Bermula dari sebatas keisengan meng-unggah video pendek ke media youtube, yang diberi judul ‘POLISI GORONTALO MENGGILA’ yang berdurasi 6 menit 30 detik, melambungkan nama Briptu Norman pada seantero negeri, Norman yang kala itu hanya bermaksud menghibur rekannya yand dalam kondisi depresi karena masalah keluarganya. Tidak lama video lip-sync lagu India Chayya..chayya…chayya…ini membuatnya hampir mendapatkan sangsi militer dari Mabes Gorontalo beberapa waktu lalu, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menghambat proses kenaikan pangkatnya atau lebih sadis lagi di nonaktifkan. Ah, sadis sekali..!!
Video unggahan ini akhirnya ramai menjadi bahan gunjingan, terutama di media-media jejaring sosial, baik di facebook maupun twitter, di blog maupun di beberapa media massa lainnya baik cetak maupun elektronik, yang tentu saja menyayangkan jika sampai karena video yang di unduh di you tube tersebut Briptu Norman harus dikenakan sangsi berat. Sejak berita tersebut di tayangkan di beberapa media kita, muncul banyak sekali respon apresiasi masyarakat luas akan video tersebut, bahkan tanpa diorganisir respon di jejaring sosial begitu luasnya menyampaikan apresiasi masyarakat luas dan berharap jangan karena kasus ini Briptu Norman dikenakan sangsi berat, saya masih ingat salah satu kawan FB saya menulis di wallnya ‘jika sampai hanya karena masalah Briptu Norman joget di you tube mendapat sangsi, polda bener-bener ngga punya rasa humoris’..dan masih banyak lagi beberapa status dan tweet yang intinya menyatakan serupa.
Aksi anggota Brimob Polda Gorontalo ini terus menuai apresiasi positif dari masyarakat luas, sehingga akhirnya kasus ini dibawa ke Mabes Polri Jakarta yang kemudian di putuskan bahwa Briptu Norman tidak mendapatkan sangsi kedinasan disamping terbuka kemungkinan untuk terus mengembangkan bakatnya. Dari Jakarta keesokannya Norman diundang untuk manggung di Bali yang sambut oleh ribuan penonton yang sangat antusias dengan kedatangan Norman dalam pentas Opera Van Java atau OVJ yang pada sabtu 9 April lalu yang di rilis oleh beberapa media kita. Disamping membludaknya undangan untuk menyalurkan bakat kreatifnya, bahkan tawaran rekaman mulai mengalir, Norman juga mendapatkan kesempatan beasiswa untuk menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Bung Karno.
Kisah Briptu Norman adalah untuk kesekian kalinya dimana advokasi jejaring sosial dapat mempengaruhi keputusan suatu lembaga, sebelumnya tentu kita masih ingat kasus Ibu Prita Mulyasari vs RS Omni Internasional, yang juga mendapatkan dukungan dari ribuan bahkan ratusan ribu user jejaring sosial kita, makin mempertegas opini publik kita sehingga tidak dapat begitu saja di anggap enteng oleh lembaga manapun. Yang kedua, hal ini sebagai bukti kongkrit bahwa arus informasi sudah dapat dengan mudahnya dan cepatnya terakses oleh masyarakat luas, dan menjadikan masyarakat kita semakin cerdas untuk membaca arus informasi yang tersirat dari peristiwa tersebut, sehingga dukungan publik ini mengalir begitu saja secara swadaya  tanpa terorganisir atau terencanakan.
Tentu saja ini merupakan perkembangan positif menuju proses masyarakat madani dan juga bukti kongrit bahwa dalam masyarakat kita pada umumnya, telah terbentuk kultur politik partisipan secara alami dan hal ini merupakan pondasi utama dalam sistem grassroot demokrasi. Kultur politik itu sendiri terbentuk melewati beberapa tingkatan atau level antara lain, tingkat Parochial; dimana publik masih sangat tidak perduli dengan kebijakan-kebijakan yang di ambil atau diterapkan oleh pemerintah. Pada level kedua; Subjects; dimana publik secara pasif mengikuti aturan yang di bentuk oleh pemerintah tetapi tidak aktif dalam politik atau bahkan tidak mengikutsertakan diri dalam politik. Yang terakhir, Participant; dimana publik sebagai partisipan dan juga sebagai aktor penentu pada sebuah kebijakan pemerintah maupun proses politik. Tentu saja peran media baik itu cetak maupuan elektronik juga sebagai pilar penting yang menjembatani antara opini publik dan pemerintah sehingga suara publik dapat dengan mudahnya terdengar sampai ke permukaan.
Jika kita mengenal tiga pilar sistem check and balance yang di dominasi oleh tiga lembaga tinggi negara yaitu, eksekutif, yudikatif dan legislative, saat ini opini publik yang di suarakan lewat media jejaring sosial telah dengan mudahnya melewati fungsi legislative yang ada, yang semestinya disitulah akumulasi suara rakyat, sehingga perpaduan antara media mass dan jejaring sosial ini sebagai pillar ke empat yang sama kuatnya dengan lembaga eksekutif, yudikatif maupun legislative. Mengingatkan pada sebuah wawancara Wael Ghonim yang di tulis di CNN beberapa waktu lalu sehari setelah Revousi Mesir, yang mengatakan ‘any country wants to bring about change or revolution just give them internet’. Semoga dengan mudahnya sarana informasi ini makin menjadikan masyarakat kita semakin sadar informasi dan sadar tekhnologi informasi yang sehat, sehingga kejanggalan apapun dalam sistem pemerintahan kita dapat segera di tanggapi dan terselesaikan secara berkesinambungan dan opini publik sebagai pengawal terlaksananya kebijakan apapun yang di ambil oleh pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H