Oleh: Fauzi Ramadhan
Bayangkan ketika kamu bersedih karena urusan pekerjaan, kemudian rekan kerjamu menganggap kesedihan itu adalah sesuatu yang berlebihan. Apa yang kamu rasakan saat berada di posisi tersebut? Apakah kamu merasa lebih tenang atau justru semakin sedih?
Perasaan pasti campur aduk saat berada di situasi tersebut. Di satu sisi, kita seperti diminta untuk tidak bersedih lagi karena perasaan itu dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan. Di lain sisi, kita semakin sedih karena perasaan tidak divalidasi oleh orang lain. Bahkan, kita jadi merasa bersalah dengan keadaan ini.
Sikap yang tidak memvalidasi perasaan tersebut dinamakan gaslighting. Secara definisi, gaslighting adalah tindakan memanipulasi seseorang dengan memaksa korban untuk mempertanyakan pikiran, perasaan, dan peristiwa yang dialami. Istilah ini berasal dari film bertajuk “Gaslight” yang bercerita tentang manipulasi seorang suami kepada istri untuk meyakinkannya bahwa ia akan gila.
“Semua orang bisa saja mengalami dan melakukan gaslighting,” ungkap psikolog klinis, Dra. Astrid Regina Sapiie, dalam episode “Begini Caranya, Menghadapi Pasangan Yang Gaslighting” pada siniar Anyaman Jiwa.
Meski siapapun dapat melakukan gaslighting, Astrid mengungkapkan bahwa pelaku gaslighting cenderung berasal dari seseorang yang ingin menguasai orang lain. “Selain itu, situasi ini umumnya dilakukan oleh atasan, kakak, suami, atau seseorang yang memiliki posisi lebih tinggi,” jelas Astrid.
“Pelaku memanipulasi korban dengan menghancurkan keyakinan atau pendapat korban. Akibatnya, kepribadian korban menjadi hancur,” jelas Astrid. Lebih lanjut, Astrid menyebutkan dampak panjang gaslighting yang dialami korban, seperti depresi, cemas, dan hilangnya rasa percaya diri.
Bahkan, lebih parahnya lagi, karena pelaku berhasil memanipulasi dan menyalahkan cara berpikir, alhasil korban beranggapan bahwa ia merupakan sumber kebenaran. Akhirnya, korban bergantung kepada pelaku karena adanya anggapan tersebut.
“Ini adalah suatu kekerasan psikologis”, ucap Astrid.
Mengenai kesadaran korban dari gaslighting, menurut Astrid, seiring berjalannya waktu korban akan merasa tidak nyaman dengan situasi. Kemudian, korban akan menyadari tindakan-tindakan pelaku sebagai sesuatu yang manipulatif dan toksik.