Aku masih menggunakan sajadah dan mukenah bekas bakal mahar itu dalam sholatku. Tapi rasa yang menyertainya tidak sesakit dulu. Betul, dulu aku pernah batal menikah (lagi). Batal menikah bukan sebulan, seminggu atau sehari sebelumnya, tapi batal menikah pada hari pernikahanku, beberapa waktu sebelum akad nikah dilangsungkan...Allah adalah maha perencana terbaik, maha kuasa, maka aku yakin dibalik kegagalan itu semata karena Allah lebih tahu bahwa ada yang lebih baik tersedia untukku.
Bahkan dulu pun mata ini tertutup dalam melihat kebaikan, betapa tidak, aku waktu itu batal menikah dengan seorang lelaki, yang telah beristri dan memiliki 3 orang anak. Rencana pernikahan ku adalah pernikahan poligami seorang abdi negara yang aku tekankan agar betul mengikuti kaidah pernikahan poligami yang sesungguhnya, dengan meminta surat ijin poligami ke pengadilan agama. Semata karena aku merasa telah mendapat ijin dari istri pertamanya dan aku telah kenal dengan calon suamiku.
Tapi manusia berencana dan Allah juga yang menjadikan jalannya. Dihari pernikahan pada tanggal istimewa itu, tanggal yang indah, setelah lebaran Idul Fitri, hatiku menggelegak saat mengatakan agar penikahan ini ditunda. Padahal tiga generasi di keluarga besarku semua telah hadir, walau tanpa mengundang tamu, pernikhana itu mestinya aku harapkan berjalan hikmat. Tetapi karakter spontanku merasa teruik, semata karena saksi dari pihak calon pasanganku tidak bisa hadir sebagaimana yang dijanjikan. Kegelisahan yang dirasakan, membuatku cemas bercampur kesal, ada ada terbersit perasaan disepelekan. Momen yang aku anggap besar, pernikahan yang walau hanya dihadiri pihak keluarga, akan tetapi merupakan perwujudan kepasrahanku menikah lagi, menyerahkan diriku menjadi isri kedua, istri yang "akan" dipoligami secara sah.
"Akan" itu menjadi penting, karena syarat besarku sudah aku kesampingkan untuk tidak terlebih dahulu mengutamakan status "ijin" poligami itu turun sebelum pernuikahan kami, akan tetapi menikah dahulu, syirih tentunya, untuk kemudian baru mengurus kelengkapan persyaratan poligami itu.
Dan perasaan sepele itu menjadi menyesakkan saat aku mengingat, syarat besarku telah dikesampingkan, sementara saksi dari pihak pasangan malah tak bisa hadir sesuai janji awal. Aku setengah merasa terhina. Dan keputusan membatalkan itu aku keluarkan begitu saja, tanpa ada peluang diskusi yang aku sampaikan pada calon pasanganku saat itu, bukan hanya kaget bahkan lunglai dan tak percaya adalah ekspresi yang dikeluarkannya.
Pada saat ini, tak pernah mampu aku membayangkan akan ada manisnya pernikahan dalam poligami. Aku, merasakan kegagalan pernikahan itu memperoleh hikmah terbesar yang aku rasakan dalam hidup. Akan tetapi hikmah terbesar tidak aku dapatkan dengan cuma-cuma, tapi mahal. Karena penolakan pada hari pernikahanku itu, membuat proses pencarian jodohku, yang aku lakukan lewat website perjodohan pun tak pernah lepas dari bayang bayang-bayangnya, sang Pencoleng Cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H