Mohon tunggu...
Kamilia Hamidah
Kamilia Hamidah Mohon Tunggu... lainnya -

Freelance writer, peneliti dan pemerhati kajian hubungan internasional

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Catatan Lebaran di Uzbekistan

15 September 2010   16:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:13 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran kali ini adalah pertama kali lebaran kami di Uzbekistan, hari Jum’at lalu kami sama-sama merayakan Idul Fitri di negeri ini. Sholat Id untuk warga negara Indonesia yang ada di Uzbek dilaksanakan di lapangan Wisma Duta Besar Republik Indonesia di Uzbekistan.

Seperti sholat Id sebelumnya, kali ini juga turut hadir beberapa Dubes dari negara-negara Islam seperti dari Jordan dan terutama dubes dari negara-negara Turkmenistan, seperti Kazakistan dan sekitarnya. Meskipun jawaban mereka agak enggan untuk hadir, dengan dalih, ‘saya ini muslim rusia, yang tidak pernah sholat dan tidak pernah puasa’, tapi meskipun demikian bapak duta besar kita meyakinkan beliau agar untuk tetap bisa hadir sekedar sholat dan makan-makan ala Indonesia.

Islam Rusia, sebentuk pengakuan identitas yang membedakan komunitas Islam di kawasan bekas Soviet ini dengan Islam di kebanyakan belahan dunia lainnya, yang tentu saya masing-masing dengan perbedaannya. Pagi itu, lepas sholat shubuh kami meluncur dari kawasan Yahyo Gulamov street menuju Wisma Duta Besar untuk melaksanakan sholat Id, melintasi kawasan Kokcha ada sebuah masjid besar, (Masjid ini dulu tempat akad nikahnya Guruh Sukarnoputra) dalam keremangan shubuh kami melihat beberapa orang yang mulai berduyun-duyun menuju masjid, ada geliat kebiasaan yang sepertinya sangat familiar di hadapan saya. Karena jalan utama telah ditutup akhirnya lalu lintas di arahkan melintasi jalur tembusan, atau jalan tikus. Melintasi jalur ini kami melewati kampong, yang hampir semua disibukkan dengan membersihkan rumah-rumah mereka, para gadis-gadis dan ibu-ibu yang pagi-pagi sudah meyiram halaman mereka, sedang para bapak-bapak dan anak laki-laki mereka mulai berduyun-duyun menuju masjid dengan berjalan kaki. It’s an Eid Day..pemandangan yang mungkin tidak ada bedanya dengan di Indonesia.

Sepanjang perjalanan pulang dari Wisma Duta, banyak kami perhatikan gerombolan orang-orang berpakaian rapi saling berkunjung ke tetangga-tetangga mereka atau saudara dekat mereka untuk bersilaturrahim, terlihat beberapa rumah sampai mengeluarkan kursinya untuk menyambut kedatangan tamu. Tipikal pemandangan yang sama dengan di Indonesia..

Uzbekistan dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam merupakan kawasan bekas Soviet, kurang lebih 40 tahun mereka menjadi bagian dari Uni Soviet, apa yang terjadi saat itu adalah sovietism besar-besaran sehingga praktis penganut Islam di kawasan ini kehilangan kekayaan sejarah Islamnya. Hingga saat ini sekolah-sekolah sama sekali tidak mengajarkan porsi agama di kurikulum mereka, agama dipelajari sebagai pengetahuan umum yang semuanya diajarkan.

Islam masuk ke kawasan Indonesia di bawa oleh imam-imam yang di kirim dari Samarkand, bahkan empat walisongo yang menyebarkan Islam di Indonesia adalah murni keturunan dari Samarkand, akan tetapi generasi Islam Uzbek saat ini bahkan tidak mengetahui sejarah tersebut, meskipun dalam sejarah Islam di Indonesia silsilah walisongo sampai keturunan yang berasal dari Samarkand masih tertulis dengan jelas dan menjadi bagian dan kekayaan sejarah masuknya Islam di Indonesia, meskipun kita dijajah Belanda hingga tiga setengah abad lamanya.

Sehari setelah lebaran, kami diajak berkunjung ke rumah seorang keluarga Uzbek, Azzim begitu namanya, kami di suguhi bermacam-macam hidangan, dari salad, potongan Brinza (Cottage Cheese) dan Sosis, kue kering yang diisi coklat, Lipyoska (Roti), Kefir, Jus, Teh hitam, sup Birmini, yang ini sup kesukaan Hilda anak kami. Kesemuanya itu di hidangkan di meja, sehingga sepulang dari sana praktis perut rasanya mau meledak, belum lagi sebelum pulang masih di suguhi secangkir kapucino panas. Begitu duduk Azzim mengajak kita untuk menundukkan kepala sejenak untuk berdoa, begitu juga setelah kami hendak pamit pulang. Inginnya lebih lama lagi kami mengobrol, karena baru kali ini kami bisa ngobrol panjang lebar karena Azzim yang bisa bicara bahasa Ingris sehingga membuat kami tidak merasa kesulitan untuk mencairkan suasana.

Muslim Uzbek kebanyakan tinggal di pinggiran kota, mereka berusaha tetap survive untuk tetap mempertahankan tradisi keagamaannya dan mendapatkan kembali serpihan budaya peninggalan kekayaan wacana ilmu Islam di masa Imam Bukhari atau Imam Tirmidzi. Saat ini ajaran-ajaran Islam sebatas di ajarkan dalam lingkup keluarga, pelajaran Alqur’an banyak diajarkan di Hujra sebuah istilah ruangan di dalam masjid yang dipakai untuk belajar agama, selebihnya etika agama, tradisi agama kesemuanya di ajarkan di dalam rumah. Kegiatan aktifitas keagamaan yang bersifat publik dilakukan di dalam masjid, bahkan adzan di setiap sholat tidak terdengar dari luar masjid, sehingga masuknya waktu sholat kita mesti mencari sendiri atau download dari internet. Meskipun demikian, watak orang Uzbek yang kebanyakan memegang teguh tradisi keluarga membuat budaya dan tradisi keislaman mereka tetap terjaga turun temurun.

Seperti halnya tradisi menghormati iring-iringan jenazah, beberapa hari lalu, kami melintasi jalan raya, terlihat sekerumunan orang berduyun-duyun, bahkan para supir truk atau taksi turun sejenak untuk turut memegang keranda jenazah orang meninggal yang melintasi jalan tersebut. Sebuah tradisi yang memang diajarkan dalam ajaran Islam. Meskipun dengan minimnya arsip sejarah peninggalan Islam yang mereka miliki, tetap denyut keislaman terjaga dalam keluarga-keluarga pemegang teguh tradisi yang sudah turun-temurun di lakukan dalam keluarga. Mungkin jika dahulu Islam datang dari tanah Samarkand, tidak menutup kemungkinan Islam ala Indonesia akan di perkenalkan di Uzbek, mengajak para gewuska, sistra, maladoi cilavek atau drug untuk bersama menjaga tradisi yang sudah turun temurun hampir punah di jaman rezim Soviet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun