[caption id="attachment_156243" align="alignleft" width="300" caption="sumber : http://3.bp.blogspot.com/"][/caption] Yahudi ramai dibicarakan di Kompasiana minggu-minggu ini akibat adaya tragedi kemanusiaan dimana kapal bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina diserang oleh tentara Israel. Beberapa relawan dikabarkan meninggal dan jatuh korban. Artikel ini akan membahas kontroversi kamp konsentrasi kamar gas Jerman yang kontroversial. Iran dan dunia Islam rata-rata mengatakan bahwa kamp konsentrasi adalah omong kosong, dan hanya digunakan Israel sebagai dalih pembenaran untuk pendudukan tanah Palestina. Teori Eugenika Kamp konsentrasi kamar gas Jerman berawal dari teori beberapa ilmuwan yang didukung secara terang-terangan oleh Theodore Roosevelt, Woodrow Wilson, Winston Churchil. Teori ini disebut sebagai EUGENIKA [1] Dalam literatur lain, disebutkan bahwa landasan ilmiah dari teori eugenika berasal dari teori Darwin yang menyebutkan bahwa hewan jenis unggulan dapat dikembangbiakkan dengan mengawinkan induk-induk hewan unggulan yang sehat. Konsep darwin ini juga dilakukan kepada ras manusia unggulan sehingga perlu diperbaiki dengan cara memperbanyak jumlah ras manusia yang sehat. Teori Eugenika berasal dari riset yang didanai oleh yayasan Carnegie dan Yayasan Rockefeller. Beberapa perguruan tinggi terkemuka di Amerika seperti Harvard, Yale dan Princeton ikut terlibat dalam penelitian ini. Beberapa negara bagian Amerika turut menggodok produk hukum teori eugenika, dan dua hakim agung Amerika menyetujui keputusan produk hukum Eugenika. Teori eugenika adalah gagasan mengenai upaya penyelamatan dunia dari kehancuran dengan menyeleksi gen manusia unggulan. Gen manusia non unggulan harus dimusnahkan agar gen unggulan mendominasi peradaban manusia. Celakanya, gen non unggulan ini didefinisikan sebagai manusia kelas rendah dimana Yahudi, kaum imigran seperti kulit hitam, orang asing, dan segala manusia berkualitas rendah lainnya masuk dalam klasifikasi golongan gen rendah atau gen non unggulan. Isu teori eugenika ini diusulkan pertama kali oleh Francis Galton, sepupu dari ilmuwan Charles Darwin - seorang ilmuwan dari Inggris, yang kemudian direspon secara luar biasa oleh Amerika sebagai akibat fenomena pendatang kaum imigran ke Amerika, yang dipandang membahayakan peradaban dunia ([1]. Pusat penelitian mengenai eugenika kemudian dipindahkan ke Jerman yang didanai oleh yayasan Rockefeller hingga beberapa bulan sebelum pecah perang dunia kedua. Pada akhirnya, pusat penelitian ini berkembang dengan membentuk jaringan kamp – kamp konsentrasi yang terletak di sepanjang jalur kereta api di Jerman. Setelah perang dunia kedua selesai, tak seorangpun berani mengakui kebenaran teori eugenika dan dikemudian hari diketahui bahwa teori eugenika tidak mempunyai landasan ilmiah sama sekali. Bangsa Arya yang Agung dan Bangsa Yahudi yang Rendah Kontroversi kamp konsentrasi untuk Yahudi di Jerman dengan demikian adalah benar adanya. Jerman memiliki sudut pandang sendiri dimana rakyat Jerman adalah bangsa Arya yang tertinggi rasnya dan memandang kaum yahudi sebagai kaum dengan keturuan ras rendah. Dalam bukunya yang berjudul “Mein Kampf” Hitler menulis sebagai berikut: ”orang-orang Yahudi membentuk ras pesaing lebih rendah di bawah manusia, yang telah ditakdirkan oleh warisan biologis mereka sebagai yang terhina, sebagaimana ras Nordik telah dinobatkan sebagai yang terhormat… Sejarah akan berpuncak pada sebuah imperium milenium baru dengan kemegahan yang tiada tara, yang berlandaskan pada hirarki baru berdasarkan ras sebagaimana ketentuan alam itu sendiri” [2] Penutup Kemudian terlontar pernyataan menarik, mengapa Yahudi dipandang sebagai bangsa dengan kualitas rendah? Padahal kitab suci Al-Qur’an justru menyebutkan bahwa Yahudi adalah bangsa pilihan. Jawabannya ternyata juga terdapat di dalam Al-Qur’an, dimana Yahudi memang sedang dihukum oleh Tuhan akibat kesalahan besar yang sudah dilakukannya. Diantaranya adalah penyingkiran nabi Isa dan tidak patuh terhadap nabi Musa. Hari ini, dunia menjadi saksi bahwa persoalan Palestina dapat dipandang dari segala sudut. Politik, agama, kemanusiaan, ketidakadilan, persoalan hak asasi, pemicu terorisme, konflik antar negara, penjajahan dan sebagainya. Semua sudut pandang itu bisa benar bisa salah. Menegasikan salah satunya atau beberapa diantaranya tidak akan mengurai akar konflik yang dipercaya terus berlangsung hingga hari kiamat. Palestina telah menjadi isu global. Upaya untuk membantu rakyat Palestina janganlah dinistakan sebagai tidak nasionalis, tidak empati dengan kondisi bangsa sendiri, yang berkubang kemelaratan dan kesengsaraan. Sebagaimana kita membantu saudara kita di Aceh pasca Tsunami, masyarakat dari berbagai pelosok, akademisi, tim kesehatan dari seluruh provinsi ikut membantu Aceh. Dunia sudah menjadi kecil. Borderless. Jarak dari satu negara dengan negara yang lain sudah tidak signifikan. Ingatlah bahwa media massa memblow up sedemikian rupa sehingga seolah seluruh konsentrasi mengarah ke Palestina. Media berperan membesarkan bantuan dana dan dukungan kemanusiaan kepada Palestina. Padahal mereka hanyalah segelintir pahlawan kemanusiaan, ketimbang jutaan pahlawan kemanusiaan yang bertebaran di Indonesia. Upaya penegakan demokrasi, pemerintahan yang bersih dan berwibawa, advokasi antikorupsi menjadi awal untuk berkehidupan yang sehat dan dinamis. Siapa tahu persoalan Palestina bisa menjadi wacana untuk solidaritas negeri terhadap persoalan bangsanya. Selalu ada hikmah dalam bencana kemanusiaan. Semoga bermanfaat. M. Meddy Danial Sumber: [1] Crichton, M., 2004, State of fear, PT. Gramedia Pustaka Utama [2]http://marteincakep.blogspot.com/2008/03/aliansi-mengerikan-antara-darwinisme.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H