Mohon tunggu...
Meddy Danial
Meddy Danial Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Galaxy Note\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tokoh Agama, Noetic dan ‘Politik Kebohongan’

15 Januari 2011   12:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:33 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12950919631060388015

[caption id="attachment_83280" align="alignleft" width="300" caption="sumber: www.kompas.com"][/caption] SUNGGUH terkejut saya mendengar kata ‘kebohongan’ yang mulai mengemuka di awal minggu kedua di bulan Januari 2011. Jujur saya sedih mendengar pernyataan sikap para tokoh lintas agama pada tanggal 10 Januari 2011. Sedih karena menggunakan kosa kata yang jarang dipakai oleh orang yang mengaku santun dalam segala hal. Ulama atau tokoh agama adalah orang yang sangat hemat dalam menggunakan kalimat yang bernada frontal kalau tidak boleh dibilang kasar. Jika saya bandingkan dengan kosa kata yang kerap digunakan oleh media masa nasional seperti Kompas, jarang sekali menggunakan judul headline dengan kosa kata yang memberikan konotasi negatif.

Setelah cukup gagal mengangkat isu ‘politik pencitraan’oleh tokoh-tokoh politik nasional yang berseberangan dengan pemerintahan SBY, mereka mulai menggunakan jargon-jargon baru dan salah satunya adalah ‘politik kebohongan’. Saya jadi teringat foto besar di halaman muka harian surat kabar Kompas saat kemelut politik Indonesia dengan memajang foto pelangi di atas kota Jakarta. Seakan Kompas mengetahui suasana dan kondisi hati masyarakat Indonesia.

Ingatan saya melayang pada novel terbaru Dan Brown berjudul The Lost Symbol. Di situ diceritakan bahwa ada alat pengukur suasana hati masyarakat yang bisa diidentifikasi berdasarkan kata kunci yang sering muncul dalam kosa kata yang digunakan oleh pengguna internet dan artikel media massa. Alat ini bekerja berdasarkan teori entitas massa yang terdiri dari individu-individu yang tergabung menjadi satu. Masing-masing individu menurut teori entitas massa sesungguhnya mempunyai kekuatan pikiran yang diparameterkan sebagai kekuatan gravitasi. Sesungguhnya setiap individu manusia mempunyai kekuatan ‘penarik’ yang disebut kekuatan gravitasi, betapapun kecilnya. Ketika kekuatan pikiran individu berkumpul dalam jumlah yang sangat besar, maka kekuatan gravitasi yang berkumpul menjadi gabungan yang besar akan menjadi suatu entitas massa yang memiliki parameter gravitasi yang bisa dikuantifikasikan. Dan ilmu ini dalam novel Dan Brown disebut sebaga ilmu noetic, yang diambil dari bahasa Yunani ‘nous’ yang artinya kurang lebih adalah ‘kesadaran intuitif atau esoteris’. Yaitu ilmu untuk memahami pikiran manusia secara massal.

Ilmu noetic sesungguhnya adalah ilmu yang sudah tua dalam arti ilmu yang sudah digunakan oleh para avant garde di awal-awal peradaban. Dan ilmu ini konon mulai mengemuka dan digalakkan sejak serangan teroris sebelas 11 September 2001. Para ilmuwan dan inteligen mulai menggunakan teori noetic untuk ‘membaca’ suasana hati masyarakat Amerika bahkan dunia mengenai dampak teroris. Tidak hanya itu, ilmu noetic ternyata juga bisa diterapkan untuk memprediksi kecenderungan fluktuasi harga saham dunia.

Kembali kepada jargon ‘kebohongan’ yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh agama di kantor pusat PP Muhammadiyah di Jakarta, siapapun pasti terperangah mendengar penyebutan yang memiliki impikasi yang tidak ringan. Ada aspek-aspek esoteris dan estetis yang kurang pada tempatnya ketika melontarkan konsep ‘teori kebohongan’. Justru kaitannya sangat luas dengan pengaruh suasana hati masyarakat Indonesia ketika para tokoh lintas agama memberikan sentakan yang meskipun ditujukan kepada pemerintah, tapi berdampak psikologis-batiniah di benak kepala banyak orang awam. Dan pada saat bersamaan, ada aspek estetis yang bisa memberikan contoh tidak baik dalam ruang publik dimana masyarakat bisa dengan mudah dan seenaknya saling melontarkan kata-kata tidak pantas kepada sesama. Implikasi lebih jauh adalah, masyarakat Indonesia terbiasa untuk memelihara suasana hati yang tidak cerah dan skeptis dalam memandang Indonesia. Semoga saja tidak terjadi.

Di atas segalanya, secara umum, esensi dari tuntutan serta pernyataan sikap para tokoh lintas agama adalah sudah benar dan sudah logis. Semoga saja pemerintah segera tanggap dan menahan kesabaran untuk segera menuntaskan persoalan kebangsaan yang tidak kunjung selesai. Pada akhirnya, para tokoh lintas agama hanyalah berusaha menyuarakan hati rakyat berdasarkan instrumen keagamaan untuk memberikan ultimatum yang cukup menohok untuk membuat pemerintah di tanah air tercinta ini kembali sadar dalam alam kekuasaan yang cenderung absolut dan arogan.

Salam cinta untuk Indonesia

MD

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun