Kereta jurusan Stockholm sudah hampir memasukki platform 12, begitu tulisan yang mungkin tertera di papan pengumuman yang semua berbahasa Swedia. Saya sudah nongkrong kedinginan di platform 12 sejak 15 menit lalu. Namun setelah ada pengumuman lagi dalam bahasa yang sama, beberapa dari para penunggu kereta bergerak pindah ke platform 14 yang agak jauh di ujung sana. Saya jadi ikut beranjak, serasa ter-flashmob sayapun bergerak dan menggelindingkan kembali roda-roda koper yang terseok-seok berputar di atas jalanan platform yang kasar. Di setengah jalan menuju platform 14 saya berpapasan dengan seorang laki-laki bule yang nampak sedang membaca papan pengumuman sambil sesekali melihat ke secarik kertas di tangannya. Di kesempatan itu saya memutuskan untuk mengonfirmasi tentang informasi kereta saya apakah benar pindah ke platform 14:
Saya: Permisi, saya mau tanya, saya tidak bisa Bahasa Swedia, apakah betul platform untuk kereta nomor 235 pindah di nomer 14?
Bule itu: Oh, sama! Saya juga bukan orang Swedia, jadi saya juga ngga tahu. Saya juga akan naik kereta itu ke Stockholm.
Saya: (Healah sami mawon ternyata, batin saya)
Pada saat bersamaan kereta nomor 235 datang menuju platform nomer 14, karena saya masih setengah jalan ke platform tersebut, maka saya dan bule itu cepat-cepat lari ke arah platform dengan tetap koper yang terseok-seok. Setelah mengangkat koper ke gerbong, saya pun mencoba mencari tempat duduk di atas (keretanya tingkat) sesuai tiket. Si bule tadi kelihatan kebingungan mencari kursi. Saya tanya apakah tiketnya sudah ada nomer kursinya atau belum. Dia menjawab, free seat, artinya dia tidak reserve kursi dan saya bilang bahwa di atas view nya bagus kalau mau cari kursi yang kosong. Akhirnya dia mengikuti dan kereta pada saat itu tidak terlalu penuh, akhirnya kami duduk di kursi yang berhadapan dengan meja di tengahnya. Singkatnya, kami menyempatkan mengobrol. Sebut saja Ali, 21 tahun, berkewarganegaraan Perancis. Orang tuanya adalah pengungsi dari Algeria. Namun Ali lahir dan tumbuh di Perancis, di suatu kota kecil di sisi Paris (saya lupa nama kotanya). Pada saat itu Desember 2015, saat banyak isu bom dan teroris termasuk peristiwa penembakan di Charlie Hebdo pada Januari 2015. Ia bercerita bahwa menjadi keluarga pengungsi Muslim di Perancis bukan hal yang mudah terutama akhir-akhir ini. Salah satu hal yang ia rasakan meskipun ia warga negara Perancis adalah bullying saat sekolah karena namanya yang cukup Islami.Â
Kedatangannya ke Swedia adalah untuk melakukan short course di Lund University. Ia sudah menyelesaikan short coursenya dan akan kembali ke Perancis. Ada cerita menarik dibalik pertemuan kami di Swedia itu. Ia bercerita bahwa sebenarnya ia melamar short course ke 2 universitas sebagai prasyarat untuk S1 nya, yaitu ke Lund University, Swedia dan UGM, Indonesia. Iya dia ingin sekali bisa ke Indonesia karena ia ingin tahu bagaimana kehidupan Muslim yang tinggal di negara dengan mayoritas Muslim, suatu 'kemewahan' yang tak pernah ia bayangkan rasanya. Sayangnya, ia menerima kabar baik dan cepat dari Lund University sehingga akhirnya ia menghabiskan 3 bulan di universitas tersebut. Bisa bertemu orang dari Indonesia di Swedia, menambah excitement dia untuk pergi ke Indonesia suatu saat nanti. "Aku nyaris akan pergi ke Indonesia, ke UGM... dan sekarang aku bertemu orang Indonesia. Mungkin ini pertanda bahwa aku memang akan ke Indonesia. Aku ingin tahu bagaimana tinggal di Indonesia... aku selalu ingin ke sana," ujarnya bersemangat. Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia, mampu membuat remaja Perancis ini penasaran. Namun aku juga penasaran kenapa ia tidak penasaran pergi ke Arab jika ingin mendapatkan suasana yang lebih Islami. Ia tidak menspesifikasi alasannya namun dari yang saya tangkap, imejnya akan Indonesia adalah negara modern dengan keberagaman agamanya. Mungkin hampir sama dengan di Perancis, bayangnya, tapi di Perancis, Muslim adalah minoritas, sementara di Indonesia, Muslim adalah mayoritas. Bayangan inilah yang membuat ia terkesan dengan Indonesia. Kereta berhenti di stasiun dimana Ali harus turun untuk menuju bandara. Saya melanjutkan ke main station Stockholm. Kami berpisah di situ tanpa ingat untuk bertukar kontak, karena terlalu seru ngobrol.
Sekitar 6000 kilometer dari Swedia, 14 bulan kemudian saya di Boston. Long story short, dalam perjalanan ke bandara Logan International Airport, saya ngobrol dengan driver shuttle hotel yang berasal dari Palestina. Karena melihat saya berhijab, ia jadi banyak bercerita dengan penuh semangat. Semangat yang lebih besar dari si Ali. Sebut saja namanya Ahmad. Pak Ahmad bekerja sebagai sopir shuttle di hotel milik H*lton di Boston. Bahasa Inggris dia sudah sangat lancar dan native-like. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H