Ummat Islam menjadi sasaran tembak dan penistaan. Betapa banyak para penista Islam yang dibiarkan berkeliaran. Meski pelaporan sudah banyak dilakukan.
Tentu suasana ini akan membawa kita sebagai ummat beragama merasa terancam, antar Ummat beragama akan saling curiga, dan toleransi pun akan sulit diwujudkan.
Praktik bernegarapun semakin jauh dari jiwa dan tuntunan UUD 1945 dan Pancasila.
Ditengah suasana bernegara yang gersang dari semangat UUD 1945 dan Pancasila, Pemahaman tentang Indonesia dan Pancasila pun semakin dimaknai sempit. Seolah yang tidak sepaham dengan kekuasaan dianggap sebagai Radikal dan distigma sebagai teroris.
Bukankah semua yang terjadi di masyarakat itu diakibatkan oleh praktik bernegara menyimpang yang diselenggarakan oleh kekuasaan.
Saya Indonesia, Saya Pancasila dimaknai sempit, seolah hanyalah mereka yang Pancasilais dan paling Indonesia, sehingga dengan sesukanya mereka bisa menjalankan praktik premanisme bernegara.
Suara rakyat dimanupulasi untuk memuluskan ambisi keserakahan kekuasaan.
Rakyat sudah mulai jengah dan muak dengan praktik-praktik premanisme kekuasaan yang dipertontonkan.
Ditengah kejengahan dan kerinduan hadirnya praktik bernegara yang menghadirkan UUD 1945 dan Pancasila dalam kehidupan yang sesungguhnya, Â rakyat melihat hadirnya pemimpin yang menjalankan itu semua di Jakarta.
Anies hadir sebagai antitesa praktik kepemimpinan yang menyimpang di pusat kekuasaan.
Anies hadir dalam praktik keadilan yang bisa dirasakan, Anies mengayomi dan melindungi warga Jakarta. Disaat warga kesulitan mendapatkan kebutuhan pokoknya, Anies hadir dalam operasi pasar yang memudahkan warga Jakarta.