Mohon tunggu...
Mega Ningrum
Mega Ningrum Mohon Tunggu... -

Planner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelampiasan Gejolak Ekonomi Melalui Emigrasi

30 Desember 2014   05:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:12 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Sebagai negara agraris sekaligus negara maritim tentu ada banyak obyek alam Indonesia yang potensial untuk dikelola. Namun sumber daya alam yang melimpah saja ternyata tidak cukup untuk menjamin majunya suatu negara. Buktinya hingga saat ini Indonesia masih saja tergolong sebagai negara berkembang. Sumber daya manusia yang mumpuni, teknologi serta dukungan regulasi dari pemerintah menjadi kunci awal bergeraknya ekonomi ke arah yang lebih baik, yang mana sampai saat ini masih terus diupayakan. Sebagai negara berkembang, ekonomi Indonesia masih terus diupayakan merangkak naik.

Upaya individu untuk mendongkrak ekonomi pribadi dapat melalui berbagai cara. Salah satunya dengan meng-apply lowongan pekerjaan formal. Namun saat ini faktanya jumlah pencari kerja tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Sebagaimana data yang dihimpun oleh BPS, pada tahun 2013 jumlah pencari kerja terdaftar di Indonesia sebanyak 1.051.944, sedangkan lowongan kerja terdaftar hanya sebanyak 612.699 saja. Dari data tersebut terlihat jelas ketimpangan antara kebutuhan dan penyediaan lapangan kerja. Tidak banyak pilihan yang bisa diambil oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang minim pendidikan dan ketrampilan. Ada yang memilih tetap bertahan di negeri sendiri, ada pula yang lebih tertarik menjadi tenaga migran internasional (ber-emigrasi) ke negeri orang sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Menurut Pasal 1 UU Nomor 39 Th 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Jumlah TKI yang terdaftar cukup banyak. Data dari BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) menyebutkanpada tahun 2010 jumlah TKI sebesar 575.803, kemudian mengalami kenaikan pada tahun berikutnya menjadi 581.081. selain itu Pulau Jawa khususnya Provinsi Jawa Barat disebut sebgai penyumbang TKI terbanyak periode Januari-September 2014, yaitu mencapai 79.862 orang.

Meskipun telah banyak media yang menayangkan berbagai resiko tak terduga bagi TKI, namun hal tersebut tidak lantas menciutkan nyali mereka. Hal ini dapat dilihat dari jumlah TKI yang justru semakin meningkat. Belum lagi masih ada begitu banyak TKI ilegal yang tidak terdaftar secara resmi oleh pemerintah. Hal ini bisa menjadi masalah sekaligus potensi bagi Indonesia.

Selama ini TKI akrab disebut sebagai pahlawan devisa. Istilah tersebut cenderung berkonotasi positif, yang artinya TKI memang memiliki andil yang cukup besar terhadap nilai APBN melalui jasa pengiriman uang atau biasa disebut remitansi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sudah sepantasnya kita turut berterima kasih kepada para pahlawan devisa tersebut. Namun pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah dimana peran pemerintah dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduknya, sehingga mereka justru harus bekerja di bawah naungan negara lain? Bukankah dengan semakin banyaknya jumlah TKI kita menandakan semakin tidak berdayanya pemenuhan kebutuhan akan pekerjaan? Kiranya perlu menilik kembali apakah tingginya jumlah TKI merupakan sesuatu yang membanggakan atau justru memprihatinkan. Jumlah TKI yang tinggi memang memberikan keuntungan tersendiri bagi negara asal, tetapi juga dapat membuat negara ini dipandang sebelah mata oleh negara lain. Untuk mengubah hal itu, masih perlu pengupayaan pembenahan dalam berbagai aspek. Tentu saja tanggung jawab ini tidak semata-mata menjadi Pekerjaan Rumah pemerintah sendiri, melainkan juga seluruh elemen bangsa terutama kaum muda. Perlu adanya sinergi dalam mewujudkan generasi yang bersumber daya dan berpola pikir mandiri. Perlu pembenahan pola pikir sejak dini agar senantiasa berorientasi untuk berdiri di atas kaki sendiri. Sebagaimana revolusi mental yang sering didengung-dengungkan oleh Pemimpin negara kita saat ini. (“Mari terus upayakan pola pikir yang mengacu pada kebenaran, dimulai dari diri sendiri”)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun