Jadi narasi yang berkembang di balik penyerangan dan pembunuhan redaksi majalah Charlie Hebdo itu begini kira-kira. Masih ada masalah dengan hubungan kaum muslim dengan non-muslim di Perancis. Masalah itu ditampilkan oleh redaksi majalah tersebut dengan membuat dan mempublikasikan karikatur Nabi Muhammad (nabinya kaum muslim) dengan kesan menghina dan mengolok-olok nabi.
Kemudian sebagian kaum muslim yang - sudah mafhum - tidak terima dengan penggambaran apalagi hinaan terhadap figur nabi dan dapat mengakses persenjataan, menyerang kantor majalah tersebut hingga mengakibatkan korban jiwa. Para penyerang yang diduga adalah kakak beradik Said dan Cherif Kouachi tersebut lalu disebut teroris, dicari, dan tewas dibunuh.
Gonjang-ganjing pemberitaan tidak berakhir sampai di sini. Sebab di satu pihak, wacana yang berkembang bukan saja digeser ke arah keterlibatan kekuatan muslim Al-Qaida, ISIS, dan seterusnya serta streotyping kaum muslim militan sebagai teroris dan pengganggu kebebasan berekspresi di kawasan Eropa. Pada pihak yang lain, sebagian besar kaum muslim tetap tidak terima dengan penggambaran fisik apalagi bernada hinaan terhadap nabi.
Tanggapan:
1. Saya memandang bahwa di tataran filosofis, kebebasan dengan satu variannya yang bernama kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan yang sesungguhnya (bahkan bisa berbalik maknanya menjadi ketertindasan) manakala ia berasal dari ketidaktahuan maupun dari keterancaman dan keterpaksaan.
2. Kebebasan berpendapat harus dijunjung tinggi dalam konteks pengungkapan kebenaran yang disertai argumentasi. Sedangkan dalam mengajukan pendapat tentulah ada acuan nilai-nilai kebenaran dan argumentasi yang benar tentu pula berdasarkan fakta dan logis.
3. Selain kebebasan berpendapat harus tunduk pada poin 2 tadi, pada pihak yang lain di tataran sosiologis mesti memperhatikan sensitifitas nilai yang dipercaya khalayak. Maka dalam konteks ini, saya lihat redaksi majalah Charlie Hebdo tidak memenuhi syarat poin 2 dan 3. Karena itu harus ada hukum dalam berpendapat yang mengadilinya, atau biarkan saja sebagaimana yang terjadi: diserang dan para penyerangnya diserang balik. Dan dunia pun gonjang-ganjing dalam masalah yang masih itu-itu saja.
4. Kebebasan berekspresi bukanlah kesemena-menaan (laju nafsu tanpa kendali akal). Ia menuntut tanggung jawab. Hanya dalam kebebasanlah terdapat tanggung jawab, sedangkan dalam ketidakbebasan nir-tanggung jawab.
5. Sebaiknya dalam dialog yang mengusung dan memiliki acuan kebenaran, suatu pendapat diadu dengan pendapat berbeda atau lebih tepatnya dengan pendapat yang bertentangan. Dan fisik dilawan dengan fisik. Karena itu pendapat redaksi majalah Charlie Hebdo sebaiknya dilawan dengan pendapat lain. Sedangkan penyerangan yang menghilangkan nyawa ada lawannya lagi yang setimpal (dihukum bunuh).
6. Saran saya kepada berbagai media di Eropa: [a] Tunduklah pada nilai-nilai kebenaran dalam festival kebebasan berekspresi; [2] Sensitiflah pada nilai-nilai yang dianut orang. Dalam kasus karikatur nabi sebagaimana kasus-kasus serupa yang pernah terjadi sebelumnya, saya nilai beberapa media di Eropa semacam itu kurang sensitif terhadap kaum muslim. Padahal kalau mau mengkritik orang dan dalam konteks keislaman, langsung saja kritik orangnya, kritik ajaran Islam, atau kritik jurang antara perilaku orang dengan agama yang dianutnya. Singkat kata: hentikan langkah menggambarkan fisik dan terutama hentikan mengolok-olok dan menghina Nabi Muhammad.
7. Saran saya kepada kaum muslim (saya termasuk di dalamnya): Dalam menyikapi kebebasan berekspresi ala Eropa padahal mereka pun tidak bebas-bebas amat dalam berekspresi, kaum muslim jangan keliru menanggapi (penyerangan fisik saya nilai sebagai bentuk penyikapan yang kurang tepat). Ini bukan kasus pertama, karena itu harus semakin bijak: Tempuh jalur hukum.
8. Jadi hentikan mengolok-olok Nabi Muhammad maupun figur-figur lainnya yang dianggap suci dan diagungkan oleh kalangan dari berbagai agama, dan hukum para pembunuh dengan bentuk hukuman yang setimpal (misalnya dihukum bunuh lagi).