Hidup sebagai sosok manusia Jawa di tengah derasnya arus perkembangan zaman yang terus saja mencampur-aduk pemikiran, kebudayaan (jalan hidup), interpretasi tentang keagamaan, dan ideologi yang semakin menuju pada pluralisme. Terkadang di tengah perbauran aspek-aspek kehidupan tersebut, saya seringkali menemukan diri yang tanpa identitas. Saya merasa sedang berdiri di dalam gelombang yang terus saja zig-zag tanpa pernah perduli, di sana seolah-olah tidak menemukan suatu pijakan. Pun, dalam keadaan itu seringkali merasa terseret, terkadang melaju deras ke timur kemudian tanpa pemberitahuan langsung berbalik melaju ke barat. Benar-benar dipaksa untuk mengikuti angin yang berhembus. Hidup dalam keterasingan di dunia sendiri yang akhirnya menumbuhkan kebimbangan.Manusia Jawa di tengah modernitas yang perlahan-lahan menemukan tubuh dan pikiran memudar. Saya sadar, perubahan cepat atau lambat akan segera terjadi. Ramalah orang-orang tua yang mengatakan, manusia Jawa, kelak akan tinggal “jawan” saja: Jawa yang tinggal tubuh dan secara sikap serta pemikiran sudah tidak lagi sebagai manusia Jawa. Keadaan itu melintas dalam bayang-bayang yang menakutkan, membayangkan diri sebagai manusia yang kehilangan identitas, terasa sangat menyedihkan.
Perjalanan saya, di suatu sore ke barat, menuju tempat yang hening dalam bingkisan rokok Klembak-Menyan. Seperti rokok itu, sekian hari mulai tergusur oleh arus perdagangan rokok buatan pabrik-pabrik modern. Asap rokok Klembak-Menyan menggantung, membuai pikiran yang sudah dilelahkan oleh berbagai metode dan persoalan yang justru semakin kompleks. Bersamaan dengan itu, saya merasa kalau hidup ini sudah seperti rokok Klembak-Menyan itu. Menyingkirkan diri ke pinggir untuk memahami diri yang perlahan-lahan mulai terasa mumudarnya.
Dalam gelak tawa, pernah saya mendengar ungkapan-ungkapan lama yang sinis namun dirundung kesedihan yang dalam. Penghakiman yang menampar, ketika terdengar “Orang Jawa sudah kehilangan kiblat!” lalu suara itu semakin menghempaskan dalam kesepian yang justru semakin menjadi.
Bagaimana sakit tidak ketika kita masih menjadi Jawa, tapi ada yang mengatakan bahwa kita (saya) sebagai manusia yang kehilangan kiblat? Sambil menunggu kepulan harum menyan bercumbu rayu dengan tembakau itu habis, saya menunggu sesuatu. Mencari celah untuk tidak terseret semakin jauh lagi di dalam kancah pluralisme manusia modern.
Manusia Jawa telah kehilangan kiblat? Tentu saja yang dimaksudkan dalam khasanah ini bukanlah suatu paradigma yang menyatakan mengenai: Mekah atau tempat lain. Kiblat lebih saya pandang sebagai jati-diri, mengenai sesuatu hal yang lebih esensi, bukan paradigma keumuman mengenai kepercayaan, namun lebih pada jalan pikiran dan kehidupan manusia secara pribadi. Kiblat sebagai dirinya sendiri, sebagai manusia Jawa yang tidak tinggal “jawan” tapi benar-benar JAWA.
Saya diam sebentar, lalu ditanya oleh diri sendiri, untuk apa kamu menulis? Ah, iya, untuk apa aku menulis? Pertanyaan itu justru hadir sebagai peta dalam pembacaan dan kemudian penulisan. Menulis menjadi sarana dalam mempertahankan jati diri, memunculkan ke dalam wacana. Pada suatu taraf tertentu, menulis dengan merunut pada khasanah Jawa (bukan mengenai Jawa akantetapi lebih pada spiritual Jawa) maka akan sampai pada perhelatan sikap ethok-ethok atau berbasa-basi atau menyampaikan sesuatu dengan tidak langsung.
Ini dapat menjadi suatu teknik dalam mengungkapkan pikiran, mengkritik tanpa harus mengkritik dan marah tanpa harus marah. Akantetapi, jauh dari itu semua menulis adalah langkah untuk berbicara pada manusia lainnya. Cara untuk menyampaikan sesuatu hal yang ada di dalam kepala yang tidak dapat saya sampaikan melalui perkataan lisan. Karena ketika saya berbicara lisan, saya musti bertemu dengan orang-orang tersebut, dan terkadang tidak menjadi pekerjaan yang mudah untuk menemui satu persatu. Itu mereka mau bertemu dengan saya, seorang petani Jawa yang tidak memiliki pijakan selain di atas tanah berlumpur.
Menghadapi berbagai kenyataan juga terkadang menimbulkan keresahan mendalam. Membuat jiwa terasa begitu sesak dengan berbagai persoalan yang teramat sulit untuk dipecahkan. Karena itu, saya menulis, untuk mengurai keresahan yang lambat laun menjadi suasana yang menyenangkan, menjauhkan diri dari segala macam penyakit.
Diketika ada gejolak, menulis juga sanggup menjadi jalan keluar untuk meredam. Menyemaikan kehidupan baru, membenahi sesuatu yang rusak. Namun jauh dari setiap alasan itu, dengan menulis saya mampu menjadi manusia merdeka. Menulis atas apa yang ada dipikiran sejauh tidak merampok hak orang lain. Saya juga menjadi pemberontak melalui tulisan-tulisan itu, menjadi apa pun yang paling diinginkan. Lalu, apa masih ada alasan untuk berhenti menulis? Saya rasa tidak, sebab dengan tidak menulis saya seperti manusia mati.
Studio SDS Fictionbooks, Kamis Legi 24 Maret 2010.
http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H