[caption caption="Dokumen Vemale"][/caption]Pacaran di Jogja itu menyenangkan. Banyak tempat asyik, warung kopi dan cafe murah, warteg enak harga bersahabat, dan suasana yang lumayan oke. Enggak bikin tipis dompet lah buat traktir pacar seharian. Kecuali kalau pacaran ekstrim macam ngamar di hotel, sama aja kali ya mahalnya seperti kota-kota lain. Duit bulanan kiriman orang tua atau gaji bisa ludes semalam kalau pacaran di hotel.
Tempat semenyenangkan Jogja ini ternyata selama 2015 enggak memengaruhi kenyamanan dalam berhubungan. Soalnya indeks kekerasan dalam pacaran di Jogja selama 2015 ini naik dibanding tahun sebelumnya. Dari data Rifka Annisa dalam "Pacar Bawel Sebabkan Kekerasan dalam Pacaran di Jogja Meningkat" mencatat kasus kekerasan dalam pacaran di Jogja selama 2015 ada 32 kasus, bertambah 11 kasus dari 2014. Angka itu didapat dari laporan yang masuk ke RA.
Dari laporan dan setelah diselidiki, bentuk kekerasan dalam pacaran ini enggak semuanya berupa kekerasan fisik. Main tabok, tendang, jambak, dan lain-lain hanya sebagian. Sebagian lagi kekerasan psikis. Di kekerasan psikis ini menariknya. Soalnya hal-hal yang sering dilakukan bagi mereka yang lagi menjalin hubungan termasuk dalam kekerasan.
Misalnya saja yang tercatat seperti melarang pacar pergi sama teman-temannya atau kudu minta izin sama pacar kalau ke mana-mana. Yang begituan ternyata termasuk kekerasan psikis karena udah mengebiri hak manusia. Wah, contoh yang begini mungkin setiap yang pacaran pernah mengalaminya dan enggak sadar kalau itu sudah termasuk dalam kekerasan dalam pacaran. Tapi kadang ada positifnya juga sih, misalnya pas Ortu si pacar enggak bisa menghubungi anaknya, terus nanya kita-buat yang enggak Backstreet-kita bisa bilang tuh kalau pacar lagi di mana gitu. Tapi kalau menurut kategori psikologis, itu memang sudah termasuk kekerasan dalam pacaran.
Ada juga nih contoh satu dompet bersama. Uang pribadi adalah milik pacar juga. Duit kiriman orang tua disatukan terus untuk keperluan bersama padahal belum ijab qabul. Contoh lain adalah mengatur keuangan si pacar. Contoh, kita dapat kiriman Rp500 ribu satu bulan dari ortu, terus si pacar yang mengelola. Kita enggak dibolehin beli rokok atau mainan tamagochi karena pacar yang ngatur pengeluaran. Dua contoh itu ternyata juga masuk dalam kategori kekerasan dalam pacaran.
Terakhir, yang ada dalam data RA adalah pacar yang suka morotin pasangannya. Minta belikan pulsa mulu, makan minta ditraktir, minta beliin baju, dan lain-lain juga termasuk kekerasan dalam pacaran kategori psikologi.
Bentuk pacaran zaman sekarang itu memang unik sih kalau dipikir-pikir. Pacaran didefinisikan sebagai dummy keluarga mini yang sudah mulai memainkan peran-peran anggotanya. Lalu, ditambah lagi status jomblo yang dipandang mengerikan di media sosial bikin rasa takut kehilangan pacar menjadi-jadi lalu mulai protektif sampai possesif.
Seharusnya sih pacaran itu santai aja. Enggak usah memandangnya sebagai dummy keluarga mini atau disertai rasa takut kehilangan yang berlebihan. Percayakan saja perasaan atau feelling ke pacar, kalau dikhianati ambil lagi di waktu yang tepat. Kalau kata Arwana sama Hendri Lamiri-nya sih patah tumbuh hilang berganti. Mumpung di Jogja lho..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H