Tanpa terasa sudah dua tahun lebih sedikit saya bergabung di Kompasiana. Tapi baru lima puluh tulisan yang dapat saya posting. Yah… satu pencapaian yang jauh dari kata memuaskan. Tapi ada satu hal yang tidak dapat saya tinggalkan. Membaca Kompasiana, hampir setiap hari. Dan tanpa disadari juga dari sekian ribu kompasianer ada beberapa penulis di kompasiana yang tulisannya saya rindukan. Tanpa alasan pasti kenapa saya dapat merindukan tulisan mereka. Tapi yang jelas tulisan mereka menarik bagi saya.
Saya yakin setiap pembaca mempunyai penulis pavorit. Kalaupun tidak, seorang pembaca akan merasa senang membaca satu tulisan yang baru ditemukannya dan menarik bagi dirinya, maka seseorang itu akan penasaran dengan karya-karya penulis bersangkutan dan akan “diembat” ketika kembali menemukan tulisanya.
Penulis-penulis yang saya rindukan di Kompasiana antara lain.
Bang Pilot alias Muhammad Isnaini. Tulisan abang satu ini tentu menarik bagi saya yang seorang petani, karena tulisannya lebih banyak membahas masalah pertanian dan perkebunan, hampir semua jenis tanam tumbuh dia kuasai, meminjam istilah Bastian Tito sang pemilik Wiro Sableng, Ilmu Bang Pilot di dunia tanam tumbuh sudah mencapai tarap kesempurnaan. Namun disamping dunia pertanian penulis ini juga menulis berbagai hal, tapi konsentrasinya jelas di dunia tanam menanam..
Baim Saptaman. Yang pertama diingat dari tulisan Mas Baim tentu saja Sepeda Onthel dan Planet Kentirnya. Planet kentir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Mas Baim. Tulisan tulisannya tak ubah seperti cemilan ringan yang dapat dinikamti ketika gerimis sambil ngopi atau ngeteh. Tokoh andalanya adalah Slamet dan Dusmin. Cerita-ceritanya merupakan sentilan dalam dunia keseharian yang dikemas apik dalam tulisan-tulisan pendek sarat makna yang dibalut dalam suasana humor. Bagi saya Mas Baim adalah Mukidinya Kompasiana.
Pakde Kartono, Sosok satu ini merupakan sosok penomenal di Kompasiana. Betapa tidak, tulisannya ada yang dibaca oleh empat juta orang. Sebuah pencapaian yang pantastis. Ada yang benci, mencaci, tapi tak sedikit yang memuja dan merindu. Saya termasuk salah satu yang mengikrarkan diri ingin menjadi muridnya dalam bidang tulis menulis, melalui inbox saya minta ilmu kepenulisan kepada Pakde yang entah sudah berapa umurnya ini. Dengan hangat dia menyambut baik pertemanan saya dan bersedia membimbing. Tulisannya lebih banyak ke selera humor yang rada-rada agak gimana gitu… tokoh andalannya gadis kinyis-kinyis matang manggis. Tapi tak sedikit juga yang agak serius tapi tetap dalam kemasan santai.Namun setahun belakangan tidak terlihat tulisan Pakde, kata tulisan terakhirnya dia habis berjalan keliling dunia.
Mawalu. Membaca tulisannya selaksa mendengar musik cadas yang gahar, tanpa teding aling-aling. membalas keras komentar yang menyerang, sebaliknya lembut sembari senyum membalas komentar yang sopan, keasikan tersendiri membaca tulisan sang pemilik batu akik jenis Bacan yang satu ini. Dengan bahasa ‘Akunya” kadang sedikit tegang, seakan membayangkan akan terjadi pertarungan dahsyat antara dirinya dengan yang menjadi bahasan tulisannya.
Dhanang DhaVe. Sang Petualang. Untuk menikmati penjuru negeri cukuplah dengan membayangkan ikut berpetualang bersama Dhanang DhaVe lewat tulisan-tulisannya. Ingin juga menikmati kuliner khas daerah-daerah yang disinggahi ya baca tulisan-tulisanya. Diperkuat dengan sajian foto-foto menarik sekelas fotografer profesioanal sangat memanjakan mata saya yang juga hobi foto-foto. Namun tentu beda kelas dengan si Dhanang DhaVe.
Opa Tjiptadinata Efendi. Saya kira hanya sedikit warga Kompasiana yang tidak mengenal Tjiptadinata, karena setiap hari dia memposting dua tulisan untuk kompasiana. Hal yang sulit tertandingi. Menjadi Inspirator bagi banyak kompasianer diusia senjanya yang selalu mau berbagi. Dia sangat menghindari hal-hal yang berbau politik. Tulisan-tulisan Opa Tjip kebanyakan tentang berbagi. Apa saja dibagikan lewat tulisan-tulisannya. Di samping menulis di Kompasiana beliau juga menulis banyak buku. Saya termasuk beruntung dapat bertemu beliau di kompasianival 2015, dan lebih beruntung lagi karena saya diberi dua buku beliau plus Jam tangan.
Disamping nama-nama di atas, sebenarnya masih banyak sih kompasianer yang saya rindukan tulisannya. Seperti Om Daniel HT yang analisis politiknya tajam dan berani. Mas Isjet, Pebrianov. Dulu ada mas Alan Budiman tapi sekarang katanya udah pensiun dari kompasiana. Kang Pepih Nugraha, satu tulisan kang Pepih yang paling berkesan bagi saya tentang “Homo Ludens dan Homo Faber”
Inilah beberapa sosok penulis Kompasiana yang tulisannya saya rindukan, yang tentu saja dapat prioritas utama saya baca ketika tulisannya muncul dikompasiana. Lalu ada satu pertanyaan dibenak saya, adakah yang merindukan tulisan saya haha…