Tampaknya, wisuda merupakan puncak keberhasilan dalam jenjang pendidikan perguruan tinggi dengan strata tertentu, apakah itu tingkat sarjana, megister ataupun doktor.Seremonial wisuda seakan telah menjadi tradisi sebagai bentuk perayaan atas keberhasilan ini. Hampir semua universitas di dunia menyelenggarakannya. Dewasa ini tak hanya perguruan tinggi saja, tingkatan pendidikan lebih rendah telah pula mengadopsi tradisi wisuda, bahkan Taman Kanak-Kanak sekalipun. Meski dengan rangkaian acara yang disesuaikan dengan pemahaman mereka.
Akan tetapi, sebagai muslim yang meyakini Allah sebagai Ilah dan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul-Nya, kita mengamini bahwa Islam merupakan ajaran yang sempurna dan menyeluruh. Segala hal telah ada ketentuannya dalam agama ini, yang jika diamalkan dengan ikhlas dan teguh akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera. Dalam tradisi seremonial wisuda yang biasa dilakukan itu, ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Di antaranya yang paling nyata adalah, pertama, toga—pakaian seragam—yang digunakan pada seremonial wisuda baik oleh para wisudawan/wati maupun para pejabat yang terlibat, seperti rektor, senat universitas, guru besar dan lainnya. Pakaian ini juga mirip dengan apa yang dikenakan oleh para hakim yang bekerja di pengadilan dalam suatu persidangan ataupun oleh para hakim pada Mahkamah Konstitusi, walau tanpa tambahan topi.
Jika coba ditelusuri asal muasal dan sejarah pakaian ini maka akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa pakaian seperti ini berasal dari sejarah peradaban Barat—dalam hal ini Romawi—dan kemudian menjadi tradisi para sarjana Barat—Kristen. Dalam Livius, Titus (ca. 1st century BC) “Book III: The Decemvirate” Bab 26 disebutkan bahwa, “The toga was based on a dress robe used by native people, the Etruscans who lived in Italy since 1200 B.C, although it usually is linked with the Romans. The toga was the dress clothing of the Romans: a thick woolen cloak worn over a loincloth or apron. It is believed to have been established around the time of Numa Pompilius, the second King of Rome. It was taken off indoors, or when hard at work in the fields, but it was considered the only decent attire out-of-doors. This is evident from the story of Cincinnatus: he was ploughing in his field when the messengers of the Senate came to tell him that he had been made dictator, and on seeing them he sent his wife to fetch his toga from the house so that they could be received appropriately.”
Penting diingat dalam sejarahnya para sarjana Barat berasal dari kalangan gereja. Karena memang dalam tradisi Kristen, yang mempunyai akses pada ilmu pengetahuan adalah kalangan agamawan. Jika dicermati, sampai sekarang kalangan gereja masih mempertahankan bentuk pakaian seperti ini. Begitu pula dengan tongkat khusus yang digunakan sebagai aksesoris selama resepsi wisuda oleh beberapa kalangan elite perguruan tinggi. Ini benar-benar merupakan tradisi gereja jika dilihat dari bentuk tongkat itu.
Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, hadis nomor 7319, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang bertanya, ‘Seperti orang-orang Persia dan Romawi?’ Beliau bersabda,”Di antara manusia, siapa lagi kecuali mereka?”
Kedua, berdirinya para hadirin pada saat-saat tertentu, seperti di waktu rektor memasuki ruangan dan berdiri manakala menyanyikan lagu kebangsaan. Lagi-lagi ini bukanlah tradisi Islam, tapi diambil dari tradisi orang-orang Persia (Majusi) dan Romawi (Kristen).
Seperti diisyaratkan dalam satu hadis riwayat Muslim, hadis nomor 413, dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata, “Rasulullah tengah menderita sakit, maka kami mengerjakan salat di belakang beliau sementara beliau mengerjakannya sambil duduk. Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau kepada para makmum. Beliau menoleh ke arah kami dan melihat kami yang sedang berdiri. Maka, beliau mengisyaratkan agar kami duduk, lalu kami pun duduk. Maka kami mengerjakan salat bersama beliau sambil duduk. Setelah mengucapkan salam, beliau bersabda: ‘Hampir saja tadi kalian melakukan perbuatan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri atas raja-raja mereka.
Dari hadis di atas sangat jelas bahwa terlarang untuk berdiri menghormati para pembesar, ataupun orang-orang yang diagungkan. Dan ini juga merupakan perbuatan para penguasa yang sombong dan para pejabat yang angkuh.
Juga penting untuk disimak apa yang ditulis Bukhari dalam al-Adaab al-Mufradhadis nomor 977 dan al-Albani mengatakan, “Shahiih” dari Mu’awiyah, Nabi bersabda: “Sesiapa yang menyukai hamba-hamba Allah berdiri menghormatinya maka hendaklah ia menyiapkan rumahnya dalam neraka”.
Atau menurut lafaz Abu Daud dalam Sunan-nya hadis nomor 5229 dan al-Albaniy mengatakan, “Shahiih” masih dari Mu’awiyah, Nabi bersabda: “Sesiapa yang menyukai orang-orang menghormatinya sambil berdiri maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
Ketiga, adanya nyanyian-nyanyian yang dibawakan dengan hymne (senandung), seperti dalam nyanyian hymne universitas setempat maupun hymne universitas sedunia. Padahal hymne itu sendiri dalam sejarah Yunani kuno selalu didentikkan dengan kegiatan sakral kepada para dewa dan juga diadopsi oleh gereja yang menjadikan nyanyian dengan senandung ini sebagai bagian dari peribadatan mereka. Lebih-lebih lagi tatkala para petinggi universitas memasuki dan meninggalkan ruangan diiringi oleh nyanyian tertentu—Gaudeamus Igitur. Tidak diragukan lagi bahwa, umat Islam dilarang untuk meniru-niru kebiasaan agama lain, apalagi hal itu merupakan bentuk peribadatan mereka.