Di dalam kantin Hartanto melihat Fais yang duduk sendirian. Orang-orang yang di sana tidak ada yang mereka berdua kenal selain pemilik kantin dan Fais. Menjadi aneh rasanya saat berjalan di antara pandangan orang-orang yang sambil tersenyum dengan sinisnya.
"Akhirnya kalian datang juga," sambut Fais saat melihat kedatangan Nandar dan Hartanto. "Sudah lama aku duduk sendirian, akhirnya satu keajaiban terjadi."
Fais merasa senang bertemu dengan Nandar dan Hartanto. Dia seperti baru saja mendapatkan hadiah dengan jumlah yang banyak. Selama beberapa bulan, Fais merasa tinggal sendirian sampai bertemu dengan rekan seangkatan dan sekelas. Nandar adalah teman pertamanya saat pertama kali Fais menginjakkan kaki di Yogyakarta. Saat belum mendapatkan indekos, Fais sempat menginap di Pondokkannya Nandar.
"Kemana saja kamu, Ndar?" tanya Fais dalam senyumannya yang lebar.
"Aku pulang, mengurusi sawah sama sapi-sapinya bapak, jadi kuliah terpaksa aku tinggalkan." Jawab Nandar sambil tersenyum.
"Aku kira kalian sudah wisuda." Ucap Fais pelan.
"Kami kira kamu sudah wisuda, Is." Sambung Hartanto.
"Ah, aku masih lama." Fais menerawang jauh membayangkan masa depannya saat upacara Wisuda dilaksanakan. Kemudian menggelengkan kepala ragu dengan impian itu. "Aku tidak tahu apa masih ada kesempatan untuk mendapatkan gelar. Kuliahku sangat kacau!"
"Kuliah kita semua sama-sama kacau. Tapi bukan nilai yang menjadi ukuran. Nanti kita akan wisuda bersama-sama." Ucap Nandar sambil menepuk bahu Fais dan ia melirik ke jari-jari yang mengapit rokok. Nandar sedikit kaget dengan perubahan Fais, selama hampir empat tahun ia kenal belum pernah ia melihat Fais merokok. Tapi, sekarang sudah sangat ahli mempermainkan rokok dalam lentik jari.
"Thanks, Ndar!" sahut Fais bahagia karena mendapatkan teman dan dukungan untuk menyelesaikan studinya.
"Lebih baik, kita mengalir saja soal kuliah. Lagi pula, ijazah bukanlah segala-galanya. Pintar atau tidaknya seseorang tidak bisa diukur dari ijazahnya, kan. Tapi dari bagaimana dia menjalani kehidupannya."