Mohon tunggu...
Redaksi MediaIslamNet
Redaksi MediaIslamNet Mohon Tunggu... -

Portal Opini dan Solusi Islami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Liputan Khusus Diskusi Aktual “Mengapa Jembatan Kami (Dibiarkan) Runtuh?”

5 Desember 2011   01:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:50 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Diskusi pekanan edisi hari Rabu, 30 November 2011 sedikit berbeda, dan kurang maksimal. Selain peserta diskusi yang tidak tetap setiap digelar diskusi, juga saat itu hujan deras mengguyur Bogor. Saya yang datang bersama istri dan anak-anak ke Rumah Media, tempat biasa digelar diskusi, terpaksa tak langsung masuk karena mendapat SMS bahwa acara diskusi pada hari itu dilangsungkan di MediaIslamNet. Karena sudah kadung basah-basahan, akhirnya kami menerebos derasnya hujan menuju MediaIslamNet. Eh, di sana pun acara diskusi belum digelar dan Ustadz Umar Abdullah malah memberi informasi bahwa diskusi akan dihentikan sementara untuk menshalatkan jenazah tetangga sebelah rumah beliau. “Tapi, nanti saat ada pengumuman untuk menshalatkan jenazah di masjid,” jelasnya. Walhasil, dengan suasana yang kurang mendukung untuk mengeksplorasi kajian, maka forum diskusi tak langsung masuk ke inti persoalan. Malah ngobrol seputar kematian segala. Meski tidak berlangsung lama, akhirnya diskusi baru digelar sekitar pukul 16.30-an. Seperti biasa, Ustadz Umar memberikan prolog seputar tema yang akan dibahas. “Mengapa tema ini dibahas dan diberi judul seperti ini, karena tak biasanya jembatan rubuh dengan cara seperti itu. Umumnya jembatan runtuh jika ada banjir bandang, angin puting beliung, gempa bumi dan sejenisnya sebagai bagian dari bencana alam. Ternyata Jembatan Mahakam II atau Jembatan Kutai Kartanegara ini runtuh saat sedang dilakukan renovasi. Jelas ini ada unsur kelalaian,” Ustadz Umar menjelaskan alasan mengapa peristiwa runtuhnya Jembatan Kukar menjadi topik diskusi pekanan MediaIslamNet dan Pesantren Media. Prolog singkat itu diakhiri dengan mengajuk pertanyaan kepada peserta dikusi seperti biasanya. Taqiyuddin, peserta dari kalangan anak-anak mengajukan pertanyaan, “Kenapa baut jembatan itu pada lepas dan bagaimana supaya tidak runtuh lagi jembatan tersebut?” Disusul dengan pertanyaan nyaris serupa yang diajukan oleh Abdullah, “Kenapa jembatan itu runtuh?” Novia Handayani, santriwati Pesantren Media juga tak mau kalah dengan Taqi dan Abdullah, ia menanyakan, “Mengapa SBY tidak mau membangun jembatan tersebut di tempat yang sama?”. Neng Ilham, teman satu kamar Novia di Pesantren Media memberikan pertanyaan, “Siapa yang bertanggung jawab atas runtuhnya jembatan itu? Oya, dari mana tahu bahwa jembatan itu harus bertahan minimal 40 tahun?” Pertanyaan Novia dan Neng Ilham dilengkapi oleh Farid, santri ikhwan Pesantren Media, “Langkah apa saja agar tidak terulang kejadian ini?” katanya sambil memasang mimik muka heran. Kini giliran jawabannya. Menurut Ustadz Umar Abdullah, “Secara akidah memang itu takdir. Secara syariat, ada sebab-sebab yang membuatnya runtuh.  Misalnya klem-klem (penjepit) yang renggang, putus tali penyangganya, bahannya jelek, perawatan dan lain sebagainya.” Senada dengan pernyataan Ustadz Umar Abdullah, Ustadzah Latifah Musa menyampaikan bahwa,  “Dalam kasus runtuhnya jembatan ini yang tersisa adalah alasan selain bencana alam,” tegasnya untuk menunjukkan bahwa runtuhnya jembatan tersebut lebih disebabkan oleh kelalaian manusia. Ustadz Umar Abdullah menambahkan penjelasannya,  “Jembatan itu sedang direnovasi. Seharusnya tidak diperbolehkan lewat jembatan” Ya, jika melihat faktanya memang jembatan Kukar bermasalah. Diresmikan tahun 2001 ternyata runtuh di tahun 2011. Jembatan tersebut “mati muda”. Padahal, jembatan dengan panjang lebih dari 700 meter yang membentang di atas Sungai Mahakam (menghubungkan Tenggarong dengan Samarinda) didesain dengan model jembatan gantung seharunya memiliki ketahanan yang lebih dari sepuluh tahun. Atau setidaknya dirancang hingga berdiri kokoh sekitar 40 tahun. Tentu saja untuk bisa menghasilkan kokohnya jembatan, dengan kemampuan manusia yang bisa dilakukan adalah dengan menyiapkan bahan yang berkualitas dan yang jangan dilupakan adalah perawatan. Dalam hal perawatan, Mas Deddy Arif Fasihin, yang kebetulan hadir meski telat memiliki pendapat, ”Masalah utamanya tidak ada badan yang berwenang untuk merawat jembatannya. Tidak ada juknis. Untuk kepentingan publik itu jangan main-main. Serius dari mulai pembangunan sampai perawatannya.” Ustadzah Latifah Musa menambahkan bahwa, “Pembangunan sebenarnya ok. Maksudnya sudah dirancang dan disiapkan dengan baik. Tetapi perawatannya yang lebih bermasalah” Menjawab pertanyaan dari Novia, Ustadz Umar Abdullah menjelaskan,  “Ya, mungkin karena ribet membangun dari tempat yang sudah rusak. Tapi untuk lebih jelasnya, silakan saja tanya sama Pak SBY hehehe,” selorohnya sambil diiringi tawa. Atas pertanyaan Neng Ilham, Ustadz Umar Abdullah memberikan tanggapan, “Ya, tahu dari mana minimal 40 tahun? Ya, dalam sebuah proyek pasti ada hitungannya. Apalagi itu termasuk proyek besar yang tentu saja membutuhkan biaya besar. Logikany, karena biaya besar maka harus awet. Jangan lupa juga ada perawatan rutin yang harus dianggarkan dananya dengan benar. Jika melihat besarnya tanggung jawab, tentu saja tanggung jawab pemerintah atas kejadian ini yang lebih tepat memikulnya” Menanggapi pernyataan Ustadz Umar Abdullah, Ustadzah Latifah Musa menekankan, “Harus ada kesadaran masyarakat  untuk saling menjaga jembatan dan fasilitas umum lainnya. Jangan malah dirusak” Ya, perawatan memang sangat diperlukan. Sebab, bagaimana pun kokohnya sebuah produk, dalam hal ini adalah jembatan Kukar, tanpa perawatan yang benar akan sulit bisa bertahan lama. Memang, idealnya sudah harus disiapkan sejak merencanakan proyek tersebut. Bahan apa saja yang digunakan, kualitasnya seperti apa, siapa pelaksana proyeknya, bagaimana dengan kondisi geografisnya, skala kepentingan dan kebutuhannya, dan siapa saja yang bertanggung jawab secara teknis untuk pemeliharaan dan lain sebagainya karena berkaitan dengan masalah kepentingan dan kebutuhan publik. Tapi, kami meragukan pemerintah akan serius untuk menangani masalah ini. Tanpa mengerdilkan skala kerusakannya dan belasan korban jiwa dalam kasus ini, sepertinya sulit mengharapkan pemerintah untuk serius menanggapi. Dalam kasus Lapindo saja, sudah bertahun-tahun warga Porong dibenam lumpur belum nampak campur tangan pemerintah yang signifikan untuk menyelesaikannya. Belum lagi masalah lainnya jika mau dirunut sangat banyak. Tetapi miskin tanggung jawab dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Masalah yang mungkin sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini seperti jalan yang berlubang atau yang rusak parah. Saya, sebagai biker sering berjalan ke berbagai daerah di kawasan Jakarta dan Bogor saja sangat banyak jalan berlubang yang berpotensi membahayakan keselamatan pengendara. Parahnya, ada banyak jalan di beberapa tempat yang sepertinya tak pernah diperbaiki. Pemeritah sangat abai. Menyedihkan. Diskusi yang meski kurang maksimal dilaksanakan karena beberapa alasan yang saya sebutkan di atas (termasuk laporan liputannya yang sangat telat dituliskan), namun alhamdulillah bisa memberikan kesimpulan. Ya, kesimpulannya memang pemerintah abai dalam masalah kepentingan publik. Memang tidak semua kepentingan publik diabaikan, tetapi lebih banyak yang diabaikan. Bukan soal jembatan saja, tetapi masalah transportasi, kesediaan jalan darat yang bagus dan memadai untuk keselamatan pengendara, juga semua hal hal yang berkaitan dengan kemaslahatan rakyat. Ini harus segera dituntaskan. Semoga pemerintah tidak tuli dengan banyaknya kritikan dan masukan dari rakyatnya sendiri. Diskusi ini diakhiri dengan pernyataan Ustadz Umar Abdullah yang menyampaikan bahwa di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra kesejahteraan rakyat sangat diperhatikan. Pernah Khalifah Umar bin Khattab ra mengatakan bahwa jika ada jalan di Irak yang berlubang sehingga membuat unta terperosok, maka dirinya merasa khawatir akan dimintai pertanggungan jawab di akhirat kelak oleh Allah Swt. Lalu bagaimana dengan kita dan pemerintah yang abai kepada rakyatnya sendiri yang memang manusia (bukan seperti yang dikhawatirkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra bahwa ada unta yang terperosok karena jalan berlubang di Irak—kepada hewan saja beliau perhatian, apalagi kepada manusia. Kita harus bercermin kepada cara Islam dalam menuntaskan persoalan ini. Sebagaimana pernah dicontohkan—dalam kasus kepentingan umum ini—salah satunya oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Bisakah? Insya Allah bisa asal pemerintah mau menerapkan syariat Islam yang tegak di bawah naungan Khilafah Islamiyah. [OS] Link Asli Artikel ini di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun