Diskusi PW PII Jawa Barat.
Oleh : Arief Lutfhi Aulia, Rahman Hadi Saputra, Median M Ihsan, Dendi Ryadi, Wildan Alami, Muhammad Salman Ramdhani
Dalam doktrin postmo, Negara harus terbebas dari cengkraman Agama. Membincangkan perihal agama diruang public sama artinya dengan menghianati asas liberal-sekular yang datang seiring datangnya badai postmo. Arah dan orientasi kebijakan publik tidak boleh memiliki akar teologis dan doktrin keagamaan tertentu, ia hadir murni darihasil nalar politik wargnya. Jikapun ada bahasa teologis ia harus di reinterpretasi menjadi bahasa politik sebelum akhirnya dikonsumsi khalayak dalam bentuk kebijakan publik. Negara harus memposisikan diri menjadi entitas yang netral, tidak memiliki keberpihakan pada nilai apapun. Bangunan filosofis dari model Negara seperti ini sejalan dengan pemikiran Nietzhe, seorang filusuf Jerman pengasong nihilisme, dan peletak fondasi postmo.
Proses reinterpretasi diperlukan untuk menekan agama, moral,ideology lain agar tidak mengancam Negara. Produksi public policy yang berasal dari reinterpretasi bahasa teologis nyatanya juga mengalami banyak masalah dalam dimensi teoritik. Jikapun suatu doktrin Agama disepakati dan menjadi konsensus setelah melewati proses reinterpretasi agar bahasa “Agama”-nya hilang tetap saja harus dicegah. Mengingat proses reinterpretasi merupakan sebuah mekanisme menyulap doktrin keagamaan menjadi konsensus public, ketika consensus public yang dihasilkan masih dalam bentuk bahasa Agama, proses reinterpretasi menjadi sia-sia. Dan kebijakan public yang dihasilkannya tetap dalam bentuk bahasa Agama. Bentuk public policy yang sarat akan nilai seperti ini tidak dikehendaki postmo dan dianggap tidakmembebaskan. Pada posisi seperti ini akhirnya kita bisa melihat bahwa postmopun sebetulnya tidak netral.
Dalam konteks ummat Islam sendiri, diskursus nihilisme dan relativisme aturan perikehidupan ikut menghangat seiring datangnya badai postmo. Syariat dianggap hasil pemahaman manusia terhadap Al-Quran dan sunnah, dan pemahaman manusia tidak ada yang benar secara absolute mengikat. Dalam doktrin ini semua relatif, yang absolute hanya Tuhan. Terdengar manis namun sebetulnya menjerat. Dalam konteks ontologis bahasa absolute-relatif memang benar adanya. Tapi secara epistemologis tentu tidak.Syariat Islam merupakan campuran wahyu dan pemahaman manusia, tidak semuanya absolute dan dan tidak semuanya relatif. Ada hal-hal yang permanen (tsawabit) dan ada yang berubah secara relative (mutaghayyirat). Tidak semua relative.
Tradisi postmo yang relatifis itu juga akhirnya menganggap syariat adalah produk ijtihad belaka yang relatifis. Ijtihad tidak terbatas pada segelintir orang yang memiliki syarat khusus, melainkan bebas bagi masyarakat luas. Tidak ada otoritas. Karena memang begitulah wajah postmo, antiotoritas.
Jika kita kembali pada proses pembentukan kebijakan public,dengan beragamnya wajah syariat proses pembentukan kebijakan akan menjadi sangat sulit, terbentuknya konsesus akan menjadi mustahil jika versi syariat bermacam-macam.
Setidaknya ada dua hal yang penting dalam pandangan saya,yang pertama falsafah liberal-sekuler yang menganggap dirinya netral ternyata sebetulnya tidak netral juga, ia memiliki muatan-muatan dan sinisme tertentu.Yang kedua adalah Islam dan postmo tidak memiliki kompatibilitas jika disandingkan, ia datang dari akar dan tradisi yang berbeda. Konsep Imamah Islam sangat menjunjung otoritas namun bukan berarti tiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H