Mohon tunggu...
Median Editya
Median Editya Mohon Tunggu... lainnya -

penyuka beladiri dan sastra. calon guru teknik yang dicemplungin NASIB ke dunia perbankan..well, life always have a twisting plot rite ?

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Tak Mau Lari Lagi...

2 Januari 2011   07:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:02 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01:07AM, tapi entah bagaimana aku tak mengantuk sama sekali. Berbaring bertemankan sebotol wine. Mengerutkan kening pusing memikirkan perkataan “menyesakkan” itu. Apa-apaan ini! Setelah sekian lama aku bermimpi untuk bertemu dengannya dan yang kudapati ialah fakta dia akan segera menikah!

Pikiranku yang mumet memaksaku menenggak wine lagi. Mencoba mengusir kenyataan pahit darinya. Tuhan, kenapa disaat kau kabulkan permintaanku untuk bertemu dia dan mencoba segalanya kembali, yang Engkau berikan adalah hal seperti ini? Apa aku tidak berhak mendapatkan kesempatan kedua? Ahhhh, siaaal! Bagaimanapun dan sebanyak apapun aku minum tetap saja semua adegan pertemuan itu kembali membayang dengan sangat nyata.

♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

“Bagaimana kabarmu ta?” Aku berkata sambil mencoba sebisa mungkin membuat raut wajah yang biasa. Tentu saja hal tersebut percuma. Wajahku terasa kebas, telingaku panas (memerah kembali tampaknya), intonasi kataku juga terdengar kaku.

“Baik tian.. kamu sendiri bagaimana? Tambah sukses aja”. Tanpa ekspresi berarti permata membalas dengan basa-basi biasa. Jauh beda dengan tampangku yang gak karuan. Wajahnya tenang. intonasi suaranya juga natural.

“ah beginilah” senyumku (lebih mirip menyeringai sebenarnya). “sukses gak juga. Cuma cukuplah untuk berbagi sedikit rejeki kepada yang lainnya. Oh ya kamu sendiri dah lama bantu-bantu disini?”

Kami berbincang ringan sambil berjalan melihat suasana. Melihat suasana ramai bin gaduh saat kang Yayat dan teh Lilis membagikan barang-barang sumbangan yang aku janjikan dua hari lalu untuk anak-anak panti. Di pojok sana bahkan si kecil arum sibuk menyuruh anak-anak lainnya berbaris. “Kalo gak rapi, arum gak kacih coklat!”. Halah, lagaknya sudah seperti petugas pembagian sembako saja (mentang-mentang aku memberi dia dua pak besar coklat... sengaja, toh memang aku dah berjanji akan memberikan arum hadiah).

“lumayan..sudah mau setengah tahun aku membantu disini. Selalu menyenangkan berada disini. Mendengar celoteh riang anak-anak. Kang yayat dan teh lilis juga sangat baik. Jadi aku betah sekali membantu disini” tanpa sadar aku dan permata sudah berada di beranda depan rumah. Menjauh dari keramaian anak-anak dan kesibukan pembagian barang-barang sumbangan. Aku menyandarkan punggungku ke tiang beranda rumah. Permata berdiri didekat pagar beranda. Matanya menatap ke arah taman depan.

“aku.... aku senang sekali bisa bertemu dengan dirimu. Terakhir kita bertemu sudah beberapa tahun yang lalu. Kamu nyaris tak berubah permata, tetap sama seperti dulu...”

kata-kataku terasa bergetar. grogi. Sejujurnya memang masih berasa setengah mimpi dapat bertemu dan berbincang dengan permata lagi .

Permata diam menghela nafas. Kepalanya tertunduk, tangannya meremas pagar beranda. Keheningan tercipta diantara kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun