Pandemi Covid-19 di Indonesia menyebabkan angka pengangguran semakin bertambah. Masyarakat yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) mencari alternatif lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Berbagai usaha dilakukan seperti membuka usaha kuliner, menjual masker wajah hingga menjadi pengamen di jalanan. Pandemi Covid-19 menyebabkan semakin maraknya masyarakat yang menggantungkan hidupnya di jalanan seperti mengamen. Pengamen biasanya menggunakan gitar atau botol yang di isi oleh beras agar menghasilkan bunyi. Namun kini terdapat perubahan gaya mengamen. Saat ini sering ditemukan pengamen menggunakan ondel-ondel yang diiringi musik diberbagai wilayah Jakarta. Maraknya pengamen ondel-ondel di Jakarta membuat Pemprov DKI Jakarta melakukan pelarangan terhadap pengamen ondel-ondel.
Pengamen berasal dari kata amen yang berarti berkeliling dengan bernyanyi, main musik, dan sebagainnya untuk mencari uang. Menurut KBBI, pengamen merupakan orang yang mengamen dan biasanya melakukan pertunjukan di tempat-tempat umum. Sedangkan ondel-ondel yang merupakan boneka raksasa dengan tinggi rata-rata 2,5 meter yang biasa menghiasi kantor pemerintahan. Ondel-ondel juga biasa hadir dalam berbagai acara seperti hajatan, pesta rakyat, dan perayaan ulang tahun Kota Jakarta. Saat pertunjukan ondel-ondel biasanya diiringi dengan tanjidor.Â
Terdapat dua jenis ondel-ondel yaitu ondel-ondel berwarna merah sebagai ondel-ondel laki-laki melambangkan semangat dan keberanian dan ondel-ondel berwarna putih sebagai ondel-ondel perempuan yang melambangkan kebaikan dan kesucian. Ondel-ondel ini merupakan ikon kota Jakarta.
 Pengamen ondel-ondel, orang biasanya menyebutnya seperti itu, menggunakan ondel-ondel dan iringan musik yang ditaruh ke dalam gerobak kecil dibawa oleh beberapa orang untuk berkeliling di jalan agar mendapatkan uang dari masyarakat. Biasanya terdapat dua ondel-ondel yang akan berjalan disisi jalan dan melambaikan tangan ke sekitarnya. Melalui cara seperti itu, mereka mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuan hidup sehari-hari.
Pandemi Covid-19 membuat pengamen ondel-ondel mudah ditemukan di jalan. Hal ini merupakan akibat dari pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh berbagai perusahaan akibat kebijakan pemerintah dalam menekan laju penyebaran Covid-19 yang menyebabkan kerugian. Â Menjadi pengamen ondel-ondel merupakan cara mudah dalam memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat di tengah pandemi ini. Namun keberadaan pengamen ondel-ondel ini menimbukan permasalahan seperti kemacetan yang di timbulkan saat ada pengamen ondel-ondel di sisi jalan sehingga membuat laju kendaraan melambat dan terjadi kemacetan. Penggunaan ondel-ondel sebagai sarana mengamen dianggap meresahkan dan mengganggu.
Maraknya pengamen ondel-ondel ini membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan larangan penggunaan ondel-ondel untuk mengamen. Pelarangan ini didukung Pemprov DKI bersama ormas Betawi melalui berbagai pertimbangan antara lain: Perda 4/2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, Pergub No.11 tahun 2017, Pasal 39 (1)  dan  Pasal 40 serta Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum. Satpol PP DKI juga akan melakukan penindakan dan penertiban kepada orang atau kelompok yang menggunakan ondel-ondel sebagai sarana mengamen.
Masyarakat memahami larangan penggunaan ondel-ondel sebagai sarana mengamen dan meminta Pemprov DKI untuk meninggikan budaya Betawi. Sehingga ikon budaya Betawi ini dapat digunakan dengan benar seperti di tempat-tempat kreasi budaya yang menampilkan kesenian yang dapat dinikmati masyarakat luas.
Pelarangan penggunaan ondel-ondel sebagai sarana mengamen dapat dikatakan bahwa ondel-ondel merupakan bagian dari budaya elit/tinggi (high culture). Konsep kebudayaan tinggi merupakan pandangan Arnold yang mendefinisikan bahwa kebudayaan sebagai suatu hal yang terbaik yang difikirkan dan berkaitan dengan erat dengan seni (sastra). Pandangan ini didukung oleh Leavis yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai cita rasa yang tinggi (elite).
Budaya tinggi merupakan hasil dari hak istimewa yang dimiliki kaum feodal yang memiliki waktu luang sehingga kelompok elit ini dapat menghasilkan budaya-budaya yang berkualitas tinggi. Kebudayaan feodal bersifat sentris, merupakan karya tinggi dan sering kali berhubungan dengan istana. Melihat ondel-ondel sebagai budaya tinggi merupakan hasil dari pejabat pemerintahan yang menginginkan ondel-ondel berada ditempat yang seharusya seperti pesta rakyat dan tempat atau gedung-gedung pemerintahan bukan di jalanan sebagai sarana mengamen. Sehingga kebudayaan ini masih erat kaitannya dengan istana. Istana yang dimaksud di sini merupakan gedung-gedung pemerintahan.
Apabila ondel-ondel dibiarkan sebagai sarana mengamen maka ondel-ondel akan menjadi produk kebudayaan rendah. Kebudayaan rendah merupakan kebudayaan yang dihasilkan dari interaksi sehari-hari masyarakat (rakyat jelata). Menurut Kuntowijoyo (2004:9) menurut masyarakat agraris, kelompok elit dan kelompok rakyat jelata tidak dapat bertukar posisi maupun status di berbagai hasil kebudayaan. Maka akan terdapat sanksi yang mengikat dan menahan pencampuan budaya. Seperti ondel-ondel yang merupakan budaya tinggi tampil di jalanan maka akan ada sanksi yang diberikan kepada masyarakat yang melanggarnya.
Elitisme kebudayaan yang melekat pada ondel-ondel sebagai ikon Kota Jakarta merupakan jalan dalam menjaga kelestarian dan martabat budaya Betawi yang di wariskan oleh nenek moyang terdahulu. Sehingga kita sebagai penerus kebudayaan harus peduli terhadap kebudayaan di sekitar kita.Â