Air permukaan sungai Huangpu melukiskan langit Shanghai di malam pergantian tahun. Kau, aku. Kita masih bersama waktu itu. kelap-kelip berbagai rasi bintang, lampu-lampu kota, dan gedung-gedung pencakar langit, juga oriental pearl tower. Begitupun wajahmu. Terefleksi disana, samar-samar namun tetap rupawan. Aku bersandar di haluan kapal Huangqiu Tong, menunduk memandangi refleksimu, memberikan senyum yang tak mampu kusampaikan padamu. Hanya bayangmu, hanya pada bayanganmu. Sedangkan kau ada disana, tepat di sampingku. Aku bahkan bisa merasakan auramu yang menghangatkan.
Lalu kau menepuk bahuku, “Lihat, kembang api!”, kau bilang. Kau tertawa, menunjukkan wajah takjub dan bahagia. Seperti anak kecil yang masih murni, menengadah ke langit Shanghai dengan pupil mata yang membesar. Bagiku, suara luncuran kembang api adalah buruan euforia-euforia yang akan segera muncul, meledak-ledak. Seperti gelembung karbonat dalam minuman kaleng bersoda yang akan dengan segera menggelitiki tenggorokan. Dan menyaksikannya bersamamu adalah kebahagiaan yang tak terperi. Dan menyaksikannya bersamamu di malam terakhirmu di Shanghai, adalah momen yang tak akan pernah bisa terlupakan dalam hidupku.
Bahkan hingga saat kepergianmu jauh ke Dongjing sana tiba, aku hanya ingin terus menerus meresapi sari-sari kebahagiaan sebanyak yang mungkin bisa kukumpulkan di detik-detik terakhir kebersamaan kita. Maka aku urung untuk menyatakan perasaanku padamu. Maka kuenyahkan ego pribadiku untuk memilikimu, menahanmu untuk tetap tinggal bersamaku di tanah air tempat lahirnya ideal komunisme. Maka aku belajar bersyukur bahwa kau telah berjanji tidak akan pernah melupakanku. Aku hanya berharap, tahun-tahun yang telah kau habiskan di Shanghaiku bisa mengikat hatimu pada kota ini. Tak mengapa kalaupun bukan padaku, karena aku tetap akan menjadi bagian kecil dari Shanghai.
Oh, lautan. Aku sungguh patah hati, walaupun seharusnya aku tidak. Orang berharga yang tercerabut dari kehidupanku karena kelemahanku sendiri. Aku sesak, aku lelah. Teracuni oleh partikel-partikel yang diproduksi dari dalam tubuhku sendiri. Aku tak tahan lagi, aku ingin menguras habis racun itu dari tubuhku. Maka kumohon agar kau mengizinkanku, lautan, untuk menumpahkan semuanya di tepianmu. Kumohon izinkan aku meneriakkan “aku mencintaimu” barang sejuta atau dua juta kali. Meskipun tak akan pernah sampai suara lemahku ke Dongjing. Meskipun tak akan pernah sampai perasaan bodohku padamu, kumohon izinkan aku untuk meneriakkan “aku mencintaimu” barang sejuta atau dua juta kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H