Mohon tunggu...
Mega Vristian
Mega Vristian Mohon Tunggu... -

Mega Vristian chozin, lahir di Kalijati, Subang, Jabar. Sangat menyukai bidang tulis menulis. Karya-karyanya dimuat dalam beberapa buku antara lain: Antologi Puisi-Cerpen-Esai Sastra Pembebasan (2004), Dian Sastro For President - On/Off Book (2005), Antologi Puisi Untuk Munir (Nubuat Labirin Luka) – Sayap Baru & Aceh Working Group (2005), Kumpulan Cerpen Nyanyian Imigran – Dragon Family Publisher (2006), buku kumpulan cerpen "Selasar Kenangan" - AKOER (2006), Antologi puisi " Ijinkan Aku Tuhan" penerbit Dragon family Publisher (2008),Kumpulan puisi “ Lima Kelopak Mata Bauhinia” (2008),Antologi puisi Luka Tanah Priok, penerbit Dragon Family Publisher (2010). dan Buku berjudul, Yam Cha penerbit Teater Angin Hong Kong ( 2010) Mendapat Puisi Award (2009) dari tabloid Apakabar – Hong Kong. Mantan anggota FLP, IMWU dan Komunitas perantau Nusantara - Hong Kong. Sekarang aktip di Teater Angin, Hong Kong.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Mong Kok Derita Itu Bermula

23 Juli 2010   07:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:39 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan itu tiba-tiba terdiam. Tapi aku berharap dia masih mau meneruskan ceritanya. Berkali-kali jemarinya merapikan helai-helai rambut yang menyembul dari jilbab hitamnya. Mukanya pucat. Mungkin karena kurang tidur.

Kuletakkan kembali alat perekam di hadapannya. Sekilas dia memandangnya. Duka membayang di wajahnya. Bibir keringnya kemudian bergerak, melanjutkan kisahnya.

"Aku sempat berpikir dia bukan manusia. Ia tidak punya hati. Masak tega menjualku!" ucapnya geram. Tangannya meninju bangku panjang yang kami duduki. Kupeluk bahunya untuk sekadar meredam emosinya. Air matanya menderas. Dia terisak pelan, nyaris tak terdengar.

"Lelaki itu tiba-tiba menindih dan memperkosaku. Aku berusaha memberontak dan melawan. Tapi dia begitu kuat. Semakin aku berontak, dia kian bergairah. Dia itu binatang!"

Kupeluk tubuhnya. Aku tak tega melihatnya begitu sedih.

"Istirahatlah!" kataku. "Tak usah bercerita lagi. Besok saja. Jika pikiranmu sudah tenang, kita lanjutkan lagi," ujarku.

"Dia itu gila!" lanjutnya. "Gila! Dia bukan manusia! Tapi iblis!"

Pecah sudah isaknya menjadi tangis. Suara tangis itu menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di dekat kami. Tapi dia tak peduli.

Untuk beberapa saat kubiarkan tangisnya keluar. Satu bungkus tisu segera berpindah ke tempat sampah setelah berubah menjadi kepalan-kepalan bola kertas yang meresap air matanya.

***
Aku mengenal perempuan itu saat membeli gelang giok mainan di Jade Market, Hong Kong. Saat itu dia duduk sendirian, menangis di sebuah bangku taman di depan Temple Jordan. Tempat itu menghadap gedung Henry G Leung Yau Ma Tei Community Center. Merasa sesama dari Indonesia, aku beranikan diri menyapanya. Dari situ aku mulai mengetahui penderitaannya.

Panggil saja Suniarti, bukan nama sesungguhnya. Ia berumur 28 tahun. Berasal dari Grobogan, Jawa Tengah. Seperti cerita kebanyakan perempuan dari tanah air, Suniarti terpaksa merantau ke Hong Kong karena tekanan ekonomi. Suaminya yang buruh tani tak mampu menopang seluruh kebutuhan keluarga. Apalagi si Upik, permata hatinya, sudah waktunya masuk sekolah. Sudah tentu, sebagai orang tua yang baik Suniarti harus menyiapkan tabungan demi kelangsungan sekolah Upik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun