Mohon tunggu...
M. Dian Naufalina
M. Dian Naufalina Mohon Tunggu... Mahasiswa, fotografer freelance -

love to learn.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The History Should Be Stories (Resensi buku "Kupilih Jalan Gerilya")

12 September 2015   17:32 Diperbarui: 17 September 2015   17:33 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: M. Dian Naufalina

Mata saya tertarik oleh sampul coklat gradasi menyelimuti buku berjudul “Kupilih Jalan Gerilya”. Judul yang langsung membawa saya pada tokoh perjuangan bangsa Indonesia, Bapak Jenderal Sudirman. Sebelumnya saya memang tak banyak mengetahui tentang kisah beliau selain ungkapan pemimpin dari sebuah perang gerilya terbaik se dunia, Pejuang yang jiwanya tak mengenal sakit, meski tubuhnya semakin rapuh karena penyakit TBC yang di deritanya.

Setelah melihat sampul buku itu hati saya menjadi terbuka untuk mempelajari sejarah yang di torehkan sang Panglima Besar. Betapa tidak, buku sejarah ini disajikan dalam bentuk novel. Dimana mungkin jarang sekali ada penyajian sejarah menggunakan media semacam ini. Sebelum melihat isi novel saya melihat nama penulisnya. Jelas saja, hanya orang yang berpengalaman yang dapat menuliskan potongan-potongan kisah lalu meramu menjadi satu alur yang cantik. Dialah E Rokajat Asura, seorang penulis buku dan skenario berprestasi, sekaligus insan media dan radio.

Membuka halaman vii hingga ix terdapat kata pengantar dari keluarga besar Pak Dirman yang diwakili oleh putra bungsunya Ir. H. M. Teguh Soedirman, sebagai salah satu saksi hidup yang kehadirannya dapat memperkuat kisah yang ada di dalamnya. Di tambah lagi testimony di halaman paling depan dari Sejarawan NU K.H. Agus Sunyoto dan tokoh budaya jawa dan penulis Sujiwo Tejo menambah nilai komersil dari buku ini. Di bagian belakang buku ditampilkan pula daftar pustaka yang tentu akan meningkatkan nilai ilmiah dari buku ini meskipun sayangnya kutipan tidak seluruhnya di munculkan dalam teks cerita. Sebab meskipun akan sangat ringan sekali masyarakat membacanya kita akan sulit mencocokkan dan meruntut secara mudah sumber-sumber yang digunakan dalam buku ini.

Beranjak pada untaian bab demi bab dalam daftar isi, cerita sepertinya digambarkan dengan alur yang kacau dilihat dari penulisan tahun yang melompat-lompat bolak balik. Saat memasuki bab-bab awal, akan dirasakan kebingungan karena lompatan waktu yang ada. Gambaran yang diimajinasikan pembaca dipaksa untuk berubah mendadak dari zaman Sudirman saat menjadi Jenderal menjadi Sudirman saat masih anak-anak. Beruntung disematkan tahun kejadian sehingga memudahkan pembaca untuk membentuk imanjinasi. Pada bab-bab berikutnya cerita mulai mengalir, dengan sedikit mereview kisah pada bab sebelumnya menciptakan koherensi baik antar kisah dalam novel ini.

Selain itu, kisah digambarkan secara detail dan dramatis. Pembaca diantar pada imanjinasi suasana yang begitu jelas. Seperti ketika tubuh kering Pak Dirman dipaksa untuk bangun ketika mendengar suara gemuruh pesawat yang terbang rendah. Atau ketika perjuangan beliau dan anak buahnya saat dikejar oleh Belanda dibayar berkali-kali keajaiban. Pembaca dibuat deg-degan dengan peristiwa masuknya tentara baret merah Belanda dalam sebuah langgar yang dipenuhi sekelompok orang yang sedang tahlil dimana orang-orang itu adalah tentara republic yang menyamar dan Jenderal Sudirman duduk di tempat imam. Lalu seorang pemuda berteriak sambil menunjuk wajah Jederal “Dia yang bernama Sudirman!”. Tentara Belanda yang sempat akan percaya akhirnya menembak pemuda itu.

Mereka tertipu. Cerita dalam buku ini sungguh sangat hidup. Tak hanya membuat kita terbawa alur kisah Indonesia merdeka seumur jagung tapi juga terus menerus berkata “Ooo…”. Sisi pengetahuan dan sastra disajikan sangat apik dan perlu dicontoh oleh para penulis di negeri ini. Agar sejarah tentang pahlawan dan jasa-jasa mereka dapat meresap dengan baik pada hati anak-anak. Anak-anak akan menjadi kagum, bangga, cinta dan pada akhirnya berkata “Aku ingin seperti Sudirman” Seperti kata adik saya “Setiap omongannya jadi kenyataan karena rajin berpuasa dan berserah pada Allah. ” Tambahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun