Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Serpihan Babak

22 November 2011   11:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:20 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Catatan M.D. Atmaja

Malam ini, semua terasa begitu padat. Tidak ada angin terasa mengelus dalam dingin. Udara yang ingin aku tarik, terasa berat. Seperti terhimpin dinding gelap yang tidak mau tahu dengan rasanya sakit. Sesak. Meletihkan. Itu yang terkadang aku rasakan.

Hidup bagiku adalah keyakinan. Sebentang jalan lurus dengan pagar yang jelas. Membentengi agar tidak terlewati. Namun, pandangan juga terkadang buta. Kita seolah tidak mengetahui benteng itu, merangsek ke luar mencari apa yang paling kita ingini. Sesuatu yang membuat kita senang, bangga, bahagia di saat ini. Yah, hanya saat ini saja. Hari ini yang begitu pasti.

Dalam hidup ini aku banyak belajar. Tuhan Semesta Alam menurunkan begitu banyak pelajaran, ilmu yang menjadi guru bagi hati letih untuk terus bertahan. Hidup itu, keyakinan itu sendiri. Hanya sebuah jalan yang membentang untuk dilewati. Tapi juga ada lahan lain. Wilayah gelap yang menawarkan kerlapan indah agar kita terlupa pada jalan yang seharusnya dilewati.

Di sini aku mengenal banyak hal. Bertemu banyak orang. Aneka ragam. Aneka macam. Seperti makanan di meja makan dalam suatu pesta. Seringkali kali, mereka, manusia-manusia itu maksudku, dan alam aku jadikan kaca. Untuk melihat diriku sendiri disana. Lalu, aku merasakan sesuatu dan menulisnya.

Dari banyak orang itu, hanya beberapa yang membuatku kagum. Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidup dengan keyakinan. Bahwa hidup ini sementara, ada kehidupan lain setelah hari ini. Jalan yang ditawarkan memberikan perintah dan larangan. Namun, orang-orang yang aku kagumi ini sepertinya tersudut, terpinggirkan begitu saja. Dunia yang saat ini kita hadapi, sepertinya tidak memberikan tempat untuk mereka. Untukku juga, meski keyakinanku tidak sepenuh.

Sampai pernah aku menanyakan pada istriku sendiri, “Sebenarnya kita ini orang yang sabar dan bersyukur, orang yang terpaksa menerima karena tidak memiliki pilihan lain, atau orang yang terlalu tidak perduli dengan keadaan?” pertanyaan itu, oleh istriku dilemparkan kembali padaku. Dia ingin aku yang menjawabnya.

Kalau di dunia ini sebagai ladang persemaian bibit amal yang harus dipertanggung-jawabkan kelak, pasti kita akan berhati-hati melangkah. Benar-benar mematuhi hukum, sehingga tidak ada korupsi pun mereka yang tersenyum mengatas-namakan nabi. Dunia ini akan baik-baik saja. Tidak ada orang kaya, pun miskin. Semua hanya manusia. Dunia sungguh menjadi tidak berarti selain pelaksanaan dari cinta atas kewajiban dan menjauhi larangan.

Begitu banyak hal yang terjadi di depan kita. Membawa pada persimpangan, untuk tetap bertahan dalam setapak jalan dengan dua pagar atau keluar dan menikmati indahnya dunia. Sedang, Jalan Lurus itu bukan jalan yang mudah, karena jalan itu tidak mulus dan landai. Tapi jalan penuh rintangan, duri, menanjak, dan tentu saja penderitaan. Istriku tersenyum, sambil bilang “Bersabarlah, berterima kasihlah. Itu akan membuat perjalanan menjadi lebih menyenangkan!” [Catatan Perjalanan | Dhian Hari M.D. Atmaja]

06 Juni 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun