DI ATAS TANDU LANGITAN, JALAN CINTA PENYAIR I
Oleh M.D. Atmaja
PENDAHULUAN
Cinta, seperti halnya alur kehidupan pada umumnya, sebagai esensi dari perasaan manusia, pun, di dalamnya terdapat adanya jalan yang ditempuh oleh pecinta. Sesingkatnya, saya mengatakan kalau cinta merupakan jalan kehidupan manusia itu sendiri. Suatu jalan yang biasa, namun memiliki karakter tersendiri dan memuat nilai-nilai yang bisa dilihat dari tapak laku pecinta. Dalam pembahasan ini, sang pecinta yang saya maksudkan adalah seorang penyair. Kita akan melihat bagaimana seorang penyair menjalani kehidupan, menjalani kehidupan dalam cinta pada Kesejatian. Di Atas Tandu Langitan, Jalan Cinta Penyair I merupakan analisis dari puisi Di Atas Tandu Langitan, VIII: I – CXXIII (2007: 45-50) karya Nurel Javissyarqi dalam bukunya antologi puisi “Kitab Para Malaikat”. Dalam tulisan ini, saya memilah beberapa bait (baca: ayat) yang menurut pandangan saya mencerminkan beberapa pengambaran mengenai jalan cinta yang penyair tempuh.
Analisis ini berangkat dari keyakinan saya, yang menekankan kemurnian batin dalam setiap berucap dalam karya sastra. Sebab, bagaimana pun juga penyair mendapatkan perhatian tersendiri dari Tuhan Yang Maha Esa, bahwa: “Dan penyair-penyair itu diikuti orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS. 26: 224-227).
Penyair, ibarat manusia yang dipilih untuk dibimbing dalam menerima saripati dunia setelah masuk ke dalam runung pemahaman. Berbagai kebijaksanaan hidup dan kebaikan universal yang termuat di dalam setiap sajak (puisi). Akantetapi, terkadang kita sering lupa bahwa kebijaksanaan yang diraih hakekatnya adalah untuk diri sendiri dan orang lain yang nasibnya sudah digariskan untuk bertemu dengan puisi tersebut. Dan cukup masuk akal ketika Tuhan Yang Esa berfirman: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?”
IA MANUSIA MERDEKA
Penyair manusia yang merdeka, tidak terbatasi pada gerak zaman yang terus melaju menawarkan berbagai penjara dunia dalam bentuk kenikmatan-kenikmatan yang mampu mengkerdilkan pikiran dan kemurnian jiwa. Sebab, bagaimana pun juga seorang penyair merengkuh dunia dengan kedalaman jiwa yang kemudian memanifestasikan ke dalam karya sebagai cahaya. Sanusi Pane (Sayuti, 2002: 13) dalam puisinya “Sajak” menyatakan kalau sajak bukan hanya mengenai bagaimana menyampaikan perasaan dengan pilihan dan permainan kata yang bagus, akantetapi hendaknya mampu menjadi seperti matahari yang menyinari bumi yang di dalamnya tidak ada pamrih.
Manusia yang menempuhi hidupnya untuk menjadi penyair, hendaknya dia menjadi manusia yang merdeka, seperti yang diungkapkan Sanusi Pane dalam “Sajak”nya, bebas dari kepentingan dan keinginan akan keuntungan material ketika dia membawa membagi pencerahan yang didapatkan. Penyair adalah manusia merdeka, dia tidak berpihak pada siapa pun selain Kebenaran. Karena merdekanya seorang penyair, dengan puisinya “bisa mengajari kita untuk berkata: TIDAK!” seperti yang diungkapkan Emha Ainun Najib dalam “Sajak Luka Menganga” (Sesobek Buku Harian Indonesia, hlm. 103-104)
Berperan sebagai manusia merdeka, seorang penyair memiliki penilaian tersendiri mengenai suatu fenomena yang ditemui. Kemerdekaan itu mutlak dimiliki seorang penyair. Kemerdekaan di sini lebih merujuk pada kebebasan hati dan pikiran. Hal itu saya temui dalam larik:
Dia tidak mengikut siapa-siapa, dirinya tegar lagi murni (VIII : II) (Kitab Para Malaikat, 2007: 45).
Pencapaian kemerdekaan hati dan pikiran seorang penyair memberikan karakter tersendiri dalam menginterpretasikan dunia kehidupan untuk dimanifestasikan ke bentuk karya. Pikirannya tidak dibayangi ketakutan, keinginan, serta nafsu yang sifatnya sementara. Hal tersebut diungkapkan dalam “dirinya tegar lagi murni”. Karena kemerdekaan ini, seorang penyair pun tidak mengikuti dirinya sendiri, maksud saya adalah pikiran-pikiran yang menjelma dalam keinginan. Saya berlandaskan pada alasan, bahwa pikiran manusia tidak murni karena di dalamnya terdapat unsur hawa nafsu.
Penyair mengikuti hatinya sendiri, sanubari manusia yang hampir tidak memiliki kepentingan duniawi. Tidak ada kepentingan untuk mencapai ketenaran akan nama besar bersamaan dengan karya hebat yang dilahirkan. Apabila karya sudah memicu untuk tumbuhnya kesombongan di dalam hati penyair, maka kemurnian yang ada di dalam dirinya sudah terkotori. Penyair yang masih memiliki kemerdekaan dan kemurnian hati, dia tidak memiliki kepentingan dengan manusia lain dan dunianya selain menyampaikan pesan (baca: saripati dunia) yang penyair terima melalui proses perenungan dan pembelajaran.