Mohon tunggu...
Medy Parli Sargo
Medy Parli Sargo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penganut Demokrasi Pancasila. Minat pada masalah-masalah kebangsaan, kebudayaan, teknologi, hukum dan hak kekayaan intelektual. Aku hobi menghitung waktu, karena waktu sangat berarti bagi hidup kita. (mpsargo@yahoo.co.id/17 Nov/+kompaSIANA)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saya, Muhammadiyah dan RUU Ormas

13 April 2013   09:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:16 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontroversi tentang RUU Ormas telah mengusik saya bertanya-tanya. Mengapa muncul kegelisahan di beberapa kalangan terhadap gagasan asas tunggal Pancasila?

Pengurus Muhammadiyah yang memimpin organisasi Islam terbesar di negeri ini adalah salah satu yang gelisah tentang ini. Ada pemahaman yang belum dapat saya tangkap, karena orientasi saya lebih kuat terhadap kepentingan negara.

Mengapa saya hanya menyebut Muhammadiyah? Karena saya merasa lebih dekat dengan Muhammadiyah. Walaupun masih sangat sedikit pengetahuan saya tentang Muhammadiyah, maka itulah yang mendorong saya mengambil sikap lebih melihat pada sisi kepentingan negara.

Memang negara ini baru terbentuk sejak berhasil mensyahkan UUD’45. Tetapi sebagai suatu bangsa (Bangsa Sunda, Bangsa Aceh, Bangsa Papua, Bangsa Jawa dsb) sudah ada dan lebih tua dari organisasi apa pun yang ada saat ini. Negara hanya sebuah kesepakatan. Sepakat atau tidak sepakat adalah sebuah pilihan, namun harus siap dengan segala konsekuensinya. Ini hanyataktis menyikapi situasi menyangkut negara. Kalau saya harus memilih, tentu saya memilih negara ketimbang sebuah organisasi. Meskipun saya pernah dibesarkan dalam lingkungan Universitas Muhammadiyah.

Dari Muhammadiyah, yang saya ikuti adalah ajaran Islamnya, bukan keorganisasiannya. Setidaknya sudah dibuktikan para tokoh Muhammadiyah sendiri yang banyak masuk parpol berbeda-beda. Tokh, mereka tidak terganggu ke-Islam-annya. Artinya, saya pun tidak memiliki masalah dengan ke-Islam-an saya ketika berbeda pandangan dengan Muhammadiyah. Ini penting saya lontarkan, karena banyak yang berfikir (walau dengan pengungkapan berbeda), ketika menentukan keberpihakan padaNegara, maka dianggap luntur kadar ke-Islam-annya.

Negara ini menurut saya sedang mengalami krisis moral di berbagai aspek kehidupan bernegara. Mulai dari olah raga, peradilan, korupsi, pilkada, hingga sparatisme. Semua tidak meninggalkan pesan moral yang baik bagi Negara. Sampai-sampai kita sendiri sebagai pribadi nyaris kehilangan moral kepedulian terhadap Negara. Nyaris mengurus diri sendiri dan kelompoknya. Nyaris senantiasa menyalahkan negara, padahal negara adalah kita. Orang-orang yang berorientasi pada penguatan negara, seakan-akan lari di tempat, karena ditinggal sendirian. Negara lain yang tidak berjuang untuk Negeri ini adalah yang memetik keuntungannya.

Kita seakan-akan tidak sedang berjuang bersama-sama lagi. Yang menyatukan kita hanya “jam makan siang”. Ketika kita masih bisa makan siang, seolah-olah masalah sudah selesai. Kita seringkali lupa tentang esok siang makan apa. Kita seringkali lupa bangsa ini akan jadi apa. Bahkan kita melupakan cita-cita, bangsa ini harus jadi apa kelak, dan kita harus berbuat apa sekarang. Begitu usai makan siang, kita tidur.

Negara, tentu bukan sekedar organisasi yang menjamin kita bisa makan siang. Negara juga harus menjadi tumpuan harapan bagi generasi penerus bangsa. Karena itu kita yang hidup saat ini semestinya mampu merancang dan membangun fondasi yang lebih kuat bagi topangan kelangsungan generasi penerus. Bukan sebatas ujung pilkada atau ujung pilpres.

Bagi saya, hiruk pikuk politik saat ini hingga pilpres adalah ancaman disintegrasi bagi bangsa ini. Suhu politik di Aceh dan Papua akan semakin meningkat jelang pilpres. Dan bukan tidak mungkin “tragedi pemisahan Timor Timur” akan terulang pada Aceh dan Papua jelang Pemilu dan Pilpres. Karena itu Negara (termasuk kita) harus ekstra menyikapi lebih serius dan tegas.

Bisakah kita sebagai warga negara yang baik atau sebagai organisasi yang bijak mengendorkan sedikit urat syaraf, untuk saat ini mendukung penyiapan perangkat fundamental untuk digunakan sebagai dasar bagi penyelamatan negara. Mungkin kalimat terakhir ini terlalu menyeramkan. Tetapi itu hanya untuk membangunkan tidur kita.

Saya masih ingat pernyatan Jenderal Ryamizar, (lebih kurangnya) bahwa ada ribuan mata-mata asing (berbagai warna kulit, termasuk warna coklat) yang menyebar di negeri ini, menyusup ke berbagai organisasi.

Karena itu Anda harus hati-hati menilai senyuman saya dengan janji-janji manis. Siapa tahu saya adalah salah satu dari mata-mata yang diidentifikasi Jenderal Ryamizar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun