Pagi-pagi sekali aku mendengar ribut-ribut didepan kamarku. Mbak Sur dan ibu memanggilku dengan segala sopan santunya. Tapi aku tetap tak bergeming. Tetap berkutat dengan selimut tebal dan ranjang empukku. Membiarkan kepanikan merajai rumah Ageng ini. Rumah seorang Raden yang di segani karena kebangsawanannya.
“Biar saja mereka bingung sendiri. Jika memang mereka mau, cari saja sendiri manten perempuannya!” senyumku sambil terus memeluk guling dengan erat.
BRAK!!! Tiba-tiba suara keras membuyarkan segala senyumanku. Aku terbangun dan berdiri di samping tempat tidur dengan wajah panik.
Mas Wid dengan muka memerah dan napas tersengal berdiri di hadapanku dengan linggis ditangannya. Jantungku berdetak kencang. Apa gerangan yang akan dia lakukan padaku? Mungkinkah rasa bencinya padaku begitu dalam hingga mampu melakukan ini semua?
Tiba-tiba ibu dan mbak Sur muncul dari balik badan Mas Wid yang tinggi besar. Meski dengan segala sopan-santun kebangsawanannya, tetap saja tarikan tangan ibu seperti tarikan seribu rantai yang memaksaku berjalan diatas bara api yang baru saja terbakar.
“Bisakah kamu sedikit memberi ibu kebahagiaan, mar??”
Suara dingin ibu seperti hendak menenggelamkanku dalam arus bengawan solo yang dingin. Sedingin raut muka ibu yang terbalut riasannya.
“Tapi, bu... ini bukan jamannya lagi...”
Langkah ibu terhenti. Lalu menatapku dalam sima yang begitu besar hingga aku tak berani lagi meneruskan kata-kataku. Mbak Sur berdiri di belakang ibu dengan wajah tertunduk, mencoba menghindari tatapan ibu yang terasa menusuk hati. Jari tangannya menyentil pahaku dalam sunyi. Memberiku arti. Singa yang terlelap tidur, telah mengaum kembali. Sama ketika mbak Sur mencoba menolak perjodohannya dengan mas Yus.
Aku menatap wajahku dalam cermin. Dalam balutan kain batik dan rangkaian bunga melati menutupi bahuku, aku termenung. Betapa cantiknya aku. Andai saja saat ini Aryo yang menjadi pendampingku. Alangkah bahagianya diriku ini. Bersanding dengan kekasih hati yang akan tetap menjadi belahan hatiku. Tapi sayangnya, hari ini, aku menjalani ritual midodoremi, melalui seluruh rangkaian acara siraman, hanya untuk menyandang gelar nyonya de la hoya. Atau lengkapnya, menyandang nama MARKONAH DE LA HOYA.
1 tahun kemudian
Andai saja aku tak terperangkap oleh dogma-dogma yang teranut dalam setiap sendi masyarakat. Andai saja waktu itu aku berani menentang ibu dan kakak-kakakku. Andai saja waktu itu aku tetap pada pendirianku. Terus menunggu belahan jiwaku dengan sepenuh hatiku dan berani menanggung segala resikonya dengan sepenuh ragaku.
Andai saja waktu itu Aryo datang menemui orang tuaku dan menggagalkan semua perjodohan itu. Andai saja waktu itu Bambang de la hoya, lelaki berdarah jawa bangsawan dan Amerika itu tak memberiku janji untuk menungguku memberikan hatiku padanya. Andai saja aku tak tergoda janji-janji manis yang di ikrarkan tuan de la hoya padaku, untuk mencintaiku apa adanya.
Mungkin aku tak akan seperti ini sekarang. Terduduk di di sudut ruangan. Di atas bangku panjang dengan linangan airmata dan rasa sakit di seluruh hati dan perasaanku. Menunggu panggilan sidang yang akan memisahkanku dengan suamiku yang telah memberiku jantung hati yang tak mungkin aku sesali. Mencabut segala gelar yang telah diberikannya selama satu tahun padaku, hanya karena dia sudah tak mencintaiku lagi, dan dia telah menemukan orang yang selama ini dicarinya.
Lalu aku? Hanya terdiam menekuri nasib dan segala rasa yang berkecamuk didalamnya. Antara penyesalan dan harapan yang harus terus berkumandang, hanya sekedar menjalani sisahidup dan menghindari dogma-dogma itu kembali memerangkapku dengan gelar yang akan kusandang kelak sebagai seorang mantan MARKONAH DE LA HOYA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H