Mohon tunggu...
Mega Melinda A.P.
Mega Melinda A.P. Mohon Tunggu... Mahasiswa - IAIN Ponorogo

Hai! Saya Mega Melinda, seorang mahasiswa semester 4 di IAIN Ponorogo, sedang menempuh studi S1 Tadris Matematika. Di sela-sela waktu kuliah, saya juga aktif mengeksplorasi berbagai isu-isu terkini dalam dunia pendidikan dan psikologi pendidikan. Melalui akun ini, saya berbagi artikel dan pemikiran seputar topik-topik tersebut, serta berdiskusi dengan komunitas gen Z lainnya. Ayo bergabung dan jadilah bagian dari perbincangan yang asik tentang masa depan pendidikan! ✨

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Matematika dan Kecerdasan Emosional: Mengembangkan Kemampuan Mengatur Emosi dan Mengatasi Frustasi saat Belajar Matematika

15 Juni 2024   02:30 Diperbarui: 15 Juni 2024   02:47 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belajar matematika sering kali dianggap sebagai tantangan intelektual yang signifikan, namun aspek emosional yang terkait dengan pengalaman belajar ini sering kali terabaikan. Kecerdasan emosional, yang mencakup kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengatur emosi, memainkan peran penting dalam keberhasilan akademik, terutama dalam mata pelajaran yang menuntut seperti matematika. Menurut Goleman (1995), kecerdasan emosional adalah prediktor utama keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Penelitian oleh Pekrun et al. (2002) menunjukkan bahwa emosi positif seperti antusiasme dan kebanggaan dapat meningkatkan motivasi dan prestasi akademis, sementara emosi negatif seperti kecemasan dan frustrasi dapat menghambat proses belajar. Dalam pembelajaran matematika, pengembangan kecerdasan emosional menjadi kunci untuk membantu siswa mengatasi hambatan emosional dan mencapai pemahaman yang lebih mendalam.

Pendekatan yang mengintegrasikan kecerdasan emosional dalam pembelajaran matematika dapat memberikan solusi efektif untuk mengatasi masalah frustrasi dan kegagalan yang sering kali dialami oleh siswa. Dweck (2006) mengemukakan bahwa mindset berkembang yang melibatkan keyakinan bahwa kemampuan dapat ditingkatkan melalui usaha dan ketekunan, berkaitan erat dengan kecerdasan emosional. Mindset ini mendorong siswa untuk melihat kesulitan sebagai peluang untuk belajar daripada sebagai hambatan yang tak teratasi. Selain itu, penelitian oleh Boekaerts (2010) menekankan pentingnya strategi regulasi diri dan manajemen emosi dalam mengatasi stres akademik. Oleh karena itu, pendekatan yang menggabungkan pengajaran matematika dengan pengembangan kecerdasan emosional tidak hanya membantu siswa dalam mengatasi emosi negatif tetapi juga meningkatkan keterampilan matematika mereka melalui peningkatan motivasi, ketekunan, dan rasa percaya diri.

Pembelajaran matematika sering kali dipandang sebagai salah satu tantangan akademis terbesar, banyak siswa yang mengalami kesulitan dan frustrasi yang signifikan. Namun, penting untuk memahami bahwa keberhasilan dalam matematika tidak hanya tergantung pada kemampuan kognitif tetapi juga pada kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional mengacu pada kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain (Goleman, 1995). Dalam pembelajaran matematika, kemampuan ini menjadi sangat krusial, karena emosi negatif seperti kecemasan dan frustrasi dapat menghambat proses belajar dan mengurangi kinerja akademik.

Menurut Pekrun et al. (2002), emosi akademik memainkan peran penting dalam motivasi, strategi belajar, dan kinerja siswa. Emosi positif seperti antusiasme dan kebanggaan dapat meningkatkan motivasi intrinsik dan pemahaman konsep matematika. Sebaliknya, emosi negatif seperti kecemasan dapat mengganggu konsentrasi dan mengurangi kemampuan untuk memecahkan masalah matematis. Penelitian menunjukkan bahwa siswa dengan kecerdasan emosional yang tinggi cenderung lebih mampu mengatasi stres dan tekanan akademis, sehingga lebih sukses dalam belajar matematika.

Frustrasi dalam belajar matematika sering kali disebabkan oleh pengalaman kegagalan berulang yang dapat menurunkan rasa percaya diri dan motivasi siswa. Dweck (2006) memperkenalkan konsep mindset berkembang (growth mindset) yang menggarisbawahi bahwa keyakinan bahwa kemampuan dapat ditingkatkan melalui usaha dan pembelajaran adalah faktor penting dalam mengatasi hambatan akademis. Siswa dengan mindset berkembang cenderung melihat kesulitan sebagai tantangan yang bisa diatasi dan kesempatan untuk belajar, bukan sebagai hambatan yang tidak bisa dilewati.

Boekaerts (2010) menekankan pentingnya strategi regulasi diri dalam menghadapi stres akademis. Strategi ini melibatkan kemampuan untuk mengelola emosi dan motivasi yang sangat relevan dalam konteks belajar matematika. Siswa yang mampu mengatur emosinya dengan baik lebih mampu mengatasi rasa frustrasi dan tetap fokus pada tugas yang dihadapi. Dengan demikian, mengembangkan kecerdasan emosional dapat membantu siswa untuk tetap termotivasi dan mengurangi tingkat kecemasan mereka saat menghadapi tantangan matematika.

Penelitian oleh Ashcraft dan Krause (2007) menunjukkan bahwa kecemasan matematika (math anxiety) dapat mengganggu proses kognitif yang diperlukan untuk memecahkan masalah matematika. Kecemasan ini sering kali berakar dari pengalaman negatif sebelumnya dan dapat menjadi penghalang utama dalam belajar matematika. Dengan meningkatkan kecerdasan emosional, siswa dapat belajar untuk mengenali dan mengelola kecemasan ini, sehingga mengurangi dampaknya terhadap prestasi akademis siswa.

Selain itu, implementasi pendekatan pengajaran yang mengintegrasikan aspek emosional dapat memberikan manfaat besar. Misalnya, pendekatan pembelajaran yang menekankan kolaborasi dan dukungan sosial dapat membantu siswa merasa lebih nyaman dan termotivasi. Menurut Johnson dan Johnson (2009), pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang penting.

Integrasi kecerdasan emosional dalam kurikulum matematika juga memerlukan peran aktif dari guru. Guru yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan positif, yang dapat membantu siswa merasa lebih percaya diri dan termotivasi. Menurut Jennings dan Greenberg (2009), guru yang mampu mengelola emosi mereka sendiri dan memahami emosi siswa cenderung lebih efektif dalam mengajar dan mendukung siswa mereka.

Lebih lanjut, intervensi berbasis kecerdasan emosional, seperti program pelatihan emosi dan mindfulness, telah terbukti efektif dalam meningkatkan kesejahteraan emosional dan kinerja akademis siswa. Penelitian oleh Schonert-Reichl et al. (2015) menunjukkan bahwa program pelatihan kecerdasan emosional dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan manajemen emosi yang lebih baik yang pada gilirannya meningkatkan prestasi akademis siswa.

Pengembangan kecerdasan emosional dalam pembelajaran matematika bukan hanya tentang mengatasi emosi negatif, tetapi juga tentang membangun fondasi emosional yang kuat untuk mendukung proses belajar yang lebih efektif. Dengan menggabungkan strategi pembelajaran yang mendukung pengembangan kecerdasan emosional, siswa dapat lebih siap menghadapi tantangan akademis dan mencapai keberhasilan yang lebih besar dalam matematika. Pendekatan ini tidak hanya relevan untuk matematika tetapi juga dapat diterapkan pada berbagai bidang akademik lainnya, memberikan siswa keterampilan hidup yang penting untuk keberhasilan jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun