SelainSebagai  perhelatan ilmiah yang berskala mondial dari Indonesia, banyak hal yang menjadi pelajaran bagi Muslim Indonesia, dan dunia, dari ICIS 20 yang diselenggarakan di Surakarta. Salah satunya adalah sambutan Bapak Menteri Agama RI (Gusmen), sambutan yang menurut hemat saya sangat inspiratif dan komprehensi, sekaligus mengarahkan peta jalan bagi visi atau hadap (al-hadap) Islam Indonesia.
Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sambutan itu merupakan kuliah umum (studium general) bagi Muslim Indonesia, sekaligus muslim dunia, terutama bila para pemikir muslim dapat menjelaskannya bagi masyarakat dan mengembangkannya dalam membangun Indonesia sebagai salah pusat peradan umat manusia yang dibangun kaum Muslimin.
Pilihan Masa Depan
Memperhatikan konteks sejarah Islam yang sedemikian panjang, kata Gusmen, saya merasa bahwa entah sadar atau tidak, mau atau tidak, umat Islam menghadapi pilihan antara dua visi masa depan yang berbeda.Â
Akankah mereka berusaha menciptakan kembali kemasyarakatan religius, politik dan teritorial yang telah lama hilang di bawah panji kekhalifahan—dan dengan demikian berusaha untuk mengembalikan supremasi Islam—sebagaimana tercermin dalam ingatan komunal mereka dan masih tertanam kuat dalam corpus yang berlaku, dan menerapkan pandangan dunia Islam yang ortodoks dan otoritatif?Â
Atau akankah mereka berusaha mengembangkan sensibilitas religius baru yang mencerminkan realitas nyata dari peradaban modern kita, dan berkontribusi pada munculnya tatanan dunia yang benar-benar adil dan harmonis, yang didasarkan pada penghormatan terhadap martabat dan hak yang sama dari setiap manusia?
Pilihan pertama jelas mengarah ke arah bencana—atau, dalam bahasa ekstremis Sunni dan Syiah—konflik global apokaliptik. Untuk membayangkan kehancuran yang akan terjadi, bayangkan kemungkinan menang umat Islam jika dihadapkan dengan dunia non-Muslim, yang kekuatan militernya bisa saja mencakup Amerika Serikat, Rusia dan China yang terkenal memiliki angkatan perang yang tangguh.
Saya meyakini, demikian Gusmen, bahwa setiap usaha untuk mengkonsolidasikan kepemimpinan politik dan militer di seluruh dunia Muslim akan menimbulkan malapetaka dalam skala besar. Perkembangbiakan nuklir, urbanisasi massal, sifat ekonomi dunia yang rapuh dan saling terkait dan penyebaran geografis umat Islam menjamin bahwa upaya semacam itu akan mengancam pilar-pilar peradaban itu sendiri.
Pilihan kedua—untuk mengembangkan sensibilitas religius baru yang mencerminkan keadaan sebenarnya dari dunia kontemporer kita, menuntut keberanian –jenis keberanian yang sama sekali berbeda, serta kedalaman kebijaksanaan dan pengetahuan yang luas tentang dunia yang kita tinggali.Â
Karena, pilihan ini mewajibkan umat Islam untuk mengevaluasi kembali sejumlah konsep usang yang tetap tertanam kuat dalam ortodoksi Islam; mengembangkan(penafsiran) ajaran agama yang baru yang sesuai dengan era modern; dan memobilisasi dukungan politik yang diperlukan untuk membangun otoritas keagamaan alternatif yang mampu menyebarkan dan mempertahankan (penafsiran) ajaran baru ini, yang secara bertahap akan diterima dan diamati oleh komunitas Muslim secara keseluruhan, dan akhirnya melahirkan ortodoksi otoritatif baru.
Oleh karena itu, menurut Gusmen, penting bagi kita saat ini untuk membuka ruang bagi pemikiran dan inisiatif yang diperlukan untuk membangun peran konstruktif bagi Islam dalam kerja sama menyempurnakan tata dunia baru ini. Empat asumsi dasar dalam paradigma ini merupakan modal yang sangat menentukan.
  Â
Dakwah Wasathiyah