Mohon tunggu...
Redaksi MediaIslamNet
Redaksi MediaIslamNet Mohon Tunggu... -

Portal Opini dan Solusi Islami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Liputan Khusus Diskusi Aktual “Mesir dan Masa Depan Islam Pasca Tumbangnya Rezim Diktator”

11 Desember 2011   16:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:30 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_155356" align="alignleft" width="300" caption="Partai Kebebasan dan Keadilan menang Pemilu | Foto: inilah.com"][/caption] Mungkin karena tema yang dinilai menarik, peserta diskusi jadi bertambah. Selain yang sudah rutin hadir, juga ada teman yang baru diskusi kali ini menyempatkan diri ikut. Ada Hendra, Burhan, juga ada beberapa akhwat dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor yang sengaja ikut pada 7 Desember 2011 dalam Diskusi Aktual yang digelar setiap pekan di Rumah Media. Saya sendiri, membawa serta istri dan keempat anak saya untuk ikut dalam acara ini. Bukan agar diskusi terlihat semakin banyak pesertanya, tetapi saya ingin juga agar anak-anak saya yang di kelas 2 dan kelas 5 SD bisa tahu perkembangan peristiwa yang didiskusikan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya. Semoga bisa nyambung atau minimal mereka akan mendengar topik yang sedang diobrolkan.

Diskusi yang dimulai tepat pada 16.19 WIB ini memang terbilang telat. Seharusnya sudah digelar sejak pukul 16 waktu setempat. Tetapi ya sudahlah, meski molor sedikit dari waktu yang sudah ditentukan, diskusi tetap menarik. Apalagi sambil minum kopi hangat di sore hari yang cerah waktu itu. Adalah Pak Hendra yang sengaja membawakan puluhan bungkus kopi untuk menjadi teman santai diskusi pekanan 7 Desember 2011 yang membahas: “Mesir dan Masa Depan Islam Pasca Tumbangnya Rezim Diktator”.

Anak-anak yang hadir di acara diskusi ini memang cukup banyak, selain keempat anak saya juga seperti biasa Ustad Umar membawa serta anak-anaknya yang jumlahnya empat juga. Walhasil jumlah peserta diskusi dari kalangan dewasa tak jauh berbeda dengan jumlah para penggembira diskusi. Meski demikian, alhamdulillah diskusi tetap menarik. Bahkan ada sesi pertanyaan yang diajukan kepada peserta anak-anak agar mereka mau bertanya, dan mungkin berusaha menjawab pertanyaan yang diajukan moderator tetap acara diskusi, yakni Ustadz Umar Abdullah. Seru? Pastinya! Sebab, bagi para peserta diskusi yang sudah dewasa, selain ada hiburan juga bisa membantu peserta diskusi dari kalangan anak-anak agar tergali potensinya dan bisa mengukur seberapa jauh informasi yang didiskusikan bisa terserap anak-anak. Itu sebabnya, setelah diskusi selesai, saya bertanya kepada kedua anak lelaki saya yang kelas 2 dan kelas 5 SD, “Bagaimana kesan kalian dalam acara diskusi ini?” Mereka sepakat menjawab “Enak, bisa dapat ilmu”. Allhamdulillah, semoga juga pendapatnya sama dengan para peserta diskusi lainnya.

Sebelum memulai diskusi yang biasanya didahului dengan pertanyaan kepada para peserta, kali ini Ustadz Umar Abdullah meminta Farid, santri Pesantren Media untuk memutar lagu “Tahrir Mesir” yang liriknya ditulis beliau sendiri. Sementara musik dan lagu digarap Deddy Arif Fasihin, sampai laporan ini ditulis pada ahad, 11 Desember 2011 malam hari, lagu tersebut sudah diunduh lebih dari 1380 kali. Jika Anda ingin membaca lirik dan mendownload lagunya, silakan mengunjungi link-nya di sini: http://mediaislamnet.com/2011/02/mp3-tahrir-mesir/ dimuat pada 28 Februari 2011 silam di website MediaIslamNet.

Sayangnya, karena lagu tersebut diputar di laptop milik Farid, suaranya kurang “menggelegar”. Padahal lirik lagunya keren dan aransmen musiknya cukup unik. Lagu ini sepertinya enak didengar rame-rame seperti misalnya dinyanyikan di acara konser bulanan Sanggar Kreativitas Anak dan Remaja yang digarap Pesantren Media dan MediaIslamNet. Dijamin seru!

Setelah mendengarkan bersama lagu “Tahrir Mesir”, Ustadz Umar Abdullah menjelaskan secara sekilas tentang sejarah Mesir seperti dalam lirik lagu tersebut:

Mesir bumi Afrika tempat silih berganti peradaban nista dan mulia

Kenistaan Fir’aun, Alexander, dan ratu pelacur Cleopatra

Kemuliaan Hajar, Yusuf, Musa, dan Maria al-Qibthiyah

Tahun 21 Hijriyah Islam bebaskan Mesir dari Romawi penindas

Di masa Khalifah Umar dipimpin panglima Amr bin al-Ash

Mesir yang subur pun kaya, mulia, dan punya universitas

Munculkan Shalahuddin, hancurkan Pasukan Salib, al-Quds pun bebas

Tujuh belas sembilan delapan Masehi Napoleon Bonaparte pimpin Prancis serbu Mesir

Sebarkan nasionalisme dorong Mesir berontak Khilafah Utsmani

..Usai Inggris kuasai Mesir, ..Amerika sebarkan liberalisme dan demokrasi

Tanam agen ’tuk tekan rakyat, kayakan pejabat, dan jaga Israel laknat

Di Tahrir Square rakyat Mesir berkumpul

Turunkan Husni al-Laa Mubarak si Tukang Ngibul

Tahrir Mesir! Bebaskan dari Diktator buah Demokrasi

Tahrir Mesir! Muliakan Mesir dengan Syari’at Ilahi

Setelah peserta disuguhi lagu dan penjelasan yang ada di lirik lagu tersebut, Ustadz Umar Abdullah mulai mempersilakan kepada para peserta untuk mengajukan pertanyaan. Seperti biasanya, peserta anak-anak paling antusias untuk menjadi penggembira, terutama Abdullah dan Taqiyuddin. Walhasil diskusi jadi sedikit cair. Lumayanlah untuk melepas ketegangan pembahasan yang cukup berat.

Pertanyaan pertama diajukan Fatimah, siswa kelas 6 SD dan juga santri Pesantren Media, “Mengapa sih bahas kasus Mesir, padahal negeri itu jauh dari Indonesia?” katanya dengan sedikit polos. Tak mengapa, memang itulah pertanyaan khas anak-anak. Bedanya, ia mulai peduli.

Disusul dengan pertanyaan dari Novia, santri Pesantren Media berusia 18 tahun, “Kenapa orang liberal menolak penerapan syariat Islam? Memangnya yang dipahami orang liberal tentang syariat Islam itu apa sih?” Novia bertanya seperti ini mungkin karena menangkap pernyataan Ustadz Umar Abdullah pada saat menjelaskan sekilas sejarah Mesir, terutama saat unjuk rasa pada awal tahun 2011 lalu yang dimotori oleh kaum liberal dan pemuda-pemuda Mesir dan berhasil mengumpulkan massa hingga 2 juta orang di Tahrir Square. Namun, orang liberal jualah yang melancarkan protes dan keberatan saat Partai Kebebasan dan Keadilan yang merupakan partai Islam yang agak moderat (karena tidak akan menerapkan syariat Islam dalam konstitusi Mesir jika berkuasa) yang meraih suara cukup banyak di Pemilu akhir November 2011 lalu (sekitar 40 persen suara) serta Partai al-Nour, partainya ‘kaum Salafi’ hendak melaksanakan syariat Islam dalam konstitusi Mesir.

Dua pertanyaan ini saja sudah cukup membuat diskusi menarik. Namun Ustadz Umar Abdullah masih memberikan kesempatan kepada peserta lainnya untuk mengajukan pertanyaan. Adalah Ilham Raudhatul Jannah, santriwati Pesantren Media yang menanyakan hal mendasar namun perlu diketahui, “Apa sih kegunaan partai dalam negara?” Pertanyaannya sederhana namun jelas memerlukan jawaban lengkap.

Sementara Junnie Nishfiyanti, Koordinator ProgramVoice of Islam di MediaIslamNet menyampaikan pernyataan yang bernada meragukan masa depan Mesir jika melihat fakta bahwa “Partai Kebebasan dan Keadilan tidak mau menerapkan syariat Islam, jadi sebenarnya tak ada bedanya dengan nasib negara kita saat ini,” ungkap Junnie sambil melengkapi fakta bahwa keberadaan partai-partai Islam di Indonesia pun tak mengubah nasib Indonesia menjadi lebih baik.

