Mohon tunggu...
Alfa Dolfin
Alfa Dolfin Mohon Tunggu... -

karyawan swasta di salah satu bank swasta. Menggemari kegiatan traveling/wisata, foto, diving

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Watu Kendil, Mujizat Karya Sang Pencipta

22 Agustus 2012   15:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:27 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13456477201848177190

Dalam bahasa Jawa Watu berarti Batu, Kendil adalah periuk, sejenis alat masak tradisional terbuat dari batu. Watu Kendil terletakdi desa kecil bernama Candirejo kabupaten Magelang. Sebelum beangkat di traveling singkat ku di Magelang sudah ku cantumkan dalam list "must visit". Padahal aku sendiri belum pernah. Pertama kali tahu Watu Kendil bukan dari itinerary trip yang pernah di adakan di Magelang. Sejauh ku perhatikan jarang atau hampir tidak ada tour ke sini. Umumnya destinasi utama ke Borobudur jika ke Magelang. Coba search di google tidak banyak testimoni atau catper mengenai tempat ini. Aku juga tidak pernah mendapat rekomend ke sini. Beberapa rekan penggila traveling sempat ku tanyakan juga mengatakan belum pernah dengar. Menarik kah...? kalau melihat minimnya informasi aku yakin tidak. Kalau belum apa-apa sudah yakin tidak menarik, pertanyaannya kog mau kesana? Malah mencantumkan dalam list "must visit"? Ya itu tidak lepas dari andil buku  berjudul"BOROBUDUR SURROUNDINGS", yang salah satu pengarang adalah GAGAS ULUNG. Keterangannya sedikit. Namun foto yang di tampilkan membuat ku penasaran yang menurutku unik. Mungkin jika aku sharing akan mendapat komentar "ah ngapain kesana. Hanya melihat batu doang. Gitu aja kog bikin penasaran". Betul. Sepintas lalu kalau sekedar batu doang ngga ada yang menarik. Namun bagi ku tetap sesuatu yang bikin penasaran. Aku harus kesana...!!! Diskusi dengan rekan ku yang juga ikut ke Magelang, beruntung ia "easy going". "Terserah Adolf aja, saya ikut aja.... ", katanya yang membuat ku lega. Padahal aku sudah khawatir kalau rekan ku ini tidak tertarik. Sempat Bingung

Sempat ku tanyakan kepada karyawan hotel yang juga sering menjadi guide tamu-tamunya, ia mengatakan belum pernah kesana. Meski ku perlihatkan foto-foto di buku Gagas Ulung wah tetap saja tidak bisa menunjukkan dimana tempatnya. Kalau desanya ia tahu. Kepada petugas Candi Borobudur yang ku ajak ngobrol dan sempat ku tanyakan, jawabannya sama. Woouw rupanya ngga populer nich. Padahal keterangan dari buku hanya 5 kilo jaraknya dari Candi Borobudur. Hanya Pak Walidi, warga Punthuk Setumbu yang ku kenal di lokasi hunting sunrise, mengatakan tahu dan pernah kesana. Tapi itu duluuuu...Entah dulunya beberapa tahun lalu ngga sempat ku tanyakan. Kalau mau kesana bisa di antar. Mungkin nanti harus tanya sama penduduk. Oke kalau begitu kita sama-sama kesana. Kami segera membuat urutan rencana perjalanan. Karena satu rute perjalanan setelah menikmati sunrise di Punthuk Setumbu, kami ke Puncak Suroloyo dulu yang lebih jauh. Kembali dari Puncak Suroloyo baru ke Watu Kendil. Rekan ku setuju.... Rahmat, driver kami, siap antar. Belakangan rencana berubah sedikit. Karena masih satu rute dari Puncak Suroloyo mampir di Gua Maria Sendangsono. Bukan untuk ziarah atau ibadah  Karena popularitas Sendangsono yang kerap di kunjungi umat Katholik membuat kami penasaran kepingin tahu seperti apa. Dari Sendangsono baru ke Watu Kendil. Pak Walidi menjadi guide kami. Ku maklumi kalau beliau sudah agak lupa rute jalannya. Hanya tahu ancer-ancer lokasinya. Tetapi ketimbang tidak tahu sama sekali ya masih mendinglah. Beberapa kali ku bacakan keterangan singkat dari buku Gagas Ulung. "kurang lebih 20 menit naik motor dari kantor Kepala Desa Candirejo". Rute lain yang tidak perlu jalan muter jika naik motor adalah motong jalan kaki. Jaraknya ngga jauh hanya 2 kilo saja. Atau bisa juga naik andong sampai di tapal batas jalan lanjut jalan kaki. Andong tidak mungkin mampu sampai di lokasi. Informasi yang kami terima dengan jalan kaki sekali jalan butuh waktu kurang lebih sejam. Bolak balik berarti sekitar 2 jam. Itu jalan normal lho. Kalau nyantai lebih lama lagi. Owww no...no....rasanya bukan pilihan tepat jika harus jalan kaki. Selesai dari Sendangsono jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Kami sudah cukup letih karena subuh-subuh sudah meluncur ke Punthuk Setumbu, Puncak Suroloyo, Sendangsono. Sudah waktunya perut di isi. Apalagi sarapan pagi hanya ala kadarnya. Rekan ku sudah kasih warning kalau ada warung makan mampir dulu ya. Sayangnya selama perjalanan kami tidak menjumpai warung makan yang buka. Mungkin karena masih bulan puasa tidak ada warung yang buka. Menyadari kondisi kami, Pak Walidi memutuskan mencari jalan yang lebih ringkas yang bisa di lalui mobil. Beberapa kali kami harus bertanya ke warga setempat rute jalan yang bisa di lalui mobil. Untungnya ada warga yang tahu. Kami percaya dan mencoba mengikuti rute yang di-info-kan. Menyusuri jalan jalan berbatu, tidak beraspal, yang hanya dilalui satu mobil saja. Sepi...tidak berjumpa kendaraan lain. Ya bagus lah. Kalau berpapasan dengan mobil lain repot juga. Salah satu ada yang ngalah. Mengandalkan Feeling Kondisi jalan yang kurang bagus. Kami lewati batu-batu kerikil besar dan kecil. Bebatuan yang kalau di lindas bisa bikin tergelincir.  Beberapa kali aku meyakinkan kalau mobil aman. Teringat seminggu lalu, bersama Rahmat, driver kami, baru saja melewati jalan seperti ini ke Pantai Klayar di Pacitan. "lebih parah dari Klayar ya "mat...", kata ku ke Rahmat. "iya pak...", sahutnya. Tapi masih aman khan mobil loe...? tanya ku setengah khawatir. Kalau bawa sedan saya nyerah, kata Rahmat. Beruntung saat musim kemarau. Ngga terbayang kalau datang pas hujan. Pasti becek dan banyak kubangan. Sepertinya tidak mungkin memaksakan mobil sejenis avanza melewati jalan ini saat hujan. Tidak jelas kapan kami mengakhiri jalan yang bikin gunjang ganjing seperti ini. Tiba di suatu tempat yang tidak ada petunjuknya, pak Walidi meng-isyarat-kan untuk berhenti. Feelingnya mengatakan Watu Kending tidak jauh lagi. Ada di sekitar ini, katanya. Aku sudah ngga konsen lagi. Terserah Pak Wal dech. Pikir ku, ya kalau feelingnya benar. Kalau keliru gimana...?ah paling cari jalan lagi. Segera ia menghilang menerobos hutan tidak terlalu lebat namun pepohonan yang sudah banyak kering karena musim kemarau. Tujuannya mencari jalan setapak. Ia betul-betul yakin lokasinya di sekitar ini. Ku lihat di GPS beda dengan lokasi Borobudur yang sudah ada lalu tinggal mengikuti treknya. Tapi Watu kendil ini sama sekali belum ada. Trek jalan kesini pun juga belum ada. Meski mapping di GPS sudah ku update. Sambil menunggu Pak Wal cari jalan, kami mencoba melihat di sekitar kami. Ku perhatikan rekan ku, terekspresi wajah lapar. Ya apa boleh buat kudu nahan laper. Melihat di sekeliling kami ternyata kami masih berada di puncak perbukitan Menoreh. Tidak jauh dari kami berdiri terdapat hamparan sangat luas. Dari tempat ini bisa melihat Candi Borobudur dan desa-desa sekitarnya. Sangat indah. Tidak ku sia-sia-kan untuk foto pemandangan indah ini. Akhirnya ketemu juga Tidak lama kemudian Pak Wal muncul membawa kabar baik. Ketemu pak...Yuk kita kesana. Batunya disana, di balik batu besar ini, katanya sambil menunjukkan arahnya. Aku masih bingung yang ditunjukin. Keberadaannya tertutup dengan oleh batu lain yang cukup besar. Oke lah, kami mengikuti saja. Kami melewati jalan setapak yang ternyata sudah tertata rapi. Hanya kurang dibersihkan aja. Berarti sudah sering di datangi pengunjung. Mungkin karena bulan puasa meski hari Minggu sepi pengunjung. Jalan pelan karena sudah lumayan capek melewati jalan berliuk yang dibuat ber-tangga-tangga. Ada juga gazebo atau semacam gardu pandang menghadap hamparan landscape di bawahnya.

Lagi-lagi kalau cuaca cerah, tidak berkabut, bisa terlihat pesona Gunung Merapi dan Merbabu. "wah kalau pacaran disini asyik banget ya. Saya kepingin bawa pacar saya kesini", seloroh Rahmat. Uuuuhhhh...yang masih muda bikin sirik dot com, sahut ku. Memang cewek loe bakalan tahan di ajak mojok kesini, tanyak ku ke Rahmat setengah tidak yakin. Maksudnya melihat perjalanan yang tidak mudah apa iya mau bela-bela-in kesini. Atau sekalian uji kesetiaan...?hahahaha.... Akhirnya kami berjumpa batu besar. "itu pak batunya...", kata Pak Wal. Masa sich....? tanya ku kurang yakin. Buru-buru aku membuka buku Gagas Ulung, dan benar persis seperti foto di buku. Oooooo akhirnya ketemu juga setelah melewati jalan berliku-liku. Padahal tadi sempat tidak yakin akan ketemu. Berbarengan aku tiba berjumpa dengan group kecil sekitar 5 orang turis bule. Informasinya turis bule itu dari Perancis yang diantar 2 orang guide. Sudah jalan kaki sekitar 4 jam melewati jalan setapak. Ck...ck... Dengan badan penuh keringat aku perhatikan tidak tampak keletihan. Guidenya sempat bilang sering kog bule Perancis trekking seperti ini. Satu lagi yang suka trekking bule Belanda. Sebaliknya turis Jepang, Amerika, malah jarang. Ooo...begitu. Kalau turis lokal gimana...? Sebelum di jawab kami sudah menjawab, tipikalnya seperti kami ini ya. Sering susah di ajak ber-capek ria....Kalau ada jalan yang lebih ringkas dan cepat ya kenapa ngga ngga di jalani....hahaha..... Batu Mujizat Melihat langsung berada di lokasi ternyata jauh lebih menarik ketimbang lihat di foto buku Gagas Ulung. Penasaran ku terjawab. Sangat unik. Sebuah batu sebesar rumah nyaris berbentuk segi empat berdiri kokoh di atas batu lain yang menjadi fondasinya. Perbandingan orang dewasa yang berdiri di depan batu, tinggi batu ini 3 kali tinggi orang dewasa. Berarti sekitar 3 meter.  Di sekitarnya ada juga batu besar lain yang diberi nama : Watu Tambak, Watu Tumpeng, Watu Danang. Namun Watu Kendilah yang menjadi primadona. Tidak ada pondasi yang menahan berat dan tinggi batu ini. Malah massa bagian bawah lebih kecil di banding bagian atasnya. Suatu yang luar biasa batu bagian bawah mampu menahan/menyangga beban ber-ton-ton massa di atasnya. Melihat dari dekat batu besar hanya menempel tanpa perekat dengan batu yang menjadi pondasinya. inilahsalah satu yang bikin kami terkagum-kagum. Kog bisa ya seperti ini. Yang sangat unik bukan hanya di keberadaan dan fondasinya. Lebih dari itu batu ini terletak di PINGGIR JURANG. Seakan dengan sekali dorong langsung terguling ke bawah. Kalau dari tempat kami berdiri tidak kelihatan bibir jurang. Di spot lain saat perjalanan pulang kami menuju bagian bawah jurang. Dari sini terlihat jelas keberadaannya yang persis di tepi jurang. Herannya sama sekali tidak jatuh. Meski pernah terjadi gempa bumi beberapa kali tetap saja batu ini berdiri kokoh. heran...? sudah pasti. May be kalau aku orang Geologi pasti akan tertarik meneliti kenapa bisa menempel rapat. Padahal sepintas lalu dengan hentakan buldozer bisa terguling. Tetapi kalau kekuatan gempa bumi tidak mampu menggulingkan apalagi kemampuan manusia. Bisa di pastikan bukan hasil karya tangan manusia. Usianya pasti bukan puluhan tahun melainkan sudah ratusan tahun. Berarti inilah aku berjumpa karya SANG PENCIPTA. Luar biasa....!!! Ngga lebay dong kalau aku kasih julukan lain : Batu Mujizat. Merunut cerita berdirinya Candi Borobodur ada keterkaitannya. Batu-batu Candi Borobudur bisa menempel kokoh tanpa perekat. Demikian juga Watu Kendil. Keterkaitan lain Watu Kendil dulunya sudah menjadi tempat pertapaan selain Borobudur. Demikian juga dengan Puncak Suroloyo yang baru saja kami datangi. Keberadaannya di atas bukit dianggap tempat cocok bertapa, meditasi, mendekatkan diri kepada alam. Ada juga cerita mistis lain. Batu besar ini di jaga seekor ular raksasa. Ular raksasa itu di percaya sebagai penjelmaan salah satu petapa sakti yang sudah tuntas menyelesaikan pertapaan. Di percaya kalau saja batu itu bergeser atau terguling akan keluar air besar yang dapat menutupi lembah luas di bawahnya. Oooowwww....menarik juga. Tinggal kita memilih percaya atau tidak. Yang bersifat mistis merupakan kepercayaan warga setempat. Pun memilih tidak percaya sangat tidak etis jika meremehkan. Terlepas percaya atau tidak, kembali ke ya itu tadi. Terbatas kemampuan ku menelaah secara ilmiah, di balik keunikan Watu kendil adalah salah satu dari sekian banyak MAHA KARYA SANG PENCIPTA. Beruntung aku bisa melihat mujizat nyata dariNYA. Setelah puas dan takjub baru benar-benar terasa perut keroncongan. Sebelum kembali ke Magelang masih ada satu pe-er lagi, yaitu gotong royong mengganti ban mobil yang mendadak kempes. Rupanya batu tajam selama perjalanan kesini mampu membuat gembos salah satu ban mobil kami...hahahaha..... Untung ban cadangan selalu siap. Akhir kata menutup posting ini, jika ada di milis ini terima kasih pertama-tama tuk tante Gagas Ulung, salah satu penulis buku "Borobudur Surroundings". Reportase singkat dengan foto-fotonya sudah menginspirasi membuat ku penasaran. BTW, aku sudah tahu nama asli. Namun tuk penghormatan dan sesuai keinginannya  di forum umum tetap ku panggil nama samaran di atas. Kedua, guide ku Pak Walidi yang sudah mencari jalan termudah menemukan tempat ini. Tidak lupa kepada rekan traveling ku yang rela menuruti rasa penasaran ku. Semoga ikut puas setelah menyaksikan keunikan Watu Kendil. Terakhir kepada rekan-rekan yang sudah berkenan membaca oret-oret-an ini. Semoga tulisan menambah informasi yang sukur-sukur bisa menimbulkan ketertarikan juga. R Adolf Izaak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun