Kalau bicara negera tetangga satu rumpun ini, kebetulan waktu SMA pernah beberapa kali di bayari orang tua liburan kesana. Mengikuti berita beberapa kali negeri jiran mengklaim beberapa karya seni anak bangsa sebagai miliknya. rasanya aku ngga terima juga. Entah kenapa rasa nasionalis sebagai warga negeri ini terusik. Padahal aku sudah apatis sama penguasa negeri ini. Tapi rasa emosional ini hanya urusan dengan negeri ini yang berlimpah keindahan alam dan keragaman seni, bukan dengan penguasa atau pemerintah berkuasa. Terlepas sikap penguasa negeri ini yang berasa begitulah terhadap penghargaan dan seni budaya nusantara, ngga rela negeri jiran itu mengutak-atik seni dan budaya negeri ini. Muncul rasa ngga suka dan antipati. Namun di Labuan Bajo surprise aku malah dianggap sebagai warga Malay.
Berawal dari persiapan liburan di Taman Nasional Komodo (TNK). Tempat start dari Labuan Bajo. Di plan atau itinerary yang aku siapkan setelah keliling TNK, sebelum kembali ke Jakarta, mengharuskan menginap semalam di Labuan Bajo. Wah ternyata banyak sekali penginapan disana. Mulai dari yang home stay, medium, dan premium. Setelah berunding dengan rekan yang join bareng kesana kami memilih yang medium saja. Sebelum berangkat sudah menghubungi pihak hotel tersebut melalui guide kami. Sudah di sepakati harganya 350 ribu. Tidak perlu pake dp. Yang menjadi jaminan adalah guide kami.
Senja, matahari sudah menuju peraduannya, kapal merapat di salah satu tempat parkir kapal dermaga Labuan Bajo. Berarti kami sudah menyelesaikan keliling sehari semalam TNK. Waktunya tuk istirahat. Saatnya kami menuju hotel yang sudah kami booking. Kebetulan guide kami memilih hotel yang tidak jauh dari dermaga. Dari kapal bersandar cukup menunjukan itu hotelnya. Dari dermaga kelihatan. Meski harus jeli karena berjejer dengan lampu hotel-hotel lain. Cukup jalan kaki saja. Karena guide kami yang merangkap awak kapal masih harus berbenah kapal, kami merelakan tidak perlu mengantar kami. Kecuali kalau tempatnya jauh. Sudah fix booking atas nama kami.
Benar saja saat kami check in nama ku sudah tertera sebagai tamu menginap. Petugas hotel mengantar kami ke kamar. Hotelnya berada di perbukitan. Untuk kamar hotel harus naik tangga yang cukup bikin ngos-ngos-an. Itu karena tenaga kami sudah terkuras. Coba kalau masih segar ngga perlu ngos-ngos-an. Kami langsung mem-fix-kan. Ngga perlu nge-cek lagi seperti apa kamarnya lazimnya tamu yang akan menginap. Percaya aja dengan pilihan guide kami. Yang penting bersih, AC, kamar mandi dalam, standar medium. Benar saja, begitu kami melihat kamarnya, langsung kami suka. Pikiran sudah kepingin cepat mandi, cari makan, dan tidur.
Siap-Siap Emosi
Tapi tunggu dulu. Masih ada yang harus di beresin. Nah ini lah terjadi kekagetan ku. Saat aku menyodorkan uang 350 ribu rupiah si petugas hotel menolak. Dia bilang harganya 650 ribu. What...!!!??? kata ku. Tiba-tiba darah langsung mendesir ke ubun-ubun. Maklum kalau cepat emosi karena lagi capek. Wah alamat di kerjain nich karena ngga sesuai kesepakatan. Dengan nada agak tinggi aku bilang, ”dari Pak Idrus (guide kami) saya dapat info harganya 350 ribu dan sudah deal. Kenapa berubah hampir dua kali lipatnya. Ngga bisa begini....”. Rekan ku sudah kasih warning supaya menahan diri, jangan segera emosi. Padahal saat itu juga aku sudah siap ”tempur” aja dengan perdebatan kalau terjadi saling ngotot-ngotot-an. Kalau perlu Pak Idrus yang masih di kapal aku panggil dan omelin nich.
Untung plan mendadak tuk ”bertempur” tidak perlu terjadi. Si petugas hotel dengan logat khas setempat mengatakan, ”harga segitu untuk turis asing pak. Kalau untuk warga lokal memang 350 ribu”. Ha...? jadi kami di anggap warga asing. Memangnya kami bule. Rambut kami hitam, kulit coklat, kataku. Sahut sang petugas, ”Iya, tapi bapak orang Malaysia khan...?”. Lagi-lagi aku di buat kaget tapi berujung dengan tawa. Ha...!!Kami dari Malaysia, sahut ku spontan kepada si petugas. Sambil menoleh ke rekan ku jadi geli sendiri. Busyet dech gw lagi sebel-sebelnya sama Malaysia, eeeee....malah dibilang dari Malaysia.
Tanpa berpikir panjang segera kami mengerti kenapa kami dianggap sebagai warga Malaysia. Ooooo...jadi kalau tadi ngobrol pake bahasa Indonesia kamu mengira bahasa Malay ya. Sehingga di charga harga asing..?, tanya ku ke petugas. ”iya pak...lagipula pak Idrus biasa bawa tamu bule dan Malaysia”, jawab si petuga hotel.
Meledak tawa ku juga rekan ku. Ngga jadi dech emosi...malah terasa lucu. Si petugas ikutan senyum. Walau senyum malu. Kasihan juga sampai ngga bisa bedain mana bahasa Indonesia dan bahasa Melay. Aku bilang, pak kami ini warga sini. Maksudnya dari Indonesia. Kami dari Jakarta. Apa perlu saya perlihatkan KTP saya...?KTP saya sama seperti bapak, kata ku sambil hendak mengeluarkan KTP dari dompet. Ooo...tidak usah, tidak usah, pak, kata si petugas hotel. Jadi kami tetap bayar 350 ribu ya. ”iya...” sahut si petugas. Segera uang kas 350 ribu pindah tangan. Berarti administrasi pembayaran selesai.
Sebelum si petugas hotel meninggalkan kamar kami, aku jadi penasaran. Menanyakan ke petugas kog bisa kami dianggap sebagai orang Malaysia. Memang sich dari kulit coklatnya mendukung anggapan itu. Tapi masa iya ngga bisa bedakan bahasa Indonesia dengan bahasa Malay. Si petugas bilang kalau di hotelnya sangat jarang tamu dari Jakarta yang nota bene berbahasa Indonesia. Banyaknya bule baik dari Eropa, Amerika dan Aussie. Dari asia selain jepang dan Taiwan ya dari Malaysia. Obrolan kami dianggap sebagai bahasa Malay. Ooo begitu. Ya maklum dech kalau memang begitu kondisinya.
Bahasa Indonesia
Ini pengalaman unik dan baru pertama kali ngalami selama traveling. Nyaris bikin emosi namun berakhir tawa. Saat jalan di sekitar hotel untuk cari makan, memang terlihat cukup banyak turis asing ketimbang lokal. Dari jejeran warung makan berjumpa warung menjual ayam goreng. Tiba-tiba muncul selera. Sebelum makan aku tanya dulu berapa harga. Di sebutin harganya. Ooo oke harganya wajar, standar di Jakarta. Spontan aku timpali itu harga untuk lokal khan? Kami dari Indo lho, dari Jakarta, kataku meyakinkan pemilik warung. Bilang begitu karena ngga ingin terjadi lagi kejadian di hotel.
Sambil makan kami ngobrol sama pemilik warung. Rupanya sudah 10 tahun lebih buka warung Labuan Bajo. Asal dari Jawa Timur. Kami ceritakan kejadian di hotel tadi. Gantian beliau yang tertawa. Dari beliau aku dapat tambahan informasi kalau di Labuan Bajo umumnya hanya di kenal 2 jenis warga. Pertama warga lokal atau warga setempat, kedua warga asing. Warga Indo seperti kami ini masih termasuk jarang dan bisa di hitung pake jari. Otomatis, lanjutnya, hanya 2 jenis bahasa yang di kenal. Pertama bahasa asing (termasuk Inggris, perancis dan Belanda) dan bahasa setempat. Jadi...wajar lah bahasa Indonesia yang mirip-mirip bahasa melayu di anggap adalah bahasa Malay.
Hahaha...kami pun tertawa sambil merasa miris. Ya semoga disini semakin banyak yang terbiasa dengan bahasa Indonesia ya. Supaya ngga di anggap orang Malay kayak kami tadi. Tentunya berharap semakin tahun semakin banyak warga negeri ini ke TNK, yang berarti ke Labuan Bajo. Masa orang sini lebih kenal bule sich ketimbang sesama warga Indo.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H