Junnie tentu punya alasan yang jelas. Apalagi jika kita melihat fakta berdasarkan catatan Republika pada 8 Desember 2011 lalu bahwa Partai Kebebasan dan Keadilan akhirnya memenangi Pemilu Mesir. Namun, partainya Ikhwanul Muslimin ini, memilih moderat dan kompromistis. Itu sebabnya, hasil pemilihan menunjukkan bahwa para pemilih dari kelompok liberal pun lebih memilih Ikhwanul Muslimin. Suara diberikan demi mencegah kelompok ultrakonservatif Salafi mendominasi suara. Dari 9,7 juta suara yang dihitung, Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) meraup 37 persen, diikuti oleh Partai al-Nour berada diposisi kedua dengan 24 persen suara. (Republika.co.id/8 Desember 2011)

Anomali partai Islam

Tapi yang menjadi pertanyaan, “Partai al-Nour yang dibentuk Salafi ketika diterima sebagai partai politik peserta pemilu ternyata ada anggotanya yang Kristen. Juga ada sekitar 50 persen anggotanya dari kalangan wanita. Sebetulnya menarik dengan pernyataan pemimpin al-Nour bahwa satu-satunya aturan yang pantas diterapkan adalah hukum-hukum Allah. Tapi anehnya kenapa Partai al-Nour mau berkoalisi dengan Partai Kebebasan dan Keadilan?” tanya Ustadz Umar Abdullah.

Ustadzah Latifah Musa menyampaikan informasi seputar partai-partai yang ada di Mesir saat ini dan ikut pemilu parlemen pada 28 November 2011, “Kuncinya ada di Ikhwanul Muslimin dengan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP). Tanpa dukungan yang lain atau tanpa berkoalisi sebenarnya suara mereka sudah memadai. Cuma masalahnya bagaimana kondisi Ikhwanul Muslimin sekarang? Sebab, kelihatannya sudah disusupi oleh orang-orang sekular, nasionalis dan sejenisnya.”

Menanggapi pernyataan Ustadzah Latifah Musa, Ustadz Umar Abdullah memberikan komentar bahwa sebenarnya dalam sejarahnya, Ikhwanul Muslimin ketika pertama kali berdiri memang ingin menerapkan syariat Islam dan mendirikan Khilafah. Tapi kemudian mulai bergeser. Ada dugaan dilemahkan ideologinya. Ikhwanul Muslimin sendiri sekarang tidaklah sama dengan Ikhwanul Muslimin zaman Sayyid Quthub. Ikhwanul Muslimin sekarang seperti PKS di Indonesia. Yakni menerima demokrasi, mengikuti pemilu dalam bingkai demokrasi, ikut parlemen,” tandasnya.

Diskusi ini memang tidak selalu runut membahas pertanyaan sesuai urutan pertanyaan yang ditanyakan peserta. Sebab adakalanya langsung menjawab pertanyaan tertentu jika memang yang terpikir saat itu jawabannya memang untuk pertanyaan tersebut. Tak masalah, yang penting semua pertanyaan terjawab dan menghasilkan kesimpulan.

Ustadzah Latifah Musa mencoba menjawab pertanyaan dari Fatimah, yang juga merupakan puterinya, “Karena Mesir adalah bagian negeri Islam. Jadi penting membahas masalah mereka. Khusus Mesir, partai Islam sedang ‘laku keras’ didukung. Dibanding negeri lain yang mulai luntur kepercayaan kepada partai Islam,” jelasnya.

Ustadz Umar Abdullah menambahkan bahwa, “Setiap upaya penegakan syariat Islam harus didukung. Di mana pun itu. Besar maupun kecil upaya itu, harus didukung,” terangnya bersemangat.

Dalam penjelasan tambahannya, Ustadz Umar Abdullah menyampaikan juga bahwa jika ada partai Islam yang berhasil mendirikan institusi negara Islam, Daulah Khilafah Islamiyah, dan memang itu terbukti benar, maka seluruh kaum muslimin wajib mentaatinya. Berbaiat kepadanya.

Burhan R Hazami yang sedari awal adem ayem saja akhirnya bertanya, “Bagaimana dengan ketaatan kepada khalifah sementara saat ini kita di negeri ini punya pemimpin?” pertanyaan itu ia ajukan kepada Ustadz Umar Abdullah.

Mendapat pertanyaan demikian dari Burhan, Ustadz Umar Abdullah menanggapi, “Ketaatan kepada khalifah wajib. Sebagaimana dalam al-Quran surat an-Nisaa ayat 59: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Kepada pemimpin saat ini hanya mengikuti perintah yang sesuai syariat Islam saja. Lain tidak. Jika memang sudah ada kekhilafahan yang benar, maka tugas kita adalah berdakwah kepada pemimpin negeri ini dan juga kepada seluruh kaum muslimin serta berupaya menggabungkan negeri ini dengan negara khilafah.” Jawaban yang panjang dan detil sehingga membuat Burhan mampu menyerap informasi tersebut. Setidaknya ditunjukkan dengan anggukana kepala dan tak melanjutkan pertanyaan.

Menjawab pertanyaan dari Novia, Ustadz Umar Abdullah menyampaikan bahwa, “Syariat Islam adalah aturan dan ajaran Islam. Syariat Islam adalah risalah yang diturunkan Allah Swt. melalui malaikat Jibril kepada Muhammad, Rasulullah saw. Nah, mengapa orang liberal tidak suka dengan syariat Islam dan apa yang mereka pahami tentang Islam? Ya, orang liberal memahami bahwa jika syariat Islam diterapkan kebebasan mereka dalam seks dan kebebasan dalam berpendapat akan dibatasi.Atau bisa jadi mereka sengaja menghembus-hembuskan informasi sesat supaya masyarakat takut terhadap pelaksanaan syariat Islam. Namun bisa juga dengan asumsi yang lain, yakni sebenarnya memang mereka tidak tahu apa-apa tentang syariat Islam sehingga yang penting menolak,” demikian penjelasan dari Ustadz Umar Abdullah.

Setelah menjawab pertanyaan dari Fatimah, Novia dan Burhan, kini giliran menjawab pertanyaan yang diajukan Ilham Raudhatul Jannah. Oya, sebenarnya Ilham ini santriwati Pesantren Media, maka untuk membedakan namanya dengan nama laki-laki, biasanya ia dipanggil dengan Neng Ilham.

Menurut Ustadz Umar Abdullah, “Jika melihat ormas-ormas Islam yang ada saat ini, rata-rata mereka menggunakan ayat 104 dari al-Quran surat Ali ‘Imran. Memang, ada dua pendapat berkaitan dengan kalimat “min kum” dalam ayat tersebut. Pertama, min kum di situ artinya sebuah bagian dari kalangan kaum muslimin. Sementara pendapat yang kedua, “min kum” itu adalah kaum muslimin itu sendiri. Jadi dalam Islam kegunaan partai adalah untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran,” jelasnya.

Untuk membedakan antara partai Islam dengan partai umum seperti fakta bahwa ada partai umum di negeri ini, Ustadzah Latifah Musa menyampaikan bahwa, “Di negara kita, yang memang menerapkan demokrasi, partai yang ada akan ikut pemilu. Ujungnya kekuasaan.”

“Betul. Berserikat dan berkumpul memang dijamin dalam konstitusi negeri ini. Tetapi berserikat dan berkumpul, dalam hal ini mendirikan partai tujuannya adalah untuk meraih kursi kekuasaan di parlemen. Lalu membuat undang-undang yang menguntungkan mereka dan pihak tertentu saja. Lain tidak,” komentar Ustadz Umar merespon jawaban dari Ustadzah Latifah Musa.

Menjelang diskusi berakhir, Ustadz Umar Abdullah kemudian berkomentar atas pernyatan Junnie, “Benar. Dulu Indonesia punya partai besar, Masjoemi (Madjelis Sjoera Moeslimin Indonesia). NU sendiri yang waktu itu masih bergabung dengan Masjoemi bahkan pernah mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Tetapi pada tahun 1954, NU berkhianat dengan keluar dari Masjoemi. Masjoemi terus berjuang meski akhirnya memilih melalui parlemen. Ki Bagoes Hadi Koesoemo tokoh Muhammadiyah, sangat marah ketika 7 kata dalam UUD 1945 dihilangkan. Tahun 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden yag menyatakan kembali ke UUD 45. Sejak saat itu, perjuangan Masjoemi mulai meredup.”

Mengingat hal ini, saya mencoba membuka kembali informasi dalam buku karya Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara yang berjudul Menemukan Sejarah. Berkaitan dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad, NU dengan Statuten (Anggaran Dasar) 1926, dalam praktik perjuangannya menampilkan diri sebagai jam’iyah yang sangat tanggap terhadap peristiwa politik nasional dan luar negeri. Di saat pemerintah RI masih ragu-ragu menentukan sikapnya terhadap pendudukan kembali Sekutu dan Belanda, NU mengeluarkan Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) di Surabaya. Resolusi Jihad ini mempunyai pengaruh besar terhadap keputusan Muktamar Umat Islam di Yogyakarta, pada 7 November 1945. Pengaruhnya secara fisik diperlihatkan dengan pembentukan sayap militer seperti Barisan Sabilillah, Hizbullah dan Mujahiddin. Itu sebabnya, tidak begitu heran jika Muktamar Umat Islam menyatakan kepada setiap penjajah, bahwa “60 Milyun Kaum Muslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah. Perang di jalan Allah untuk menentang tiap-tiap penjajahan” (Kedaulatan Rakyat, 9 November 1945 dalam foto copy di buku Menemukan Sejarah, hlm. 297)

Mencari jalan keluar

Menjelang maghrib diskusi hendak mencapai klimaks. Langit sore di Laladon Permai tampak indah berwarna khas senja. Pertanyaan yang kemudian terlontar adalah, “Bagaimana jalan agar syariat Islam bisa diterapkan? Bagaimana caranya?” tanya Ustadz Umar Abdullah kepada para peserta diskusi.

Ustadzah Latifah Musa merespon dengan memberikan pernyataan, “Selama partai Islam mengejar jalur parlemen, atau demokrasi, pasti akan terjadi penjegalan atau pengebirian perjuangan syariat Islam itu sendiri. Jadi tidak akan bisa berhasil,” tegasnya.

Ustadz Umar Abdullah mencoba memberikan jawaban bahwa untuk penerapan syariat Islam dalam bingkai negara ini, harus melalui dua jalan. Pertama, partai Islam yang berjuang tersebut harus mempunyai dukungan dari masyarakat secara mayoritas. Ukurannya misalnya bisa mengumpulkan banyak orang dalam sebuah kegiatan kampanye dakwah. Sebanyak mungkin, bila perlu jutaan. Kedua, harus ada dukungan militer. Kalo tidak, gagal. FIS saja di Al-Jazair, meski mendapatkan suara 74 % lebih dalam pemilu, tapi termyata digagalkan oleh militer. Inilah kekuatan real. Tugas berat kita memang. MediaIslamNet sendiri baru mencanangkan opini masyarakat. Semoga saja bisa membangun kesadaran umum akan pentingnya perjuangan penegakan syariat Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah,” panjang lebar ustadz bertubuh subur ini menjelaskan.

Diskusi ini diakhiri dengan pembacaan notulen yang sudah saya tulis sejak awal diskusi sebagai bahan untuk menuliskan liputan khusus diskusi aktual pekanan ini. Kesimpulan akhirnya: perjuangan melaluijalur demokrasi, yakni melalui parlemen tidak akan mencapai keberhasilan perjuangan penegakan syariat Islam secara maksimal. Bahkan bisa dikatakan gagal. Itu sebabnya, partai Islam yang hendak berjuang menegakkan syariat Islam, jangan mengambil jalur yang dibuat oleh demokrasi. Sebab, demokrasi tak akan mampu mewadahi kekuatan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. Atau malah bisa jadi, demokrasi akan menyeret partai Islam peserta pemilu untuk mensterilkan syariat Islam agar tak terlaksana sebagai hukum yang mengatur kehidupan rakyat. Bahayakah?

Tentu, jika faktanya demikian kita patut kembali mengevaluasi metode perjuangan melalui jalur parlemen dalam sistem demokrasi. Sebaliknya, kita mencoba menggalang kekuatan ummat (di luar parlemen) melalui sebaran opini agar terbentuk kesadaran kolektif di kalangan masyarakat akan penting dan wajibnya penegakan syariat Islam. Namun, jika melihat kenyataan Mesir saat ini, pesimisme kembali menyergap benak kaum muslimin dan harus menyiapkan langkah perjuangan berikutnya. Kita mulai lagi dari awal. Meski menyakitkan, tetapi kita harus berani secara terus menerus memperjuangkannya dan jadikan pengalaman buruk sebagai bahan evaluasi untuk menyiapkan strategi jitu di kemudian hari. [OS]

Bisa dibaca di SINI juga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun