Kembali ke hari ini, Nyonya Emilia terdiam dalam keheningan, merenungi kenangan yang telah lama berlalu. Dia meraih peti tua di sampingnya dan membukanya perlahan. Di dalamnya, tersimpan surat-surat dan foto-foto yang menjadi saksi bisu dari cinta mereka yang abadi.
Dia mengambil selembar foto tua yang penuh debu dari dalam peti, menatap wajah Giovanni dengan mata yang penuh cinta. Rindu yang tak terucapkan itu kembali menghujani hatinya, seperti tetes-tetes hujan Maret yang turun dari langit.
Tiba-tiba, bel pintu rumahnya berbunyi, mengakhiri lamunan Nyonya Emilia. Dia menyeka air mata yang mengalir di pipinya dan bangkit dari kursinya. Langkahnya ragu-ragu menuju pintu, takut akan menghadapi kenyataan yang terlalu pedih untuk dihadapi.
Namun, ketika pintu terbuka, yang dia lihat adalah seorang pemuda muda dengan senyuman hangat di wajahnya. Dia membawa seikat bunga segar di tangannya, berkilah bahwa dia adalah cucu tetangga yang datang untuk menengoknya.
"Selamat pagi, Nyonya Emilia. Saya membawa bunga untuk Anda," ucap pemuda itu ramah.
Nyonya Emilia terkejut dan tersenyum lebar melihat kedatangan pemuda itu. Senyumnya menyiratkan kebahagiaan yang telah lama terpendam.
"Terima kasih, sayang. Masuklah, tolong duduk," ucapnya dengan suara lembut.
Pemuda itu memasuki rumah dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajahnya. Mereka duduk berdua di teras rumah, menatap hujan Maret yang turun dengan lembut di luar sana.
"Apakah Anda suka hujan, Nyonya Emilia?" tanya pemuda itu.
Nyonya Emilia mengangguk pelan sambil menatap tetes-tetes hujan di jendela. "Ya, saya selalu menyukai hujan Maret. Bagaimana denganmu?"
Pemuda itu tersenyum. "Saya juga suka. Hujan Maret selalu membawa kenangan indah bagi saya."