Sakit kronis atau kematian akibat kesehatan reproduksi yang lemah, menjadi gejala sosial yang nyata pada ibu yang manikah masih terlalu muda.
Ada data memprihatinkan soal risiko yang bisa mengancam kesehatan reproduksi di Kabupaten Malang. Sampel data dari faskes puskesmas di lima kecamatan misalnya, hanya didapati antara 10 sampai 30 persen pasangan calon pengantin nikah muda yang terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA), didapati pernah memeriksakan diri dan diketahui gejala kesehatan reproduksinya.
Dari hasil pemeriksaan absolut pasien, didapati kasus (calon) sebagian pengantin wanita mengalami anemia (kekurangan darah) dan kekurangan gizi.Â
Temuan gejala ini mengkhawatirkan, karena bisa juga menimbulkan risiko fisik, termasuk juga kesehatan reproduksi perempuan yang kawin usia muda.
dr Wahyu Widiati, tenaga kesehatan asal Kabupaten Malang menyebutkan, rahim pada ibu berusia muda belum sepenuhnya siap, sehingga meningkatkan risiko keguguran. Saat bersalin, ibu yang mengidap anemia dan/atau kekurangan energi dan kalori juga berisiko perdarahan saat melahirkan.
Ketika mengalami gejala sakit pascapersalinan ini, si ibu dikhawatirkan tidak berhasil menyusui eksklusif sehingga bayinya berisiko gagal tumbuh dan rentan menyebabkan terjadinya stunting baru. Si ibu bahkan rentan pada risiko kanker payudara.
Berisiko Tinggi, Kawin Muda Masih Marak
Masyarakat dalam strata sosial lebih rendah, masih dibayangi perkawinan usia muda atau di bawah umur, yang sebenarnya bukan serta merta menjadi keinginannya.
Persoalan pernikahan dini telah menjadi permasalahan tersendiri bagi Indonesia. Karuan saja, berdasarkan data 2018 (dilansir di BBC.com), pernikahan dini ditemukan di seluruh bagian wilayah Indonesia.Â
Sebanyak 1.184.100 perempuan berusia 20-24 tahun didapati telah menikah saat masih usia 18 tahun. Jumlah terbanyak berada di Jawa, yakni sejumlah 668.900 perempuan.