Program magang ke luar negeri sering kali dianggap sebagai kesempatan emas bagi mahasiswa dan lulusan baru untuk mendapatkan pengalaman kerja internasional. Namun, di balik janji-janji menggiurkan tersebut, tersembunyi praktik eksploitasi tenaga kerja murah yang memprihatinkan. Sejumlah kasus dari berbagai negara menunjukkan bahwa program magang ini kerap disalahgunakan oleh perusahaan yang ingin memanfaatkan tenaga kerja murah tanpa memberikan pelatihan yang sesuai.
Salah satu kasus yang paling menonjol terjadi di Jepang. Pada tahun 2020, laporan dari Asahi Shimbun mengungkap bahwa ribuan pekerja magang dari berbagai negara, termasuk Indonesia, terjebak dalam kondisi kerja yang buruk. Mereka dipekerjakan di sektor konstruksi, manufaktur, dan pertanian dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah, jauh dari janji pelatihan profesional yang seharusnya mereka terima .Â
Di Taiwan, pada tahun 2018, sebuah investigasi oleh BBC menemukan bahwa para pekerja magang asing, termasuk dari Indonesia, sering kali diperlakukan seperti pekerja pabrik biasa. Mereka dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan manual yang monoton dan berat, tanpa pelatihan atau pengembangan keterampilan yang berarti .
Di Amerika Serikat, pada tahun 2019, beberapa perusahaan besar dituduh memanfaatkan program magang internasional untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Sebuah laporan oleh Economic Policy Institute menunjukkan bahwa banyak peserta magang internasional dipekerjakan untuk pekerjaan dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk, tanpa mendapatkan pelatihan profesional yang dijanjikan .
Mengapa praktik seperti ini bisa terjadi? Salah satu faktor utamanya adalah kurangnya pengawasan dari pemerintah dan institusi pendidikan yang mengirimkan mahasiswa. Pemerintah dan institusi pendidikan sering kali tidak memiliki mekanisme pemantauan yang efektif untuk memastikan bahwa para peserta magang benar-benar mendapatkan pelatihan yang sesuai dan diperlakukan dengan adil.Â
Selain itu, banyak peserta magang yang tidak berani melaporkan ketidakadilan yang mereka alami. Mereka takut kehilangan kesempatan atau mendapatkan reputasi buruk yang dapat mempengaruhi karier mereka di masa depan. Hal ini diperparah dengan adanya perjanjian kontrak yang kompleks dan mengikat, yang sering kali tidak dipahami sepenuhnya oleh para peserta magang.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Pertama, institusi pendidikan harus lebih selektif dalam memilih mitra program magang di luar negeri. Mereka harus memastikan bahwa mitra tersebut memiliki reputasi baik dan mampu memberikan pelatihan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Selain itu, institusi pendidikan harus memberikan dukungan dan informasi yang memadai kepada mahasiswa tentang hak-hak mereka selama mengikuti program magang.
Pemerintah juga harus memperketat regulasi dan pengawasan terhadap program magang internasional. Mereka harus memastikan bahwa perusahaan yang menerima peserta magang mematuhi standar kerja yang adil dan tidak melakukan eksploitasi. Sanksi tegas harus diberikan kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran.
Para mahasiswa sendiri harus lebih proaktif dalam mencari informasi dan memahami hak-hak mereka sebagai peserta magang. Mereka harus berani melaporkan jika mengalami ketidakadilan atau eksploitasi di tempat kerja. Dengan meningkatkan kesadaran dan kerjasama dari berbagai pihak, diharapkan program magang ke luar negeri benar-benar dapat memberikan manfaat yang maksimal tanpa mengorbankan hak-hak para pesertanya.
Program magang ke luar negeri seharusnya menjadi peluang untuk belajar dan berkembang, bukan alat eksploitasi tenaga kerja murah. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan manfaat sesuai dengan tujuan awalnya.