Mohon tunggu...
medio yulistio
medio yulistio Mohon Tunggu... -

Berjuang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akrobat Partai Politik; Kaderisasi Kepemimpinan Serabutan

7 April 2014   20:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13968484371179298284

[caption id="attachment_330528" align="alignnone" width="500" caption="Sumber inilah,com"][/caption]

Dramaturgi politik pasca reformasi tahun 1998 telah mengubah Sosio politik di Indonesia. Orde baru yang lebih akrab dengan rezim otoritarianisme, monolitik dan mandul runtuh berkeping-keping oleh gerakan yang dikomandoi oleh mahasiswa dan elite politik yang merasa perlunya perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan seperti seorang bayi yang dilahirkan, Reformasi membawa segenap harapan dan masa depan "baru" Indonesia. Reformasi inilah yang menadai babak baru "industri" politik di Indonesia, tidak hanya pada lahirnya tokoh-tokoh baru dan kritis, tetapi juga mampu membawa ruang keterbukaan bagi afiliasi ideologi-ideologi yang selama ini berbasis sosial kultural menuju gerakan politik struktural. hal ini dapat terlihat dari corak partai politik baru yang timbul, Marhaenisme dengan partai nasionalisnya, Ormas keagamaan dengan partai religinya, ataupun partai-partai moderat dengan visi kebangsaannya masing-masing. Sebagaimana apa yang diungkapkan oleh syaiful arif bahwa Reformasi 1998 memang membuahkan hasil yang paling dibutuhkan masyarakat Indonesia. Yakni kebebasan politik. Dalam kebebasan ini, masyarakat bebas mengartikulasikan hak-hak sosial-politiknya. Baik melalui jalur politik formal (partai politik), maupun gerakan sosial. Persoalannya, kebebasan yang tanpa panduan telah melahirkan “ancaman” bagi sendi-sendi dasar berbangsa. Sebab ia mendedahkan berbagai gerakan sosial-politik yang jelas-jelas memiliki ideologi kontra-Pancasila.
Simbolisasi Ideologi Partai; Kader politik Miskin Makna
Perjuangan jalur politik formal pada tahun '98 keatas menghasilkan kanal-kanal gerakan melalui partai-partai bentukan baru yang tumbuh menjamur. Entah ini menjadi sebagai trend dalam era baru masa transisi politik Indonesia ataupun "nafsu" dari kegelisahan para aktor-aktor politik yang lama terbelenggu oleh "kediktatoran" era sebelumnya. Apapun motif dari maraknya antusiasme berpartai politik, ada satu hal yang dapat disimpulkan bahwa ruang demokrasi di Indonesia mampu menampilkan format ideologi dalam wilayah kepartaian dalam mengarahkan visi kebangsaan. Semua pelaku dan penggerak ideologi ini berjibaku untuk mensosialisasikan serta merebut hati rakyat dalam meraup mandat kepercayaan publik, walaupun disisi lain pada masa itu masyarakat secara kultural belum mampu menerima perubahan itu secara cepat dan menyeluruh. Alhasil pada Pemilu pada tahun 1999 telah menelurkan 48 Partai politik untuk bertarung memperebutkan empati masyarakat. Dengan jumlah partai politik yang tumbuh hampir 150 kali lipat dari partai pemilu orde baru diklaim adalah hasil dari afiliasi ideologi politik yang berkembang dimasyarakat; Kiri Radikal, Kiri Moderat, Kanan Konservatif, Kanan Liberal Dan Islamisme.

Belajar dari sejarah panjang terbentuknya serta terlahirnya gagasan bernegara yang terhimpun dalam visi dan arah pembangunan haruslah tetap berpegang pada landasan ideologinya. Tumbuhnya partai politik yang memiliki corak ideologi tertentu haruslah berbanding lurus pada kemajuan serta pertumbuhan wawasan serta komitmen masyarakat pada tataran nilai kebangsaan. Ideologi menjadi arah tujuan yang tidak bisa ditawar, lalu pada struktur kekuasaannya partai pemenang Pemilu mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan populis yang sesuai pada keyakinan sekaligus gagasan dari ideologinya. tidak hanya pada corak partai dan kebijakannya, hal tersebut juga terasa dan terlembagakan dalam kehidupan masing-masing kadernya.

Lahirnya gagasan besar kenegeraan harus dimulai oleh pemimpin visioner sekaligus revolusioner. Partai politik sebagai pensuplai "punggawa" kebijakan didalam struktur kekuasaan harus mampu menciptakan manusia-manusia berintegritas kepada nilai dan ruh perjuangan ideologi partainya ataupun nilai keindonesiaan. Sebelum distribusi tersebut terjadi, sudah jelas konsekuensinya adalah bagaimana menjalan roda kaderisasi tersebut secara militan di internal partai masing-masing. Disinilah letak pengidentifikasian dari masing-masing partai politik terjadi, kita tidak hanya melihat identitas partai politik hanya dari warna partai, umbul-umbul ataupun spanduk-spanduk yang disebarkan dipersimpangan jalan.

Minimnya Tauladan Kepemimpinan Transformatif

Para Founding Father meninggalkan semangat yang luar biasa terhadap visi pembangunan bangsa ini. Mereka meninggalkan banyak hal dari segi pemikiran dan keyakinan dalam upaya bangsa ini mencapai tujuan dan cita-citanya. Dengan pemikirannyalah mereka tetap hidup dan menjadi tauladan yang tidak habis dimakan usia zaman. Pemikiran dan visi pembangunan inilah yang seharusnya tetap terjaga dan terbangun untuk tetap dilanjutkan dalam rotasi estafet generasi yang sedang memikul beban tanggung jawab pasca kemerdekaan. Tapi dengan kepergian founding father pada kenyataannya menjadi lonceng kematian pula bagi generasi sekarang untuk melanjutkan skema besar dan gagasan-gagasan pemikiran tersebut. Kita hidup dizaman yang tak tentu arah dan dalam benggu kapitalisme yang tidak lagi kasat mata. Para elite politik sibuk berbicara kekuasaan, dan kaum gerakan hanya membincangkan tujuan Idealisme diruang-ruang diskusi tanpa tindak lanjut konkret untuk memecahkan setiap persoalan kebangsaan.

