[caption id="" align="aligncenter" width="553" caption="Sumber: militernews.com"][/caption] Mengahabiskan liburan akhir pekan, saya memilih untuk menonton film - film kisah nyata yang inspiratif. Salah satu film yang saya putar kemarin berjudul "Mandela: Long Walk to Freedom. Film itu menceritakan tentang kehidupan Madiba, mulai dari kehidupan masa kecil, asmara dan perjuangannya melepaskan Afrika Selatan dari politik apartheid. Seperti yang diketahui secara luas, Mandela menjalani masa hukuman di penjara selama 27 tahun karena gerakan pembebasan nasional yang digelutinya. Dia kemudian menjadi presiden yang pertama kali terpilih secara demokratis pada 1994, bersamaan dengan berakhirnya era politik perbedaan warna kulit (apartheid) di Afrika Selatan. Menariknya, film tersebut tidak melulu menampilkan sisi heroik seorang Mandela. Juga dikisahkan tentang sisi "buruk" seorang Madiba sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan. Mandela semasa mudanya tergolong pria "playboy" karena berselingkuh dari istri pertamanya, Evelyn Mase. Tercatat, hingga akhir usianya, Mandela menikahi tiga orang wanita. Tidak lama setelah keluar dari tahanan selama puluhan tahun, Mandela berpisah dengan istrinya Winnie Mandela. Ketika terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan, Mandela berstatus duda. Afrika Selatan tidak memiliki ibu negara sampai akhirnya Mandela menikahi mantan ibu negara Mozambik, Graca Machel. Tidak ada masalah dan tidak ada yang meributkan status duda yang disandang Mandela saat itu. Kisah Mandela ini mengingatkan saya pada sosok Prabowo, salah satu Capres yang selalu disudutkan karena status dudanya. Status Prabowo itu diangkat berkali - kali baik di media massa atau sosial media untuk memojokkan Prabowo. "Jika Probowo bapak negara? terus ibu negaranya siapa?", "Gimana mau ngurus negara, kalau ngurus keluarga saja tidak becus!" begitulah cemoohan pada Prabowo yang sering saya baca di sosial media. Mandela mampu membebaskan rakyat Afrika Selatan dari penjajahan asing, bahkan Mandela meraih nobel perdamaian untuk perjuangannya tersebut. Membesarkan nama Afrika Selatan, dan tidak ada yang mampu membantah kemampuannya dalam memimpin sebuah negara. Toh Mandela berungkali gagal dalam rumah tangganya, apakah itu lantas dapat dijadikan patokan kemampuannya dalam memimpin negara? Begitu juga dengan Prabowo. Mengapa kita harus meributkan urusan pribadi Capres Gerindra tersebut? Bukankah lebih penting bagi kita menyelami konsep dan visi misi pembangunan yang diusungnya ketimbang mengobok - ngobok masalah pribadinya. Toh sejauh ini kemampuan memimpin Prabowo tidak kalah dari kompetitornya bahkan lebih baik. Hal itu dapat dilihat semakin derasnya dukungan kepada Prabowo dari berbagai elemen masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H