"Kemuning," Hartanto menerawang ke dalam cakrawala. "Kemuning adalah perempuan yang sederhana. Perempuan, yang mau menerimaku apa adanya. Perempuan yang memiliki kebaikan hati. Cukup sederhana alasanku. Kemuning lah yang selama ini ada di dalam pikiranku, untuk menjadi Perempuan bagi kelaki-lakianku, keluargaku, anak-anakku." Jawab Hartanto singkat.
"Kamu harus bersyukur, Har!"
"Kita harus sama-sama bersyukur dengan apa yang telah kita dapatkan sekarang. Semua yang telah kita capai dengan kerja keras, entah kegagalan atau keberhasilan, entah itu kebahagiaan atau penderitaan, kita wajib bersyukur. Karena itulah yang terbaik bagi kita, dari Allah. Kita harus bersyukur, kita bukan siapa-siapa, kita bukan apa-apa. Kita hanya debu." Hartanto tersenyum dan mendekatkan mulutnya ke telingga pada Nandar, "Kemuning yang mengajariku mengucapkannya, sebuah arti dari perjalanan hidup sebagai Pelayanan seorang manusia pada Tuhan."
Hartanto tersenyum bangga. Dia melangkah menjauh tanpa berbicara apa pun. Ia berjalan sambil tersenyum, sambil mengenang Kemuning yang sedang menanti dirinya.
"Har," panggil Nandar dalam gemuruh ombak, "Kamu mau ke mana?"
"Aku mau pulang, di rumah tidur dengan nyenyak dan makan sampai kenyang." Ucap Hartanto tanpa berhenti sambil melambaikan tangannya.
Nandar tersenyum sendirian. Pandangannya mengikuti langkah Hartanto yang malas. "Kamu tidak akan bisa tidur nyenyak dan makan sampai kenyang!" gumam Nandar yang kemudian duduk dan memainkan biolanya kembali.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H