasil dari didikan senior terdahulu kepada senior yang sekarang mendidik para juniornya. Kekerasan yang mereka lakukan menimbulkan dendam tersendiri kepada para junior dan tentunya akan mereka lakukan lagi kepada juniornya, begitu seterusnya.

            Masa Pengenalan Akademik harusnya menjadi sebuah ajang bagi mahasiswa baru dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dengan kondisi yang nyaman dan aman. Pengenalan dengan lingkungan kampus ataupun sekolah baru tidak harus dijadikan sebagai ajang perpeloncoan. Apakah kekerasan fisik dan psikis termasuk ke dalam pengenalan akademik? Saya rasa tidak.

            Kekerasan fisik bisa berupa tamparan, tendangan, ataupun aktivitas fisik lain yang berat dan merugikan orang lain. Kekerasan psikis bisa ditunjukkan dengan cara mencaci-maki, menjelek-jelekkan orang lain, sehingga membuat orang lain menjadi tidak percaya diri, memiliki rasa takut berlebihan dan tentunya membuat tidak nyaman. Hal seperti itu banyak dilakukan oleh para senior dengan alih-alih sebagai “didikan” agar siswa baru menjadi disiplin.

Beberapa contoh kasus kekerasan yang terjadi dalam MPA:

  1. Hendara Saputra, seorang mahasiswa Akademi Kepolisian Semarang yang dianiaya oleh 6 orang seniornya ( Suara Pembaharuan, 18/8/2006 ).
  2. Kasus Cliff Muntu, tentang kekerasan yang terjadi di IPDN, yang berujung pada kematian ( Kompas, 11/4/2007 ).
  3. Kekerasan saat Ospek di STPDN terulang lagi pada 27 Januari 2011. Korbannya adalah Rinra Sujiwa Syahrul Putra (19) anak dari mantan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Pada 27 Januari 2011, Rinra jatuh sakit dan izin pulang ke Makassar kemudian pada Jumat 28 Januari korban mendapat perawatan di rumah sakit. Lantas pada 29 Januari Rinra kembali ke Jatinangor, keesokan harinya praja lain melihat Rinra sudah tidak bergerak di dalam kamar asrama.
  4. Setelah STPDN berganti nama menjadi IPDN, kasus kekerasan di kampus milik pemerintah itu belum mampu dihentikan. Jonoly Untayanadi (25), mahasiswa tingkat tiga kampus IPDN Sulawesi Utara atau Sulut, meninggal dunia usai mengikuti Ospek pada Jumat 25 Januari 2013. Ketika dirujuk ke rumah sakit, mulut korban mengeluarkan darah. Korban akhirnya meninggal di rumahnya di Tikala Baru, Manado, Kamis 24 Januari 2015.

Begitu banyak kekerasan yang terjadi dalam MPA, bisakah kita hentikan? Tentu saja bisa. MPA yang diselingi dengan aksi plonco oleh senior dialihkan sebagai cara mendidik agar para siswa baru menjadi disiplin. Namun, kedisplinan yang benar adalah yang dilakukan dengan tegas, bukan plonco.

Para junior harus taat mengikuti aturan yang dibuat oleh senior selama MPA selagi hal tersebut masih dalam batas kewajaran dan logis. Dan senior juga harus membimbing adik-adiknya dengan tegas apabila ada yang tidak menaati peraturan selagi MPA berlangsung. Namun sekali lagi, tidak perlu adanya kekerasan berupa fisik ataupun psikis bagi para junior. Dengan begitu, MPA dapat berlangsung sebagaimana adanya sesuai dengan harapan para senior dan juga dapat mendidik para junior menjadi disiplin.

               

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun