Mohon tunggu...
Redaksi MediaIslamNet
Redaksi MediaIslamNet Mohon Tunggu... -

Portal Opini dan Solusi Islami.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Kejahatan Anak”

5 Maret 2012   02:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:29 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liputan Khusus Diskusi Aktual Pesantren Media, Rabu, 29 Februari 2012

Ilustrasi | Foto: www.republika.co.id

Diskusi aktual kembali digelar. Seperti pada Rabu kemarin, diskusi kali ini mengambil tempat di Kantor MediaIslamNet. Tidak seperti Rabu kemarin (22/02), dimana tempat diskusi saat itu dipindah tempatnya dari Rumah Media karena hujan. Alasan pemindahan tempat diskusi ke Kantor MediaIslamNet kali ini tidak diketahui. Pemberitahuan perpindahan tempat baru diterima sekitar jam 16.00 WIB. Ada juga di antara peserta yang terlanjur datang ke Rumah Media. Mereka bingung melihat Rumah Media yang sepi. Namun, akhirnya mereka mengetahui bahwa tempat diskusi dipindah ke Kantor MediaIslamNet. Tema Diskusi Aktual kali ini adalah: “Kejahatan Anak”. Pimpinan diskusi, seperti biasa, yakni Ustadz Umar Abdullah. Beliau memberikan pemaparan mengapa diskusi aktual kali ini mengambil tema tersebut. Tema ini diambil karena akhir-akhir ini muncul pemberitaan yang memberitakan bahwa ada anak yang melakukan tindak kriminal pembunuhan, perzinahan, pencurian, dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah kasus anak tusuk anak ini dilakukan tersangka AM (13), siswa kelas 6 SDN I Cinere, Depok, Jawa Barat yang melakukan penusukan terhadap temannya sendiri, Syaiful (13). Pelaku kini menempati ruang tahanan berukuran 3 x 4 di rumah tahanan khusus anak di Mapolsek Beji, Depok, Jawa Barat. Sebelumnya, kasus-kasus serupa kerap menimpa di antara anak-anak. Selain kriminalitas, juga ada kasus perkosaan dan perzinaan di antara anak-anak. Menyedihkan. Bertanyalah Setelah pemaparan secara singkat mengenai alasan pemilihan tema, kini tiba saatnya para peserta mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama datang dari para peserta anak-anak, Taqi, yang menenyakan perihal kenapa anak-anak berbuat kejahatan. Pertanyaan kedua juga dari kalangan anak-anak, Qais. Siswa kelas 5 sebuah SDIT di Bogor ini bertanya tentang bagaimana hukumnya jika anak[-anak mencuri karena kelaparan. Peserta diskusi dari kalangan anak-anak yang lainnya, Abdullah, juga tidak mau kalah. Dia menanyakan kenapa anak-anak sering menusuk-nusuk. Pertanyaan selanjutnya datang dari santri Pesantren Media, Novia. Novia bertanya terkait beberapa hal. Yang pertama dia bertanya tentang penyebab anak mudah melakukan kejahatan. Pertanyaan selanjutnya, “Apa yang harus dilakukan para orang tua? Bagaimana pandangan Islam dan bagaimana solusinya,” tanyanya dengan serius. Usai Novia bertanya, giliran Ilham Raudhatul Jannah, yang juga santri Pesantren Media, juga ikut mengajukan beberapa pertanyaan, “Apakah ada hubungan antara kejahatan yang dilakukan oleh anak dengan didikan orang tua? Apa sih perbedaan angtara Komnas HAM dengan Komnas Perlindungan Anak? Berapa batasan usia anak menurut Islam?” tandasya. Selanjutnya, saya sendiri juga ikut bertanya perihal apakah hukuman bagi seorang anak yang melakukan tindak kejahatan. Pertanyaan terakhir datang dari seorang peserta lain, Fauziah. Dia menanyakan dua pertanyaan yaitu apa usaha pemerintah guna menanggulangi hal ini dan juga kenapa pemerinta seolah-olah lepas tangan, tak mau memelihara orang miskin, padahal hal itu telah ditetapkan dalam UUD 45. Pemerintah terkesan mengingkari apa yang telah dibuatnya. Menjawablah Sesi pertanyaan telah usai. Kini, tiba saatnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang  ada. Pertanyaan pertama, yaitu pertanyaan Taqi tentang kenapa anak berbuat jahat, mendapat jawaban dari dua orang. Jawaban pertama datang dari Abdullah, sesama anak-anak. Abdullah berpendapat bahwa anak-anak diajari hal-hal yang tak baik atau bahkan jahat. Misalnya, dengan menonton sinetron dan acara-acara lainnya yang memberikan pelajaran buruk, semisal bunuh-bunuhan, kekerasan, gaul bebas, dan lain semacamnya. Dan menurut Ustadz Umar, hal yang paling mendasar adalah anak-anak ini diajari dengan cara meniru hal-hal yang buruk, baik itu meniru orang tua, lingkungan, maupun media. Selanjutnya adalah pembahasan pertanyaan Qais tentang hukum anak-anak yang mencuri karena kelaparan. Abdullah mengacungkan tangan, hendak menjawab. Namun, setelah dipersilahkan menjawab, Abdullah malah diam. Dia nampak masih memikirkan apa yang hendak dia katakan. Berhubung Abdullah ‘loadingnya’ lama, maka kesempatan untuk menjawab dilemparkan pada peserta lain. Halah! Fauziah mengambil kesempatan ini. Dia mengeluuarkan pendapat bahwa mencuri karena kelaparan bukanlah tindakan kriminal. Namun, Ustadz Umar Abdullah keberatan dengan jawaban Fauziah. Ustadz Umar memandang bahwa, “Tak semudah itu orang yang lapar harus mencuri. Jika begitu, maka setiap orang yang lapar diperbolehkan mencuri. Hal ini tidak benar. Harus ada serangkaian tindakan yang harus dilakukan oleh yang bersangkutan sebelum dia memutuskan untuk mencuri. Misalnya, dengan terlebih dahulu meminta pertolongan atau makanan kepada kerabat, tetangga, ataupun pemerintah. Jika yang bersangkutan tidak diberi atau tak ada yang membantu, maka boleh mencuri, dengan catatan, yang dia curi hanyalah makanan dan itu pun hanya secukupnya untuk menyelamatkan nyawanya. Jadi, tidak boleh mencuri yang lain semisal laptop, uang, dan lain semacamnya dengan alasan lapar,” panjang lebar Direktur Pesantren Media ini memaparkan jawabannya. Pertanyaan dari Abdullah tentang kenapa anak-anak menusuk-nusuk ditangguhkan untuk dijawab mengingat yang paling mempunyai cukup data tentang kasusnya, yaitu Ustadzah Lathifah Musa, untuk sementara sedang meninggalkan tempat diskusi karena ada keperluan. Selanjutnya adalah pembahasan pertanyaan yang diajukan Novia. Pertanyaan pertama Novia tentang apa yang menyebabkan anak mudah melakukan kejahatan esensinya mirip dengan pertanyaan pertanyaan yang diajukan Taqi. Maka, pertanyaan ini dianggap sudah terjawab. Pertanyaan Novia yang kedua yakni tentang apa yang harus dilakukan oleh orang tua guna mencegah kejahatan anak terjadi. Ustadz Umar Abdullah memberikan pendapatnya yaitu dengan dididik, diberi informasi, dan juga teladan atau contoh yang baik. Berikutnya adalah pembahasan pertanyaan Ilham. Pertanyaan Ilham yang pertama tentang apakah ada hubungannya kejahatan anak dengan didikan orang tua. Berdasarkan pembahasan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa didikan orang tua memegang peranan penting dalam pencegahan anak melakukan kejahatan. Selanjutnya, pertanyaan kedua Ilham tentang batasan umur seorang anak dalam Islam. Ustadz Umar memaparkan bahwa seorang anak dapat dikatakan menginjak dewasa, patokannya relatif. Dalam arti, setiap anak berbeda. Patokannya adalah apakah seorang anak telah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia telah baligh atau belum. Dan setiap anak berbeda dalam hal ini. Kadang tanda-tanda ini muncul di umur 13 tahun, sedangkan anak yang lain belum tentu di umur yang sama. Menurut Imam Syafi’I, jika seorang anak tak kunjung menampakkan tanda-tanda baligh hingga umur 15 tahun, maka di umur 15 tahun itu dia sudah bisa dikatakan dewasa. Tanda-tanda baligh itu antara lain ihtilam (bagi laki-laki) atau haidh bagi perempuan. Serta perubahan fisik seperti bagi anak lelaki mulai muncul jakun, suara agak berat, dan tumbuh bulu di mana-mana (terutama kumis, janggut, bulu ketiak, dan juga di daerah seputar kemaluan). Wanita juga sama. Secara fisik payudaranya mulai tumbuh juga tumbuh bulu kecuali janggut dan kumis. Konsekuensi baligh adalah mulai terbebani dengan pelaksanaan hukum syara. “Baligh” diambil dari  bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti “sampai“, maksudnya “telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan“.Sedangkan menurut makna  terminologis,al bulughadalah habisnya masa kanak-kanak. Allah Swt berfirman (yang artinya): ”Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin“  (QS. an-Nur[24]:59) Syariah Islam mengarahkan anak sesuai masa baligh. Proses pendidikan anak dalam Islam, pada dasarnya mengarahkan anak agar dewasa secara pemikiran (aqil) seiring dengan kedewasaannya secara biologis (baligh). Ajaran Islam yang memerintahkan untuk mengajari anak  shalat pada usia tujuh tahun (HR Ahmad, at Tirmidzi, Thabrani dan Hakim), dan diperbolehkannya memukul tanpa menyakitkan anak  yang berusia sepuluh tahun bila ia tak mau sholat (HR Ahmad, Tirmidzi, Thabrani dan Hakim) hingga  ditetapkannya usia baligh sudah terbebani hukum syariah (mukallaf). Selanjutnya adalah pembahasan pertanyaan saya sendiri tentang hukuman bagi seorang anak yang melakukan tindak kejahatan. Di dalam Islam, seorang anak yang berbuat kejahatan, tidak dikenai hukuman, kecuali yang berkaitan dengan hukuman-hukuman tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah swt. Misalnya, jika seorang anak masih belum shalat meskipun umurnya telah mencapai 10 tahun, maka dia harus dipukul. Keluarga, masyarakat dan negara bertanggung jawab terhadap kriminalitas yang dilakukan anak-anak saat ini. Tingkat tanggung jawabnya bertambah dan puncaknya berada di negara. Menyerahkan pendidikan anak kepada keluarga saja belum cukup, apabila masyarakat dan negara tidak menerapkan aturan dan sanksi untuk melindungi anak-anak dari tindak kejahatan dan berbuat jahat. Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini secara sempurna.  Ini karena Islam telah menjadikan berbagai hukum yang menjauhkan anak dari tindak kriminal dan mewajibkan negara untuk menerapkan hukum tersebut. Rasulullah saw. bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara:“Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim) Dalam hadist lainnya, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad) Islam mewajibkan negara untuk menjamin setiap warganegara dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Dengan jaminan seperti ini, para ayah diberikan kesempatan kerja untuk mencukupi nafkah keluarga.  Para ibu dikembalikan kepada fungsi utamanya sebagai pendidik anak-anak di rumah sehingga bisa berkonsentrasi mencetak anak-anak yang berkualitas. Demikian laporan Diskusi Aktual kali ini. Semoga bermanfaat. [Farid Abdurrahman, Santri Pesantren Media] Catatan: Tulisan ini salah satu tugas tambahan dalam pelajaran Menulis Kreatif di Pesantren Media

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun