[Catatan Kuratorial dalam Pameran Tunggal N Iksan Breykele dengan tema "Reinkarnasi Kosmis" di Akbid Purworejo tanggal 17 Oktober 2013]
Oleh M.D. Atmaja
Kehidupan kita merupakan suatu rekontruksi dua unsur yang keberadaannya sebagai satu kesatuan utuh. Unsur pembangun kehidupan kita ini dapat digolongkan ke dalam dua unsur dasar, yaitu material dan non-material. Unsur material adalah sisi-sisi keberadaan kita yang dapat diamati secara langsung sedangkan unsur non-material seringkali disebut dengan jiwa. Dalam masyarakat Jawa, kedua unsur ini seringkali disebut alam lahir dan alam batin. Dari dua struktur itu, bagi manusia Jawa alam batin merupakan realitas yang sebenarnya, yang seringkali mewujud dalam paradigma makro-kosmos dan mikro-kosmos.
Pandangan mengenai kehidupan yang terekontruksi ini bagi manusia Jawa merupakan rangkaian dari pemahaman akan hakekat hidup yang mana membawa pada rangkaian filsafat kehidupan manusia Jawa. Ide mengenai makro-kosmos dan mikro-kosmos dapat kita temui –salah satunya, dalam cerita pewayangan mengenai Dewaruci. Dalam cerita ini, yang mana mengenai perjalanan Bima untuk mencari air suci atau Air Perwitasari ke tempat-tempat yang jauh. Disebutkan tempat menyeramkan di tengah hutan lalu dari sana menuju ke tengah samudera.
Perjalanan Bima ke tengah samudra bertemu dengan Dewaruci yang memberinya penjelasan mengenai hakekat kehidupan. Dewaruci berbentuk seperti Bima, hanya saja tubuhnya kecil. Dewaruci bisa dibilang kembaran Bima hanya bertubuh kecil. Untuk mendapatkan air Perwitasari itu, Bima harus masuk ke dalam tubuh Dewaruci. Secara nalar, tidak mungkin akantetapi melalui suatu pemahaman yang penuh, Bima dapat masuk ke dalam tubuh Dewaruci. Di dalam tubuh Dewaruci, Bima menemukan tempat yang lebih luas, semesta seperti berada di dalam tubuh Dewaruci.
Antara alam lahir (tubuh) dan alam batin (jiwa) harus ada dalam suatu keterhubungan yang saling berkorelasi demi mencapai apa yang namanya kehidupan. Tubuh tanpa jiwa berarti hanyalah daging dan tulang, begitu juga dengan jiwa tanpa tubuh maka dia akan menjadi ruh atau bisa juga kita panggil hantu. Lalu pertanyaannya adalah, mana yang lebih penting, jiwa atau tubuh?
Kedua-duanya adalah hal penting namun dari yang penting-penting itu tentu saja ada hal terpenting yang kemudian kita jadikan skala prioritas untuk kita jalankan dalam kehidupan kita pribadi.
Ada pepatah yang sudah umum, kira-kira bunyinya seperti ini: “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat” namun apa pepatah ini bisa menjadi tolok ukur kebenaran pada masa sekarang? Berapa banyak orang yang memiliki tubuh yang hebat namun jiwa mereka justru terjerembab dalam kubangan lumpur kenistaan berwujud korupsi, penghianatan, kelicikan serta hal-hal yang didasari oleh faktor ketamakan dan keserakahan manusia. Jiwa yang kuat berarti jiwa itu sehat dan yang adalah jiwa yang memiliki prioritas akan kebenaran, keadilan, budi yang baik serta hal-hal lain yang mengedepankan nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Jiwa yang tidak sehat adalah jiwa yang lebih banyak dikuasai oleh hawa-nafsu (kenikmatan-kenikmatan tubuhwi) yang biasanya bersumber dari lubang-lubang pada tubuh manusia. Menuruti hawa nafsu membuat jiwa melemah dalam usaha mengendalikan sisi lahir manusia. Perlu kita pahami bahwa apa yang nampak pada aspek lahir merupakan ekspresi dari kondisi jiwa. Apabila jiwa sudah tidak sehat, maka yang terjadi adalah terjadinya aktivitas negatif yang mengejawantah dalam kehidupan realitas.
Oleh karenanya kita perlu menempuh jalan untuk membangun jiwa agar tumbuh dengan sehat. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembalikan otoritas jiwa untuk mengatur segala kepentingannya, memanfaatkan aspek lahir sebagai kendaraan bagi si batin. Prioritas batin ini yang muncul dalam nuansa karya seni yang garap N Iksan Breykele melalui pameran tunggal bertema “Reinkarnasi Kosmis”. Kelahiran kembali seluruh semesta alam yang ada di dalam diri manusia, ini merupakan konsep besar yang diharapkan dapat menjadi pencerahan.
Proses reinkarnasi dalam konteks ini bukanlah kejadian proses kematian kemudian untuk menjadi lahir kembali akantetapi lebih pada proses dalam usaha mencari kebenaran. Kita diajak untuk menggeluti ruang-ruang kontemplasi untuk menemukan kesepahaman kita mengenai apa arti dari hal yang benar menurut subjektivitas kita. Ruang kontemplasi itu biasanya terletak di dalam dunia batin setiap manusia, sebab dunia batin itu memuat keseluruhan realitas bahkan mencapai apa yang namanya suatu kompleksitas-kompleksitas yang mungkin saja tanpa batas.