Di pinggiran kota kecil yang terhampar di lereng Bukit Barisan, ada sebuah rumah tua nan bersahaja. Tampaknya waktu telah meninggalkan jejaknya pada bangunan itu, namun keindahan yang terselip di antara retak-retak dindingnya masih terasa. Di sana, sebuah kisah tentang hujan Maret dan rindu yang tak terucapkan sedang berkembang.
Hari itu, langit telah membiru sejak pagi. Hembusan angin sepoi-sepoi mulai menerpa jendela rumah tua itu, mengundang kehangatan di hati siapa pun yang menyaksikannya. Di dalam rumah, seorang wanita tua dengan senyum lembut duduk di kursi goyangnya, memandangi jendela dengan tatapan penuh makna.
Dia adalah Nyonya Emilia, penduduk setia rumah tua itu. Tiap pagi, dia menyambut kehadiran bulan Maret dengan harapan baru, membuka lembaran hidupnya dengan penuh keyakinan. Namun, ada sesuatu yang mengganggu hatinya di pagi itu. Rasa rindu yang tak terucapkan.
Di sudut lain rumah, sebuah peti tua terletak dengan tertutup rapat. Di dalamnya tersimpan kenangan-kenangan masa lalu yang telah lama terpendam. Dan di hari-hari hujan Maret seperti ini, peti itu sering kali menjadi saksi bisu dari rindu yang memenuhi hati Nyonya Emilia.
Hujan mulai membasahi tanah, mengundang rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun, bagi Nyonya Emilia, hujan Maret membawa kenangan manis yang membuatnya semakin merindukan sosok yang telah lama pergi.
Flashback membawanya kembali ke masa lalu, ketika hujan Maret pertama kali menghampiri mereka. Wajah lembut suaminya, Giovanni, terbayang jelas di benaknya. Mereka duduk berdua di teras rumah, menatap tetes-tetes hujan yang berjatuhan dengan penuh kerinduan di mata mereka.
"Kenapa Maret begitu indah?" tanya Giovanni dengan suara lembut.
"Karena Maret membawa rindu yang tak terucapkan, sayang," jawab Nyonya Emilia sambil tersenyum.
Senyumnya itu membawa hangat dalam dinginnya hujan. Mereka adalah sepasang kekasih yang telah bersama selama puluhan tahun, tetapi rindu itu tak pernah hilang di antara mereka. Namun, takdir memiliki rencana lain.
Suatu hari, ketika hujan Maret kembali turun dengan lebatnya, Giovanni pergi untuk selamanya. Meninggalkan Nyonya Emilia sendirian dengan rindu yang terus menggunung di dadanya.
Kembali ke hari ini, Nyonya Emilia terdiam dalam keheningan, merenungi kenangan yang telah lama berlalu. Dia meraih peti tua di sampingnya dan membukanya perlahan. Di dalamnya, tersimpan surat-surat dan foto-foto yang menjadi saksi bisu dari cinta mereka yang abadi.
Dia mengambil selembar foto tua yang penuh debu dari dalam peti, menatap wajah Giovanni dengan mata yang penuh cinta. Rindu yang tak terucapkan itu kembali menghujani hatinya, seperti tetes-tetes hujan Maret yang turun dari langit.
Tiba-tiba, bel pintu rumahnya berbunyi, mengakhiri lamunan Nyonya Emilia. Dia menyeka air mata yang mengalir di pipinya dan bangkit dari kursinya. Langkahnya ragu-ragu menuju pintu, takut akan menghadapi kenyataan yang terlalu pedih untuk dihadapi.
Namun, ketika pintu terbuka, yang dia lihat adalah seorang pemuda muda dengan senyuman hangat di wajahnya. Dia membawa seikat bunga segar di tangannya, berkilah bahwa dia adalah cucu tetangga yang datang untuk menengoknya.
"Selamat pagi, Nyonya Emilia. Saya membawa bunga untuk Anda," ucap pemuda itu ramah.
Nyonya Emilia terkejut dan tersenyum lebar melihat kedatangan pemuda itu. Senyumnya menyiratkan kebahagiaan yang telah lama terpendam.
"Terima kasih, sayang. Masuklah, tolong duduk," ucapnya dengan suara lembut.
Pemuda itu memasuki rumah dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajahnya. Mereka duduk berdua di teras rumah, menatap hujan Maret yang turun dengan lembut di luar sana.
"Apakah Anda suka hujan, Nyonya Emilia?" tanya pemuda itu.
Nyonya Emilia mengangguk pelan sambil menatap tetes-tetes hujan di jendela. "Ya, saya selalu menyukai hujan Maret. Bagaimana denganmu?"
Pemuda itu tersenyum. "Saya juga suka. Hujan Maret selalu membawa kenangan indah bagi saya."
Mereka duduk berdua di teras rumah, menikmati kehangatan hujan yang turun dengan lembut. Tetes-tetes hujan itu bagai membasuh rindu yang terpendam di hati mereka, membawa kedamaian yang lama dinanti.
Di hari-hari berikutnya, pemuda itu terus datang menengok Nyonya Emilia. Mereka berdua menjadi teman yang akrab, saling berbagi cerita tentang masa lalu dan harapan untuk masa depan.
Nyonya Emilia merasa bahwa kehadiran pemuda itu adalah anugerah dari langit. Dia mulai merasakan kehangatan yang telah lama hilang di dalam hatinya, seperti hujan Maret yang membawa kesegaran baru setiap tahunnya.
Sementara itu, pemuda itu juga merasa bahwa rumah Nyonya Emilia adalah tempat yang penuh dengan kedamaian dan kehangatan. Dia merasa bahwa dia telah menemukan bagian dari dirinya yang telah lama hilang di sana, seperti pulang ke pelukan keluarga yang telah lama dirindukan.
Hari berganti hari, hingga suatu pagi ketika hujan Maret turun dengan derasnya. Nyonya Emilia duduk sendirian di teras rumah, menatap tetes-tetes hujan dengan tatapan penuh makna.
Tiba-tiba, pemuda itu muncul di hadapannya dengan senyuman lebar di wajahnya. Dia membawa sebuah payung besar di tangannya, menawarkan perlindungan dari hujan yang turun dengan lebatnya.
"Selamat pagi, Nyonya Emilia. Bisakah saya menemani Anda?" ucapnya dengan lembut.
Nyonya Emilia tersenyum dan mengangguk. Mereka duduk berdua di bawah payung besar itu, merasakan kehangatan yang terselip di antara tetes-tetes hujan yang turun dengan derasnya.
"Mengapa Anda selalu datang ketika hujan turun, sayang?"Â tanya Nyonya Emilia sambil menatap pemuda itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Pemuda itu tersenyum. "Karena hujan Maret selalu mengingatkan saya pada sesuatu yang berharga dalam hidup saya."
Nyonya Emilia menatap pemuda itu dengan tatapan penuh harap. "Apa itu?"
Pemuda itu menatapnya dengan lembut. "Rindu yang tak pernah terucapkan."
Air mata pun kembali mengalir di pipi Nyonya Emilia, namun kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan. Dia merasa bahwa rindu yang telah lama terpendam di hatinya akhirnya ditemukan di tempat yang paling tidak diduga.
Tetes-tetes hujan Maret terus turun dengan lembut, menciptakan suasana yang tenang di sekitar mereka. Nyonya Emilia memandang pemuda itu dengan rasa ingin tahu yang semakin mendalam.
"Apakah Anda akan selalu datang ketika hujan turun?" tanya Nyonya Emilia, suaranya penuh dengan harapan.
Pemuda itu tersenyum lembut. "Saya akan selalu ada untuk Anda, Nyonya Emilia. Baik hujan maupun panas, saya akan selalu datang untuk menemani Anda."
Air mata Nyonya Emilia kembali berlinang, namun kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena kebahagiaan yang meluap dari hatinya. Dia merasa bahwa kehadiran pemuda itu adalah jawaban atas doanya yang telah lama terpendam.
"Mungkin inilah yang selalu saya cari," ucap Nyonya Emilia dengan suara lirih.
Pemuda itu mengangguk setuju. "Kita tidak pernah tahu apa yang kita cari sampai kita menemukannya, bukan?"
Mereka duduk berdua di bawah payung besar itu, menikmati kehangatan yang terselip di antara tetes-tetes hujan yang turun dengan lembut. Di antara percakapan mereka yang penuh makna, mereka merasakan bahwa jarak antara mereka semakin menipis, dan hati mereka semakin dekat satu sama lain.
Mungkin itulah yang disebut dengan takdir. Bahwa di antara hujan Maret yang turun dengan lembut, dua hati yang terpisah oleh waktu dan ruang bisa bersatu kembali, menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang telah lama mereka cari.
Hari berganti hari, dan kehadiran pemuda itu semakin mengisi ruang kosong di hati Nyonya Emilia. Mereka berdua menjadi teman yang tak terpisahkan, saling menyemangati dan saling mendukung dalam setiap langkah hidup yang mereka tempuh.
Dan di antara hujan Maret yang turun dengan lembut, mereka merasakan bahwa cinta sejati tidak pernah mengenal batas waktu atau ruang. Kehadiran satu sama lain adalah anugerah yang tak ternilai harganya, sebuah bukti bahwa rindu yang tak pernah terucapkan akhirnya ditemukan di antara tetes-tetes hujan yang turun dengan lembut.
Hingga suatu hari, ketika hujan Maret kembali turun dengan derasnya, Nyonya Emilia dan pemuda itu duduk berdua di teras rumah, menikmati kehangatan yang terselip di antara tetes-tetes hujan yang turun dengan lembut. Mereka saling memandang dengan tatapan penuh makna, merasakan bahwa saat itu adalah titik balik dalam hidup mereka.
"Terima kasih, sayang," ucap Nyonya Emilia dengan suara penuh cinta.
Pemuda itu tersenyum dan menggenggam tangan Nyonya Emilia dengan erat. "Tidak ada yang perlu diterima kasih, Nyonya Emilia. Karena di antara hujan Maret yang turun dengan lembut, kita telah menemukan satu sama lain. Dan itulah yang terpenting."
Mereka duduk berdua di teras rumah, menatap hujan Maret yang turun dengan lembut di luar sana. Tetes-tetes hujan itu bagai menyaksikan kebahagiaan yang telah lama terpendam, membawa kedamaian yang selalu dinanti di hati mereka.
Dan di antara hujan Maret yang turun dengan lebatnya, mereka merasakan bahwa cinta sejati tak pernah lekang oleh waktu. Kehadiran satu sama lain adalah anugerah yang tak ternilai harganya, sebuah bukti bahwa rindu yang tak pernah terucapkan akhirnya ditemukan di antara tetes-tetes hujan yang turun dengan lembut.
Curup, 03 Maret 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H