Oleh karenanya, saat diajak berdiskusi, siswa di negara kita cenderung sedikit yang berani berpendapat.Â
Padahal, dalam penelitian Changwong dkk. (2018) diketahui bahwa siswa yang menguasai kemampuan berpikir kritis dan berwawasan luas akan berprestasi lebih baik secara akademis saat duduk di bangku kuliah.Â
Selain itu, mereka juga akan lebih siap menghadapi kerasnya akademik di perguruan tinggi dan dunia kerja karena telah mampu berpikir kreatif dalam memecahkan masalah.
Hadirnya media sosial sebenarnya dapat digunakan juga untuk beropini. Meskipun banyak diskusi-diskusi menarik, tapi banyak pula diskusi kusir yang tak berujung karena hanya mempermasalahkan kebenaran.Â
Pada akhirnya, diskusi itu tak melatih kita berpikir kritis karena tujuannya hanya untuk memuaskan ego semata. "Kita dibombardir oleh berbagai macam informasi sehingga untuk saat ini user, kita, punya hak penuh memilih informasi mana yang diterima," ujar Yogie.
Ia pun melanjutkan, "Banyaknya informasi gak diimbangi dengan daya kritis, kalo gak punya (daya pikir kritis) tapi dituntut terus berkomentar, muncul komentar yang buruk."Â
Tahapan berpikir kritis di media sosialÂ
Pada Februari lalu, kita dihebohkan dengan berita peringkat pertama warganet paling tak sopan se-Asia Tenggara.Â
Yogie dalam siniar Obsesif berujar bahwa pada saat ini kebenaran tak terlalu berpengaruh karena masyarakat lebih mengedepankan pendekatan emosional. Pendekatan inilah yang membuat kita tak berpikir sebelum bertindak.Â
Untuk menghindarinya, kita harus bersungguh-sungguh dalam memilih sumber informasi. Apabila menemukan informasi, baca dulu isinya dengan baik.Â
Setelah itu, kita simpan informasi itu sampai tahu kebenarannya sambil mencari apakah isinya memiliki kredibilitas atau tidak. Terakhir, kita tak boleh membagikan informasi itu sebelum mengetahui kebenarannya.Â