Seharusnya dalam sudut pandang perjuangan formal, partai politik harus mampu menjadi mesin kader yang terus dan selalu menciptakan produk manusia-manusia ideologis untuk siap diletakkan dalam struktur kekuasaan. Pemimpin tersebut harus lahir dari gang-gang kecil penderitaan masyarakat, seorang yang dengan visi ideologisnya mampu membaca arah yang akan membawa rakyat  ketempat lebih baik. Pada kenyatannya partai politik hanya mampu menjadi support sistem dari proses korupsi sistemik, kondisi ini diperparah lagi dengan mulai ketergantungannya partai politik oleh kepentingan "modal" dikarenakan sistem pemilihan langsung mengharuskan kebutuhan pendaan yang besar demi menjaga eksistensi partai beserta kadernya. Bayangkan saja dalam peta politik hari ini, kepemimpinan diukur dalam rasio mayoritas, kuantitas dikalahkan oleh kualitas dan elektabilitas selalu menjadi acuan keberhasilan kepemimpinan. Pada titik inilah dimana gerakan substansif dan transformatif kalah oleh gerakan-gerakan pencitraan.

Akhir-akhir ini kita dihadapkan oleh fenomena "jokowinisme", dengan penguatan citra yang dilakukan oleh media massa Jokowi seolah menjadi seorang "dewa penyelamat" bagi masyarakat Indonesia. Keagungan yang diberikan masyarakat kepada jokowi hanya berlandaskan satu faktor yaitu keterkesanan, Keterkesanan yang dibangun oleh media massa yang secara tidak langsung dan terus menerus oleh media massa inilah yang memformat jokowi menjadi sedemikian rupa dipikiran masyarakat. Celakanya lagi, Partai Politik menjadikan "popularitas semu" yang dimiliki jokowi menjadi indikator satu-satunya untuk dicalonkan menjadi Calon Presiden Republik Indonesia. Dunia kaderisasi politik substantif telah bergeser menjadi dunia entertainment, yang dijual hanya apa yang laku dan diterima pasar, bukan kepada pijakan muatan nilai ideologis perjuangan yang akan dilakukannya. Pada kondisi ini masyarakat hanya menjadi "fans" dari jokowi tanpa tahu "grand design" pembangunan dalam periode selanjutnya. Satu contoh lagi bagaimana media massa menkampanyekan Prabowo subianto menjadi sosok menakutkan pelanggar HAM dengan aksi penculikan pada masa orde baru.  Dari isu tersebut kembali lagi "elektabilitas" menjadi perdebatan tolak ukur kepemimpinan dipartai politik.

Karakter Jokowi sebagai orang santun, maupun karakter Prabowo sebagai seorang militer yang otoriter adalah produk gosip politik yang dibangun lembaga survei maupun media massa. Penekanan dalam terminologi kepemimpinan seharusnya terletak pada kepiawaian serta pengalaman dari kader yang di didik dalam partai politik untuk terus dan senantiasa menanamkan dan memperjuangkan secara konsisten apa yang menjadi nilai. Kepemimpinan yang kuat inilah yang mampu mentransformasi perubahan dalam ruang sosial nantinya sebab dalam perjuangannya selalu memiliki landasan serta arah. Partai politik dengan karakter kadernya seharusnya menjadi pembeda antara satu partai atau dengan partai lainnya. Kepemimpinan tidak bisa hanya ditelaah oleh hasil survei dan skema iklan sosialisasi sosok figur melalui konsep "by design" dan "by order".Seorang yang dicitrakan buruk terus menerus dimedia massa akan mendapat penilaian buruk, seorang yang tidak memiliki popularitas dan elektabilitas dalam deskripsi data hasil survei seolah menjadi manusia yang tidak layak menjadi pemimpin, hal ini adalah paradigma yang benar-benar "sesat". Kita dapat melihat contoh kualitas kepemimpinan yang baik dan terus bekerja tanpa "design" pembangunan opini serta pencitraan dan mereka juga bukan berasal dari kader partai, Gamawan fauzi yang sekarang menjabat Menteri Dalam Negeri yang dulu pernah menjadi Gubernur Sumatera Barat dengan segala prestasinya, Tri Rismaharini dengan segudang prestasi yang berangkat menjadi Walikota surabaya dengan kualitas birokrat tulen, Junaidi Hamsyah Gubernur Bengkulu dengan kesahajaan dan religiusitasnya juga berasal dari dunia pendidikan keguruan, Walikota Kupang Jonas salean pemenang Pemilihan Kepala daerah dari calon independen dan lainnya.

Maka dari itu, mindset partai politik akan berubah ketika paradigma masyarakat telah berevolusi menjadi kekuatan yang rasional. Dalam ruang demokrasi, rasionalitas serta objektifitas masyarakat akan mampu melahirkan sikap kritis dalam menentukan sikap politik nantinya. Partai politik harus mampu menjelma menjadi basis-basis ideologis gerakan perubahan, dan hal ini akan terwujud ketika masyarakat mendorong perubahan tersebut dengan melepaskan seluruh kepentingan apapun kecuali satu hal, merujuk kepada kesejahteraan rakyat itu sendiri secara kolektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun