Ada suatu hal yang masih dapat saya ingat. Bahwa kita harus berani berdarah dalam bertarung demi mencapai tujuan. Hidup sebagai totalitas dari perbuatan, mengenai perjuangan dari gerakan minus mencapai plus, dari ibarat kekosongan menuju pada isi.
Prosesi-prosesi perjuangan itu, tentu akan menuntut hal dari kita, menjadikan kita ikut bertaruh , mempertaruhkan sesuatu yang pada sisi masing-masing sama-sama berharga. Hidup memang seperti ini, kita selalu berada di dua ruang yang sama-sama sulit untuk kita pilih. Â Sama-sama berat.
Akantetapi, diantara dua pilihan sulit itu, pasti salah satunya yang terbaik. Lantas, bagaimana bisa mengetahui, hal ini atau hal itu yang terbaik untuk kita pilih? Tentu saja, saya mengalami sendiri, penentuan itu sangat sulit dan kita baru mengetahui mana yang terbaik setelah beberapa kurun waktu kemudian.
Dalam perjalanan yang diselaput hujan, tiba-tiba saja kita akan merindukan matahari yang hangat. Di dalam panasnya matahari yang menyengat, kita akan merindukan dingin yang halus dan memabukkan, seperti kulit perawan yang acapkali kita bayang-bayangkan untuk dibelai.
Kapankah kita akan menemukan hidup yang selaras dengan apa yang ada di dalam keinginan? Saya rasa, tidak akan pernah kita menemuinya. Kecuali, kalau keinginan kita selaras dengan alur takdir hidup. Tapi rasanya tidak mungkin, penyelarasan pada takdir hidup itu adalah pencapaian kebahagiaan dan kemerdekaan yang sebenarnya. Karena saya berpikir, kalau selama ini, belenggu paling hebat yang mengikat adalah keinginan kita sendiri. [catatan M.D. Atmaja]
Tapi, ini hanyalah romansa perjalanan hidup.
Kantor Jurnal Biro Khusus Sarekat Sastra Indonesia, Minggu 25 November 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H