Mohon tunggu...
Medy Parli Sargo
Medy Parli Sargo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penganut Demokrasi Pancasila. Minat pada masalah-masalah kebangsaan, kebudayaan, teknologi, hukum dan hak kekayaan intelektual. Aku hobi menghitung waktu, karena waktu sangat berarti bagi hidup kita. (mpsargo@yahoo.co.id/17 Nov/+kompaSIANA)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Pro Rakyat, Komunis?

5 Juli 2014   14:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:23 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengalaman berulang-ulang menikmati keindahan pemandangan sepanjang perjalanan  setiap berada di atas spoor antar kota-kota di pulau Jawa,harus saya akui selalu menumbuhkan rasa bangga. Bangga ketikamenyusuri rel bersejarah yang telah dibangun sejak abad 19 oleh pemerintah kolonial Belanda yang ketika itu mereka berharap tanah negeri ini akan menjadi bagian kekuasaannya sepanjangjaman.

Saya cuma menduga-duga, mungkin jika pemerintah kolonial Belanda tidak berinisiatifmembangun sistem transportasi di negeri ini, maka saya hanya akan memiliki pengalaman yang miskin seperti dialami masyarakat pinggiran di provinsi lain yang belum dapat menikmati pembangunan infrastruktur secara minimal sekalipun.

Masih banyak daerah yang tertinggal dari pembangunan infrastruktur. Walaupun karena itu daerah-daerah tertinggal tersebut masih mampu menyisakan pemandangan alam indah dengan segala kehidupan tradisionalnya. Tetapi juga tidak sedikit pemandangan yang mengerikan seperti aktivitas kehidupan ekonomi yang masih bergantung pada sarana jalan dan jembatan yang amat terbatas. Tak terbanyangkan bagaimana anak-anak sekolah masih banyak yang bergelantungan pada tali jembatan runtuh untuk mencapai sekolahnya, atau ibu-ibu hamil untuk menjangkau puskesmas berkilo-kilo meter jaraknya.

Ada kesan selama ini bahwa berita tentang "keperihan hidup" masyarakat kecil tak memiliki akses untuk mengetuk pintu Istana Negara. Satu dua persoalan mungkin pernah direspon oleh penguasa, terutama menjelang masa kampanye, dan menjadi pemberitaan besar. Tetapi kapan penguasa mendatangai "keperihan hidup" masyarakat sebelum didahului mereka yang datang dengan menembus berbagai rintangan.

Meski sudah melewati beberapa estafet kepemimpinan di negeri ini, faktanya belum ada yang sungguh-sungguh memikirkan kebutuhan minimal rakyatnya di banyak sektor. Di bidang infrastruktur transportasi misalnya, kita lebih banyak menggunakan sisa pembangunan di masa kolonial Belanda, itu pun dengan komitment pengelolaan dan perawatan yang masih rendah. Apakah itu dikarenakan terbatasnya anggaran atau justru karena tidak mendapat prioritas yang tinggi.

Saya juga tidak menafikkan kenyataan bahwa bangsa ini juga membangun, walaupun berjalan secara lambat. Bahkan cenderung lebih lambat dari proses alami. Sepertinya tidak pernah terpikir bahwa bangsa ini harus menjadi bangsa yang revolusioner dalam banyak hal agar tidak tertinggal oleh kebutuhan mendasar.

Kenyataan yang kita hadapi dari runtuhnya hak hidup minimal masyarakat di pedesaan, maka diantaranya kita jumpai petak –petak sawah yang sudah beralih fungsi menjadi bangunan. Bukit-bukit hutan menyangga banjir yang mulai gundul. Distribusi kebutuhan masyarakat yang terhambat ongkos tinggi. Di pedesaan mereka harus menjual sawah untuk ongkos ibadah haji atau mengawinkan anak-anaknya.Sementara orang-orang yang disangka sebagai penggarap baru ternyata ingin mengubah sawah jadi istana. Sekalipun itu bisa dianggap sebagai hal yang wajar karena dampak dari pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat kota. Hanya saja, benarkah pemerintah harus berdiam diri ketika mulai muncul ketimpangan antara kebutuhan hidup moderen dengan kebutuhan masyarakat tertentu yang masih lekat pada kehidupan tradisional. Padahal keduanya harus mendapat hak yang seimbang. Disitulah Negara harus hadir.

Nampaknya hanya pemimpin yang tidak berorientasi berat (baca: berorientasi berat) pada sistem kapitalisme yang mampu memecahkan persoalan ini. Berpihak pada kepentingan mendasar rakyat, bukanlah komunisme.  Sebab tidak ada kecenderungan perbuatan mengeksploitasi rakyat dengan cara-cara otoriter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun