Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lorong Waktu; Melihat Sisi-sisi "Deferensi" Ihsan Brekele

9 Maret 2011   08:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh Atmaja**

"Sebagai benih yang kau tabur demikian pula akan kau petik buahnya" (Samyutta Nikaya).

Tanpa untuk menisbatkan mengenai sesuatu apa pun, saya memang sengaja menggunakan kalimat bijak Nikaya di atas untuk mengawali tulisan ini, yang berusaha untuk membawa petuah itu menjadi penjelasan singkat atas sebuah perjalanan manusia dalam mencapai titik-titik kehidupan manusia yang bertingkat (tingkatan di sini bukan kelas sosial). Satu perjalanan kehidupan manusia, di dalam beberapa keyakinan dianggap sebagai proses belajar dan pemahaman serta ajang ujian yang pada nantinya menentukan kehidupan manusia. Akantetapi, di dalam kalimat yang disampaikan Nikaya di atas, dapat dilihat alur kehidupan yang jelas, bahwa kehidupan manusia bukan hanya sekedar mengenai semangat untuk belajar, untuk memahami atau hanya sekedar sebagai ruang ujian bagi manusia untuk memilih siapa yang paling berprestasi di dalam kebaikan.

Penggambaran akan perjalanan kehidupan ini terlihat di dalam karya Ihsan Brekele dengan judul Deferensi (2010) yang mengetengahkan alur kehidupan dengan jelas. Sebelum saya menbicarakan Deferensi (2010) saya akan menjabarkan secara sekilas mengenai konsep perjalan kehidupan yang telah diungkapkan oleh Nikaya.

MANUSIA SEBAGAI PEMEGANG OTORITAS

Manusia sebagai pemegang otoritas kehidupannya, yang mana mengajak kita untuk menimbang-nimbang kembali siklus takdir yang seringkali kita jadikan sebagai budak (dan kambing hitam) untuk menjadi tempat dimana kita akan menyalahkan suatu kejadian yang tengah kita rasakan. Dengan mudah sekali, kita (manusia ini) menyalahkan atas penderitaan yang tengah kita rasakan. "Penderitaan ini dari Tuhan," gumam kita untuk pertama kalinya ketika penderitaan menghujam tikam jantung kita, "ini lah takdir hidup yang memang harus aku jalani atas kehendaknya" ungkap kita selanjutnya untuk mengukuhkan diri bahwa sebenarnya manusia tidak bersalah atas kehidupan yang kita terima.

Namun apa memang benar demikian itu? Ketika di saat mengalami fase kehidupan yang lain dimana memperoleh kebahagiaan, hal yang (biasanya) muncul untuk pertama kali adalah kebanggaan dan keterlupaan pada takdir Tuhan itu sendiri. Manusia dengan mudah melupakan takdir itu, dan menisbatkan diri sebagai pelaku tunggal yang membuatnya mampu mencapai puncak-puncak itu.

Dalam tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas hal ini lebih jauh, hanya sebagai pengantar untuk menyatakan bahwa sebenarnya manusia itu sendiri adalah sebagai pemegang otoritas atas kehidupannya, yang entah itu untuk bahagia atau untuk penderitaan. Manusia itu sendiri yang memiliki hak untuk berusaha mewujudkan apa saja yang ia ingini dan bagaimana kehidupan yang harus dia jalani. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk membangun dan membentuk kehidupannya sendiri. Kalau secara kasarnya, dikatakan bahwa Tuhan melihat bagaimana manusia itu berusaha, kemudian kalau Beliau berkenan, akan langsung meng-acc usaha manusia itu. Untuk kebahagiaan atau pun untuk penderitaan.

Pada babak yang lain, Tuhan telah memberikan bekal manusia yang lebih dari cukup untuk menjadi pelaku otoritas utama bagi kehidupannya sendiri. Otoritas mutlak ini hadir bersamaan dengan jalan pemahaman, perenungan, yang bagi masyarakat Jawa dikatakan bahwa "Urip mung mampir ngombe lan sakdermo anglakoni" yang dapat dijabarkan sebagai proses kehidupan yang sebenarnya. Lalu apa hubungannya dengan otoritas itu? Hubungannya adalah dimana ketika manusia mampu menjalankan sikap hidup yang diungkapkan Nikaya atau pepatah Jawa di atas, kebahagiaan dan penderitaan itu bisa diatur dengan sendirinya, terserah pada manusia bagaimana dia menggunakan otoritas yang dia miliki untuk menentukan hal tersebut.

Karena pada hakekatnya, antara kebahagiaan dan penderitaan memiliki kandungan esensi yang hampir sama, memiliki nilai yang sama apabila hati kita mampu menerima apa yang telah kita dapatkan setelah melalui proses perjuangan yang panjang dan meletihkan. Bahagia atau penderitaan hanya masalah bagaimana kita menerima hal tersebut lalu, otoritas kita sendiri lah yang pada akhirnya menentukan, apakah itu akan menjadi kebahagiaan atau akan menjadi penderitaan.

MENIKMATI OTORITAS MANUSIA DALAM DEFERENSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun