Mohon tunggu...
mediyansyah taharani
mediyansyah taharani Mohon Tunggu... -

Media Personel pada Yayasan Duta Awam (YDA Solo). Pengajar (LB) Jurnalistik pada UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merilis Ide dengan Patokan Kebenaran Suci (Metanarasi)

24 Februari 2011   06:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:19 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu teknik merilis ide (dan menulis) yang tidak pernah (ingin) kukuasai ialah memulai dengan metanarasi. Yakni atau merilis ide (atau menulis) yang dimulai dengan sebuah "patokan kebenaran suci" yang tidak bisa dibantah. Lantas, segala argumentasi yang diungkap dalam (ide) tulisan tersebut akan dihadapkan (dibenturkan) pada metanarasi tersebut. Tentu saja, argumentasi yang kontra akan hancur-lebur berhadapan dengan si metanarasi agung.

Dan kemudian, ruang diskusi di situ hanyalah ilusi...

Bukan maksudku, mendiskreditkan cara menulis (dan cara berpikir) yang berpatok kuat pada metanarasi. Hanya rasanya tidak fair (bagiku) merilis (tulisan atau ide) kepada khalayak yang miliki beraneka rupa level gagasan, tanpa memberi kesempatan kepada pembaca (atau audien) untuk "menyerang balik".

Rasanya, di jaman yang komunikasi interaktif sekarang, tidaklah efektif lagi, merilis doktrin tentang segala sesuatu yang kaku-baku, kedap-kesalahan, dan terjabar-total sebagai satu-satunya kebenaran sakral.

Tradisi diskusi (termasuk menulis) mungkin saja tampak hidup, di banyak kalangan dan kelompok (akademis, politis dan sebagian kelompok agama yang nampak progresif). Berbagai risalah, jurnal telah bertumpuk diterbitkan. TAPI..., tradisi menulis yang diawali dan diakhiri dengan metanarasi sebenarnya telah membunuh penulis. Penulis telah diubah menjadi "juru tulis". Dalam dirinya penulis tidak lagi memiliki "nafsu, temperamen, perasaan, maupun impresi". Hanya kamus raksasa metanarasi yang menjadi sumber kegiatan menulisnya yang tidak pernah berhenti.

Nah.., bahkan jika kebenaran menjadi tirani, dia tetap tirani...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun