Kemana kita biasa mengajak anak untuk berlibur dan membuatnya terhibur? Jawaban pertanyaan ini mungkin akan berbeda bergantung pada jamannya. Pada awal tahun 90an, saat di rumah belum ada internet, tayangan TV belum banyak, belum ada tablet, dan juga smartphone yang bisa membuat orang betah di rumah, orang tua mungkin akan lebih banyak mengajak anak-anaknya beraktivitas di luar rumah, salah satunya ke taman hiburan. Â Taman hiburan itu selalu ramai, penuh dan antri. Semua wahana harus didahului dengan antri mengular yang kerap menghabiskan waktu.
Namun saya sangat antusias saat dulu diajak di taman hiburan karena biasanya kami pergi hanya sekali dalam 3-6 bulan. Jadi tentu saja ini cukup dinanti-nanti. Bayangan keramaian, kelap-kelip lampu yang semarak, wahana yang lucu, seru dan menegangkan, meski sering saya hanya ingin melihat keseruan anak lain menaiki wahana-wahana yang saya takuti.Â
Yang paling suka main bom-bom car, meskipun saya waktu itu belum berani saat membayangkan bertabrakan dengan mobil lainnya. Saya seringnya didampingi oleh kakak atau ayah. Saya pegang setirnya, bermanuver kiri dan kanan ala pengemudi mobil sungguhan. Meskipun saya sudah merasa hati-hati banyak juga yang iseng sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil saya. Boom. Ban karet yang melindungi mobil menggoyang mobil saya. Membuat mobil saya berhenti. Saya lihat pengemudi yang menabrak saya tertawa gembira, saat mobil saya terhenti. Saya pun tertawa menerima 'tantangan' nya. Dalam bermain bom-bom car, jika semua saling playing safe dan tidak ada tabrakan, mungkin tidak akan ada interaksi antar pengendaranya. Ngga seru. Di situ kita seringnya main tabrak-tabrakkan dan saling berusaha menghindar, meski tentu saja kita ngga saling kenal. Yang paling sedih adalah kalau mobilnya tiba-tiba berhenti meski pedal gas diinjak berkali-kali, tanda waktu mainnya sudah habis. Padahal untuk main sesebentar itu saya harus mengantri mengular.Â
Selain bom-bom car saya juga suka naik bianglala. Bianglala itu terasa wajib dinaiki saat ke taman hiburan, karena kita bisa melihat pemandangan di taman hiburan dan sekitarnya pada sudut teratas. Biasanya setiap naik kita dapat dua kali putaran. Meski seolah kita cuma duduk manis di kabin, naik bianglala itu juga seru-seru sedap...apalagi saat kita pada titik tertinggi. Ada rasa cemas dan takut, dipadu dengan excitement terhadap pemandangan kota yang gemerlap. Umumnya bianglala banyak dinaiki juga oleh para remaja yang sedang kasmaran dan memanfaatkan saat-saat dimana mereka mendapat ruang privasi untuk bercumbu. Waktu masih kecil, saya cuma bisa menutup mata. Au ah gelap.
Taman hiburan bagi orang tua tentu saja tidak semenggembirakan bagi anak-anak. Di sini mereka harus merogoh kocek untuk setiap wahana dan permainan yang anaknya inginkan. Banyak anak yang merengek dan minta ini itu, yang sering membuat orang tua 'kapok' mengajak anaknya pergi ke sana. Memang pergi ke taman hiburan itu tidak bisa sering-sering karena biayanya yang banyak, oleh karena itu orang tua saya hanya mengajak saya sesekali dan untungnya saya juga tidak 'beranian' menaiki semua wahana.Â
Taman Hiburan Kini
...ontang-anting tetap beroperasi walaupun dengan kursi-kursinya yang kosong, menunggu para pengunjung (yang dulunya) setia.
Di antara gemerlap lampu warna-warni yang ramai di setiap sudutnya, carousel (alias kuda putar), bianglala yang megah berdiri, saya ternyata sendiri, alias satu-satunya pengunjung. Â Semua imaji tentang taman hiburan, keramaian, antrian, teriakan keseruan dan canda tawa para pengunjung muda sirna, berganti dengan kesunyian, kekosongan dan keterlupaan. Ini bukan taman hiburan yang sudah lama tak beroperasi dan angker. Ini tentang sebuah taman hiburan kecil di pojok pelabuhan Nagoya yang masih terus berjuang menyalakan kelap-kelip kehidupan sebuah taman hiburan.Â
Saya berjalan memutari setiap wahananya, ada roller coaster anak-anak, ontang-anting, lompat pinguin, pesawat terbang, segala macam arcade, komedi putar, dan juga berdiri gagah, sang bianglala dengan tinggi 85 meter. Saya kira saya benar-benar sendirian, sampai saya perhatikan di tiap wahana ini berdiri di tiap posnya, pegawai taman hiburan dengan jaket seragam warna biru dan celana putih, stand by dengan setia walau tidak ada pengunjung lain selain saya! Mungkin mirip bilioner yang mempunyai taman hiburannya sendiri, saya berkeliling, dan melihat ontang anting yang tetap beroperasi dengan kursi-kursinya yang kosong, menunggu para pengunjung (yang dulunya) setia.
Yang saya bayangkan adalah biaya perawatan dan biaya operasionalnya yang mahal untuk membuat para pegawai ini berdiri, untuk menyalakan lamu-lampu gemerlap ini yang menandakan bahwa mereka masih menanti untuk dikunjungi, juga untuk tetap memastikan semua wahana aman untuk dikendarai. Dengan tanpa pemasukkan yang berarti, apakah taman hiburan ini sudah tinggal menunggu mati?
Tentunya per