Aku tak tahan melihat Bunga. Ia tersenyum begitu manisnya walau bibirnya pucat. Sepertinya ia sedang menertawakan aku, semuanya, juga kehidupan.
Memang, ia sudah menemukan apa yang diinginkannya. Ketenangan, kesunyian dan keabadian kini sudah ia temukan. Segala kenistaan, cercaan, keperihan, keterasingan diri dan senyum kepalsuan pun berakhir sudah.
Kemarin, baru saja ia berlari sambil menyingsing longdress, menenteng sepasang sepatu hak tingginya, lalu memburu ke arahku, bersembunyi di balik rapuhnya tubuh ini.
“Mas, Mas, bawa saya pergi ke mana saja Mas suka,“ ucapnya diselimuti takut yang teramat menggetarkan sendi-sendi tulang.
Sesaat beranjak dari simpang jalan durjana itu, beberapa personil polisi datang, juga dengan berlari, mencari, hendak menertibkan perempuan berdandan menor itu.
Bunga seperti bermimpi dan seolah baru menemukan kehidupannya. Kami menghabiskan separuh malam tanpa menyentuh tepian fajar. Jalan yang mesti kami lalui telah dilalui.
“Terima kasih, Mas,“ kata Bunga setelah mulai bisa mengatur nafas.
Aku hanya mengangguk kecil sambil memejamkan mata. Lalu kami makan apa yang bisa dibeli orang-orang kecil. Bunga makan begitu lahapnya sehingga membuatku berhenti menyuap. Ingin kutanyakan, sudah berapa hari ia tidak makan tapi aku segan pada perempuan berambut sebahu itu.
“Saya datang dari kampung. Jauh dari sini. Adik saya banyak. Ada empat, masih kecil-kecil udah pisah. Wong dulunya saya sing paling gede. Dulu semuanya tak bawak ke sini. Ayah udah meninggal taon kemarin. Tak ada biaya beli obat. ‘Mak saya ditangkap gara-gara jual ganja disuruh sama Mas Tejo,” ujar Bunga mulai singkap riwayatnya si sela-sela makan malam itu.
Kata Bunga, ia tak tahu di penjara mana ibunya berada, karena ia belum begitu mengenal kota ini selain dari sisi-sisi kebencian.
Segala luka mulai terkoyak kembali. Segala ruang-ruang di kisi ingatannya berdarah, berdarah, busuk mengeluarkan airmata kemuakan dengan kepalsuan hidup. Bunga terpekik mengeluarkan tangis seperti lolongan anjing. Pemilik warung tempat kami makan sampai takut dibuatnya. Lalu Bunga diberi minum air putih.
Kubiarkan lama Bunga terdiam seperti hendak menyempurnakan ingatannya. Sejak hari pengharapan sampai hari kematiannya.
Hari pertama ia bersama keluarga datang ke kota ditandai dengan kampanye partai menghadapi Pemilu 5 tahun lalu. Orang-orang tampak begitu bersuka cita, walaupun kebanyakan bukan mendengarkan “khotbah” berapi-api, melainkan cuma berebut baju kaos dan nasi bungkus. Apalagi ada musik kibotnya yang mengundang artis. Lumayan, bisa bertemu artis walau hanya nonton dari jauh.
Kata Mas Tejo di depan keluarganya, nanti Bunga akan dipekerjakan di hotel atau bisa juga di plaza. Tetapi sudah dua minggu dia tak nampak, malah membiarkan mereka tinggal di rumah pengap itu. Kadang dia memang menitip uang. Tapi, mana mungkin mereka bisa hidup dari uang segitu.
Tak lama setelah itu ayah Bunga sakit. Tapi Mas Tejo belum nampak. Kemarin pulang sekejap tetapi pergi lagi membawa ibunya. Tak tahu ke mana. Tetapi semalam ia melihat ibunya masuk TV, ia ditangkap sama pak polisi. Rupanya Mas Tejo menyuruhnya menjual ganja.
Gadis berumur 14 tahun itu lari dari rumah jorok itu, membawa ayahnya juga adik-adiknya. Entah bagaimana caranya mereka sudah berada di pusat kota, di pinggiran rel dekat stasiun utama kereta api. Mereka membuat rumah kecil di situ.
Kata Bunga lagi, gubuk dari triplek dan sebagian kardus itu terpaksa harus mereka tinggalkan karena polisi pamong praja datang menertibkan kota dari pemandangan yang kurang mengenakkan bagi para wisatawan mancanegara.
“Nanti, katanya, turis emoh datang. Itu apa namanya, yang ada pestol-pestolnya itu, ya…ya investor, kagak mau ngasih uang sama pemerintah. Bisa-bisa gagal deh, jadi metropolitan. Kan begitu kata Mas Tejo,” terang Bunga.
Menurut kisah Bunga, waktu penggusuran terjadi, ia sempat ngajak ribut. Soalnya, mereka tak mau kasihan sama dia dan ayahnya yang sedang sakit parah. Waktu itu memang adik-adiknya masih bersamanya. Tetapi, ketika ada kejadian berantem, pukul-pukulan dan lempar-lemparan, Bunga tak lagi melihat adiknya, karena ia harus memeluk ayahnya yang sempat terinjak-injak waktu ada orang berseragam mencoba membakar rumah mereka.
Kata si Ogem, laki-laki pemulung itu, adiknya yang paling kecil dibawa si Mpok. Yang lainnya dia tidak tahu.
Sedangkan menurut Wak Karung, adiknya ada yang dimasukkan ke sebuah truk. Cuma dia tidak tahu dibawa ke mana.
Rumah Bunga sudah rata dengan tanah. Lantas di atasnya ada tulisan “Dilarang Masuk.” Tembok setinggi dua meter dibangun di sekelilingnya. Ayahnya yang meninggal dunia saat kejadian itu terpaksa ditinggalkannya begitu saja, karena tidak ada yang mau mengurusnya. Untunglah, besok-besoknya ada yang menemukannya di balik tembok. Barulah ayah Bunga dibawa ke kamar mayat di sebuah rumah sakit.
“Di TV kan ada ditayangkan. Mayat tanpa identitas itulah ayah saya,“ jelas Bunga kepada ibu-ibu bergiwang dan berkerabu besar yang mulai menuntun gadis tamatan SD ini ke sebuah barak. Orang memanggil perempuan setengah baya itu,“Mami.“
Sudah lima tahun Bunga merindukan adik-adiknya. Mungkin sekarang mereka sudah besar-besar. Di atas bekas rumah mereka pun kini sudah berdiri megah hotel berbintang yang dibangun oleh seorang pengusaha yang banyak duitnya.
Kata Mami kepada Bunga, wong cilik tak akan pernah menikmati hidup, kecuali harus berani. “Makanya kamu harus berani,“ katanya.
Lalu Bunga mengimbuhkan, Mami pun mengajarinya bagaimana harus menyambut tamu, terutama kalangan berduit. Misalnya seperti kata Mami, para pejabat dan pengusaha.
“Semula saya benci setiap bertemu dengan kalangan atas yang dimaksud Mami. Soalnya merekalah yang menyebabkan kematian ayah saya. Rumah kami digusur pun karena tuntutan kemewahan dan kesombongan mereka,“ tutur Bunga.
Diimbuhkannya, semula ia berfikir, mereka itu bajingan, penipu dan anggar kekayaan. Tetapi sejak jumpa Om Dedi, fikirannya berubah. Ternyata di antara mereka da juga yang baik. Soalnya, Om Dedi sering membawanya jalan-jalan. Bahkan, Om Dedi lebih sering mendatanginya ketimbang istri sendiri. Belakangan, malah Om Dedi menceraikan isterinya.
“Mami pun semakin sayang pada saya, karena om Dedi juga baik padanya. Mami bisa belajar untuk tersenyum seperti saya karena Om Dedi. Saya juga punya baju cantik, perhiasan yang bagus-bagus, alat-alat solek yang mahal karena Om Dedi juga,“ begitu Bunga menceritakan riwayatnya panjang lebar.
Aku terdiam ketika Bunga menutup wajahnya. Lalu ia menjerit lebih keras lagi. Pemilik warung pun terkejut lagi dibuatnya.
“Tidaaaaak...! Tidak! Dia pasti kau! Pasti kau orangnya!“ teriak Bunga.
“Bunga! Tenangkan hatimu, Bunga!“ bisikku sambil mengelus bahu Bunga yang mulai berguncang. “Sudah, sudah. Nanti semuanya akan berakhir, Dik,“ lanjutku.
Lalu dengan tisu yang dikeluarkannya dari tas kecil di tangannya diusapnya air matanya sendiri.
“Kamu pulang, ya?“ tawarku. Bunga menggeleng. “Ayolah Bunga, biar ku antar sampai simpang,“ ajakku. Lagi-lagi Bunga menggeleng.
Matahari baru naik sepenggalahan ketika warung itu dikerumuni banyak orang. Jantungku berdegup tak menentu. Rasa tak enak mendera perasaanku. Kudekati warung itu selangkah demi selangkah. Orang-orang berlapis kusibakkan, kudorong, kudesak, kutepis, berusaha menyelinap agar aku bisa segera melihat apa yang terjadi.
Bunga tergeletak di pojok warung. Sepasang matanya yang indah terbelalak. Tetapi bibirnya seperti tersenyum puas. Aku tak tahan melihat senyuman itu.
Di sebelah Bunga terkulai bersimbah darah sesosok mayat laki-laki yang dipanggil orang Mas Tejo, pemilik warung itu.
Polisi datang dan menemukan secarik kertas di gengaman Bunga. Kertas itu ternyata berisi surat yang tak jelas ditujukan buat siapa. Begini bunyinya:
Terima kasih Mas, telah membawa langkah saya ke warung ini. Mas telah mempertemukan saya dengan orang yang paling bertanggungjawab dengan kehancuran hidup saya. Dialah Mas Tejo, yang saya ceritakan pada Mas tadi malam. Meskipun dia sudah lupa dosa-dosanya pada saya, tetapi saya tidak.
Mas...walau Mas belum saya kenal, tetapi Mas adalah orang yang paling saya percaya menyampaikan pesan saya ini.
Mas yang baik…tolong sampaikan salam saya pada ustadz-ustadz dan para pengkhotbah bahwa saya tidak bisa terima apa yang mereka tuduhkan. Coba Mas fikir, masa saya dibilang akan masuk neraka. Apa karena saya ini pelacur?
Ya. Memang saya ini pelacur. Tetapi setiap noda yang saya buat, dosa yang menguap dari harum parfum murahan di tubuh ini harus dibayar mahal oleh pejabat pemerintah yang mengeluarkan kebijakan penggusuran itu. Juga pengusaha itu. Masa Mas, dia tidak mau mencarikan rumah untuk kami padahal duitnya berkepok-kepok. Saya bersumpah akan menuntut mereka di Pengadilan Tuhan.
Satu lagi Mas, sampaikan salam saya pada adik-adik saya. Katakan, saya rindu mereka. Saya yakin Mas akan mampu menemukan mereka semuanya, bisa di terminal-terminal, di tengah-tengah lokasi proyek pembangunan yang bahan-bahan bangunannya dipikul di bahu mereka. Atau Mas akan bisa mencium keringat mereka di antara ributnya suara becak dengan mesin tua, atau kalau Mas tak juga menemukan mereka di sana, Mas boleh cari ke penjara-penjara. Tolong ya, Mas! Cintamu, Bunga***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H