Mohon tunggu...
Mega Aulia
Mega Aulia Mohon Tunggu... -

Introvert. Penulis amatir.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Independence Day at Papandayan Mount

16 November 2014   17:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang aku masih saja teringat dengan perjalananku satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2013, dengan teman-teman yang belum pernah kutemui sebelumnya ke Papandayan. Kami camping disana selama 2 hari 1 malam. Jangan bayangkan kami tidur di penginapan, tentu saja kami tidur di tenda dome mungil. Aku sedang sangat bersemangat untuk memakai sleeping bag baru yang kubeli dari “uang kompensasi” pembatalan jalan-jalan ke Karimun Jawa (mungkin akan kuceritakan nanti).

Saat itu aku merasa bosan dengan rutinitas di rumah dan di sekolah (aku masih kelas XII SMA). Aku memutuskan mencari teman di salah satu grup facebook untuk pergi ke Papandayan. Dan tentu saja, aku belum kenal apalagi bertemu siapapun yang ada di grup itu! Mungkin orang lain akan menganggap itu cukup nekat, mengingat banyak kasus tidak mengenakkan mengenai pertemanan dengan orang asing facebook. Tapi percayalah, orang-orang di grup itu sangat baik dan kami saling berbagi untuk hobi yang sama. Apalagi kalau bukan mendaki gunung.

Singkat cerita, aku dan teman di grup itu sepakat untuk bertemu di terminal Guntur di pagi harinya. Aku (asli Garut), kak Ranti (Pontianak), kak Dyah (Sukabumi), dan kak Tari (Bekasi), setelah sarapan di salah satu warteg di sana segera mencari angkot menuju Cisurupan. Suasana di sana sangat ramai dengan pendaki gunung yang akan mendaki ke Papandayan dan Cikuray. Dasar ada kesempatan, ongkos pun dinaikkan 3 kali lipat. Aku sebagai orang Garut sangat hafal ongkos ke Cisurupan hanya lima ribu rupiah, tapi ya apa boleh buat.

Di angkot itu kami bertemu tiga orang pendaki lain yang juga akan ke Papandayan. Kiky, kak Manda, dan kak Ikin (semuanya dari Bekasi). Akhirnya kami memutuskan untuk camping bareng disana. Sampai di alun-alun Cisurupan, kami disambut oleh kemeriahan perayaan hari kemerdekaan mulai dari marching band anak-anak sekolah dasar sampai arak-arakan sederhana bertemakan Indonesia. “Pertahanin ya meg acara-acara 17 Agustusan di Garut, di Bekasi udah ga ada yang kaya gini”, ujar salah satu teman perjalananku. Agak miris memang, semangat 17 Agustus mulai meluntur dimana-mana.

[caption id="attachment_375781" align="aligncenter" width="420" caption="mayoret cilik dan marching band nya "][/caption]

[caption id="attachment_375812" align="aligncenter" width="700" caption="Bertemu mahasiswa IPB (berbaju biru) yang akan melakukan penelitian di gunung Papandayan"]

14161113051801154875
14161113051801154875
[/caption]

Di awal pendakian kami seperti dituntun oleh deretan pohon cantigi di sisi kanan dan kiri kami, yang semakin jauh semakin jarang. Saat itu kami mulai mendaki di siang hari (aku lupa tepatnya pukul berapa), dan tidak pernah mau lagi mendaki di jam-jam seperti ini ke Papandayan karena panasnya yang menyiksa. Jalur pendakian Papandayan bukan hutan belantara yang mungkin orang pikirkan tentang gunung. Di sini jalurnya berbatu, seperti gunungan batu-batu vulkanik, dengan pohon cantigi yang sangat jarang. Kurasa wajar saja karena jalur pendakian ini masih di sekitar kumpulan kawah-kawah kecil gunung Papandaya dengan bau sulfur yang menyengat (teman SMA di jurusan pernah IPA mengatakan nama kimia kentut sama dengan sulfur, jadi… ambil kesimpulan sendiri).

[caption id="attachment_375813" align="aligncenter" width="700" caption="Berfoto dengan bendera Indonesia di dekat kepulan asap kawah-kawah kecil gunung Papandayan"]

1416111576285261848
1416111576285261848
[/caption]

Pelajaran pertama: jangan mendaki gunung Papandayan di tengah hari. Pelajaran kedua: jangan lupa memakai masker saat melewati kawah Papandayan jika tidak tahan bau kentutnya gunung.

Banyak sekali pendaki pada hari itu, bahkan sempat “macet” saat menyebrangi sungai kecil disana. Yah, mendaki gunung memang sedang menjadi “tren” saat ini sejak populernya novel dan film yang mengangkat gunung Mahameru sebagai latar utama ceritanya. Tapi banyak orang lupa, bahwa mendaki gunung tidak semudah yang diperlihatkan dalam film. Terutama yang harus diperhatikan adalah kesehatan fisik saat akan mendaki, pengetahuan mengenai jalur pendakian, safety, logistik yang memadai, dan tentu saja selalu membawa lagi sampah-sampah yang dihasilkan, bukannya meninggalkan sampah di gunung.

[caption id="attachment_375814" align="aligncenter" width="700" caption="Antrian pendaki yang akan menyebrangi sungai kecil"]

1416111821846022071
1416111821846022071
[/caption]

Hal yang selalu membuatku sedih adalah, di gunung-gunung yang pernah kudaki selalu saja ditemukan sampah-sampah bekas makanan, botol-botol berisi air seni (di Gunung Ciremai), pohon-pohon edelweiss yang ditebangi (di Gunung Papandayan) untuk memperluas tempat mendirikan tenda, dan anak-anak “alay” yang dengan sengaja memetik edelweiss dan dengan bangga memberikannya pada kekasih. Padahal ada tiga kode etik yang harus dipahami saat mendaki gunung, yaitu: Leave nothing but footprint (jangan tinggalkan apa pun selain jejak kaki), Take nothing but picture (jangan mengambil apa pun selain foto), Kill nothing but time (jangan membunuh apa pun selain waktu). Namun yang paling disayangkan adalah hilangnya nyawa karena kesalahan-kesalahan yang sebenarnya dapat diantisipasi sebelumnya.

[caption id="attachment_375817" align="aligncenter" width="700" caption="Istirahat sejenak"]

141611213011896843
141611213011896843
[/caption]

Kembali ke cerita, karena di jalur pendakian pun sangat banyak orang, tentunya di pondok saladah pun tenda-tenda sangat banyak. Saking penuhnya, kami menyebutnya pasar :D. Sesampainya disana kami segera mendirikan tenda, memasak, dan ngobrol-ngobrol (meskipun sebenarnya aku lebih banyak diam dan mendengarkan).Menyenangkan rasanya bertemu teman-teman baru, dari daerah yang berbeda, dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Jujur saja aku lebih suka seperti ini daripada bergaul dengan teman-teman sebaya di kelas ataupun di sekitar rumah. Walaupun aku tidak bisa begitu akrab ngobrol dengan mereka, aku senang mengenal karakter-karakter yang beragam seperti ini. Di rombonganku, hanya aku dan Kiky yang bersekolah. Yang lainnya sudah bekerja atau mahasiswa tingkat akhir.

Karena aku lebih banyak diam, aku sering jadi objek “cengan” mereka sepanjang siang dan malam. Misalnya seperti, “tar malem pasti bintang pada ga ada di langit, kan bintangnya ada disini (mega)”, dan masih banyak lagi yang sudah tidak kuingat. Lucunya, keesokan hari mereka mengaku sengaja melakukan itu karena takut aku kesurupan. Ya tuhan! Aku benar-benar ingin tertawa saat mendengar hal itu. Mungkin ini pertama kalinya mereka bertemu pendaki sediam diriku. Memang biasanya pendaki sangat hangat, terbuka, mudah akrab dengan siapapun yang baru ditemuinya. Tapi aku senang dengan mereka yang peduli padaku, bukannya memberi cap sombong yang biasa orang beri padaku (meskipun aku sudah maklum).

[caption id="attachment_375819" align="aligncenter" width="700" caption="Our tent"]

1416112290521438204
1416112290521438204
[/caption]

Malam hari langit tak berawan, hamparan bintang-bintang kecil nan cantik membuatku takjub. Puluhan tenda warna-warni menyala terang bagai lampion-lampion raksasa karena senter-senter yang dinyalakan penghuninya. Obrolan-obrolan hangat dan menyenangkan terdengar dari setiap tenda, pinjam ini pinjam itu dan berbagi makanan dengan tenda tetangga bukanlah hal yang aneh. Inilah duniaku, aku merasa 100% lebih hidup disini. Separuh nyawaku berada disini, di gunung-gunung yang diciptakan tuhan sebagai pasak bumi.

[caption id="attachment_375800" align="aligncenter" width="300" caption="foto sunrise dari gunung Papandayan, terlihat juga gunung Cikuray "]

14161065112026844432
14161065112026844432
[/caption]

Hari kedua, setelah hunting sunrise, kami pergi ke Tegal Alun untuk memanjakan mata kami dengan hamparan padang edelweiss yang selalu menjadi tujuan para pendaki. Tidak terlalu jauh dari pondok saladah. Jalurnya berupa batu-batu yang sangat besar, mudah dilalui tapi membuat kaki sakit. Tak usah bertanya apakah aku menyesal pergi kesini, karena semua terbayar dengan edelweiss-edelweiss yang saat itu baru pertama kali kulihat, dengan pemandangan tenda-tenda di pondok saladah yang terlihat sangat kecil, dan dengan lautan awan yang berada di bawah tempatku berdiri. Inilah hidup!

Tapi kami tidak bisa berlama-lama lagi disini. Teman-temanku yang sudah bekerja harus mengejar waktu untuk bisa sampai di kotanya masing-masing sebelum malam tiba. Setelah kembali ke pondok saladah, kami segera packing, bersiap-siap untuk turun. Waktu itu kami sempat berangan-angan untuk kembali mendaki bersama ke Cikuray, tapi hingga sekarang belum terealisasikan. Satu tahun (lebih) sudah kami tidak bertemu lagi. Hanya sedikit komunikasi lewat jejaring sosial ataupun telepon.

[caption id="attachment_375823" align="aligncenter" width="1" caption="Bertemu rombongan dari Depok di "]

1416112803665480567
1416112803665480567
[/caption]

Hal yang selalu kuingat adalah, mereka teman-teman perjalanan yang baik meskipun baru bertemu untuk pertama kalinya. Latar belakang apa pun tidak menjadi soal di sana. Di gunung yang kami cintai. Semuanya berbaur, anak SMA, mahasiswa, yang sudah bekerja, orang Bekasi, orang Sukabumi, bahkan orang sebrang sana. Aku selalu merindukan suasana seperti itu, suasana di saat orang-orang peduli satu sama lain, saat semua orang di sana merasa satu. Inilah yang membuatku nyaman sebagai pendaki freelance (tidak terikat oleh organisasi pecinta alam apa pun). Aku bisa pergi kemana saja, dengan siapa saja, berteman dengan orang dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang.

[caption id="attachment_375824" align="aligncenter" width="700" caption="Sebelum pulang, di alun-alun Cisurupan. Berfoto menghadap gunung Cikuray"]

14161130511850756429
14161130511850756429
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun